Part 10

208 32 4
                                    

Ada banyak sekali jejeran buku tersusun di rak seluas mata memandang. Loila dan Gress berjalan pelan untuk melihat-lihat buku yang mana akan menarik perhatian mereka. Ini adalah toko buku terbesar di kota, mahasiswa atau siapa saja masing-masing mata mereka memindai jejeran rak si tokoh utama.

Seperti pria berpakaian menutup diri yang mereka temukan di sini, dia sangat fokus hingga mengabaikan keadaan sekitar. Tangannya memegang sebuah novel yang ditulis oleh Loila, tentu saja Loila dan Gress menjatuhkan perhatiannya pada cowok itu. Tubuh yang tinggi, postur tegap nan gagah. Entah seperti apa bentuk jelas tubuhnya di balik hoddy dongker itu.

Tidak satu, dia memasukkan buku karya Loila enam buah. Tidak ada buku lain di keranjangnya selain buku Loila

Gress berbisik, "Loila, sepertinya dia adalah penggemar beratmu. Mau menyapa dia?"

"Tidak usah. Aku 'kan tidak ingin ada yang tahu jika penulis novel itu adalah gadis yang sangat cantik. Takutnya mereka lebih menyukai aku dari pada tulisanku."

"Sialan kau! Sudahlah, ayo kita lanjut jalan."

Gress menarik tangan Loila, namun Loila malah tidak beranjak dari tempat. Mata jingganya menyipit, memperhatikan punggung cowok itu. Ia merasa tidak asing, mencoba untuk mengingat di mana ia pernah melihat dia. Detektif A? Tidak mungkin. Loila pun melemaskan badan mengikuti tarikan Gress.

"Hei, ada apa?"

"Tidak ada apa-apa."

Mereka melanjutkan penelusuran, berpindah tempat ke rak lainnya.

Dia yang tadi diperhatikan oleh dua gadis, sudah selesai memilih. "Loila," gumamnya. Itu adalah nama si penulis, alasan dia mengambil buku-buku itu bukan karena tertarik dengan novel, melainkan nama yang sangat ia rindukan. Aneh.

Mundur beberapa langkah, mengambil jarak untuk mendongak ke atas melihat buku-buku lainnya. Tak. Sontak kepalanya langsung menunduk, dia menginjak sesuatu. Lantas tubuhnya membungkuk, memungut jepit rambut berkilau jingga berbentuk bunga.

"Jepit milik siapa ini?" Dia melirik sana-sini, namun di sekitarnya kenapa hanya laki-laki semua? Mereka tidak memakai jepit, 'kan?

Kelopak bunganya patah dua, dia menyayangkan hal itu. Hanya perasaannya saja atau jepit ini memang tampak berharga? Dia tidak bisa membuanh jepit itu.

Lantas, saat ia melakukan pembayaran, dia menitipkan jepit pada penjaga toko.

"Kalau pemiliknya mencari tolong berikan."

"Ciri-ciri pemilik seperti apa?"

"Aku yakin perempuan."

"Selain itu?"

"Aku tidak tahu."

Penjaga menarik napas panjang, begitu datar lawan bicaranya. "Baiklah," tuturnya pasrah. Lalu mulai menghitung total pembelian. Penjaga berhenti sejenak, ia salah fokus dengan buku yang ia scan.

"Kamu penggemar buku Loila?" tanyanya sebab semua novel Loila yang di ambil cowok ini.

"Tidak, aku hanya suka namanya."

"Hah? Namanya? Alur novel ini juga menarik, kok."

"Aku tidak tertarik dengan kisah asmara."

Penjaga toko berkedip cepat beberapa kali. Ini cowok aneh banget, pikirnya. "Jadi kamu suka penulisnya?"

"Hanya suka namanya."

"Hais, jangan gengsi. Penulisnya memang cantik, wajar kamu menyukai dia. Apa kalian sudah bertemu?"

"Tidak."

"Kebetulan penulisnya lagi ada di sini. Mau aku tunjukkan yang mana orangnya?"

"Lain kali saja, aku ada urusan lain."

Dia yang berpakaian tertutup itu pun pergi setelah membayar. Penjaga toko sungguh tidak mengerti, mulai beranggapan dia adalah cowok yang gengsian.

Sementara itu, Loila dan Gress datang setelahnya. Meletakkan masing-masing dua buku di atas meja.

"Aku ambil buku ini, Bibi," ucap Loila. Tidak sengaja Loila melihat jepit rambut yang rasanya sama seperti miliknya. Loila meraba kepala, memang tidak ada jepit itu.

"Bibi, jepit ini milik siapa?"

Gress menyahut, "Eh, itu kayaknya jepit kamu, Loila. Kok dua kelopak bunganya patah?"

"Jadi ini punya kamu, Dek? Tadi ada laki-laki yang menitipkannya."

"Siapa?"

"Tidak kenal. Dia memakai hoddy biru, bermasker, kebetulan buku yang ia beli semuanya adalah bukumu. Orangnya pun rada aneh."

Gress menepuk-nepuk pundak Loila semangat. "Mungkin cowok yang tadi!" serunya dengan mata yang membesar.

***

Pulang dari toko buku, mereka kembali ke kampus, sebentar lagi kelas Pak Dava akan dimulai, jangan sampai telat sebab dosen itu begitu tegas.

Loila dan Gress mengambil bangku di tengah, di depan adalah bangku mereka yang biasanya datang lebih lambat. Bangku belakang biasanya lebih cepat terisi.

Sampailah pada waktunya.

"Selamat siang," sapa Pak Dava. Semua sontak menjawab. Kelas pun dimulai.

15 menit kemudian seorang siswi datang, dia telat. Pak Dava memandangnya tidak suka, beberapa kali siswi itu memohon agar bisa mengikuti kelas, sayangnya Pak Dava tetap pada pendirian.

"Ini telat saya yang pertama, Pak."

"Terus?" Pak Dava berekspresi menantang.

Siswi yang telat lantas melirik Loila, gadis yang kemarin telat tetapi dimaafkan dengan alasan telat pertama.  Kenapa dia tidak? Apakah karena Loila cantik dan kaya? Ini tidak adil.

Tak membantah lagi, siswi pun keluar. Berharap pintu akan dibuka seperti Loila kemarin.

Gress kembali mengajak ngobrol, "Aku sudah lama berpikir seperti ini. Seperti Pak Dava suka sama kamu, Loila."

"Jangan mengada-ngada."

"Serius. Aku sering melihat dia curi-curi padang ke kamu. Seperti sekarang, dia pasti akan menyadari kita sedang mengobrol, lalu dia akan menegur dengan hanya menyebut namamu."

"Loila."

Tebakan Gress benar. Pak Dava melakukan sesuai dengan apa yang ia katakan.

Loila berdiri. "Maaf, Pak." Lalu duduk kembali.

"Kelihatan banget kalau dia itu memperhatikan kamu. Yang lain banyak juga yang berbisik-bisik seperti kita, tapi matanya terus mencari kamu."

Loila mendengus. "Diamlah."

"Tidak mau. Lagian yang akan ditegur kamu aja, aku enggak." Gress terkekeh kecil.

"Loila, berhentilah mengobrol. Perhatian saya."

Sebelum berdiri Loila melirik sinis Gress, gadis itu malah cekikikan kecil.

"Maaf, Pak."

Dia duduk kembali, pun Gress kembali berbicara. "Kode itu. Dia mintak perhatikan."

Loila tidak menanggapi, menatap lurus ke depan mengabaikan ocehan Gress yang tidak mau diam.

"Aciel oh Aciel, gadismu terus diincar orang di sini. Jika tidak cepat dijemput dia akan diculik orang lain. Aciel oh Aciel, apa kamu sudah punya pacar di sana? Menyedihkan sekali yang di sini."

Loila mencubit paha Gress tanpa menoleh, gadis itu menutup mulut yang hampir terpekik.

"Sakit!" Teriakkan yang tertahan, namun dia kembali menggoda Loila. "Aciel, Loila kebelet minta dikawinin sama kamu. Cepatlah datang."

Loila berdiri, mengangkat sebelah tangan mencuri perhatian sekelas. "Pak, Gress bilang mau dikawinin sama Bapak."

Sontak Gress berdiri. "Eng-enggak, Pak!"

Sekelas tertawa, tidak dengan Pak Dava. Dia tidak suka candaan Loila. Jika saja nama Loila yang disebut mungkin akan lain cerita.

Bersambung....

















Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang