Part 04

243 29 0
                                    

Angin mengibas rambut jingga kemerahan yang tergerai, pemilik tidak ada niat untuk mengikat. Di salah satu pohon di pinggir sungai ada ayunan, Loila duduk di situ fokus membaca setiap tulisan di buku.

Tenang saja, Aciel memilih buku yang tidak ada adegan dewasa. Hanya lika-liku perjalanan cinta anak remaja.

"Loila."

Yang dipanggil menoleh, Aciel dari depan pintu sana mulai berjalan mendekati Loila.

"Apa?"

"Aku keluar sebentar. Nanti kalau ada yang mencari aku suruh tunggu sebentar, ya."

Mengangguk samar, selanjutnya Aciel pergi menggunakan sepeda. Entah akan pergi ke mana dia. Sudahlah, buang niat untuk ikut bersama Aciel, langkah dia begitu panjang, Loila tidak sanggup mengikutinya. Lelah, seperti bulan awal dia tinggal di sini.

Kembali lagi melanjutkan bacaan, lembar demi lembar semakin tebal yang sudah Loila baca. Ketika waktu tengah hari tiba, dia masuk ke dalam rumah, mengambil roti lalu kembali lagi ke ayunan bawah pohon.

"Permisi."

"Halo? Boleh kami bertanya?"

Loila mengabaikan suara itu, ia pikir bukan dia orang yang dipanggil.

"Gadis berambut jingga, aku bicara denganmu."

Saat Loila berbalik untuk melihat, sepasang suami-istri terkesima. Rambut, terlebih mata si gadis kecil. Rupa yang begitu elok, ketika dewasa pasti kecantikan semakin bertambah.

"Saya?" tunjuk Loila pada dirinya sendiri.

Lantas Loila berdiri, meninggalkan buku yang ia baca di ayunan kayu. Dia menghampiri sepasang suami-istri yang berada di teras rumah Aciel. Ia baru ingat, Aciel ada bilang akan ada orang yang datang tadi.

"Cari Aciel, ya? Mungkin sebentar lagi dia akan pulang. Masuklah dulu, aku akan buatkan teh."

Gadis kecil yang tahu tata krama, mereka suka sekali. Ditambah, umurnya yang begitu muda dia pandai menyajikan teh dengan sopan. Duduk bersama mereka dengan posisi tubuh yang anggun.

"Kami memang ada dengar Aciel tinggal bersama gadis yang bahkan tidak ada sangkutan darah. Apa kamu gadis itu?" tanya sang wanita setelah dia menyeruput teh.

Loila mengangguk sembari tersenyum.

"Aku sebatang kara. Kalau tidak ada Aciel aku tidak tahu bagaimana hidupku. Aciel sangat baik."

"Berapa umurmu?"

"10 tahun."

Suami-istri saling pandang, lalu mereka sama-sama mengangguk. Entah apa yang ada di pikiran mereka.

"Kami menyukaimu. Aku dengar namamu Loila, kan?"

"Iya."

"Hanya Loila?"

"Loila Leisasalisa," jawab Aciel yang baru datang. Duduk di samping Loila ikut bergabung dalam pembicaraan. Loila berdiri, ia pergi untuk mengambil satu gelas lagi.

"Baiklah Aciel, karena kamu sudah ada di sini kami langsung saja." Gantian si pria yang bicara. Sedangkan istri diam mengamati, sesekali dia melirik arah hilangnya Loila.

"Pak Darman, saya tahu Bapak akan datang hari ini. Tapi sungguh, Loila bukan anak kalian yang hilang. Rambutnya memang jingga sama seperti anak Bapak, tapi matanya berbeda. Iya, kan? Kalian sudah lihat sendiri."

Selanjutnya Loila datang, meletakkan cangkir di atas meja. Ia tuangkan teh ke cangkir, lalu mendorong pelan ke hadapan Aciel.

"Buk Finsa. Lihatlah Loila, apa mata itu milik anak kalian?"

Loila bingung. Ada apa ini? Kenapa suasananya tegang? Semua mata melihatnya, dia jadi gugup.

Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu. Mereka hening, hanya menum teh hingga akhirnya Pak Darman berdiri. Sekali lagi dia melihat Loila, rambutnya mirip dengan anak perempuan mereka yang hilang di usia empat tahun. Mendengar kabar tentang Aciel yang tinggal bersama gadis berambut jingga kemerahan, Darman beberapa kali mencegat Aciel di jalan, lalu berakhir di sini, di pertemuan ini.

"Mata itu asli?"

Loila mengangguk.

"Mama, ayo kita pulang," ajak Darman. Sepasang suami-istri itu pun pamit pergi.

Sementara itu Aciel menghempas tubuh di sandaran sofa. Kepalanya mendongak, menatap langit-langit yang semakin usam. Loila masih di sampingnya, menunggu entah apa yang ditunggu.

"Mereka kira kamu adalah anak mereka, Loila." Mendadak Aciel bersuara.

"Mana mungkin. Aku ingat kalau aku dibesarkan di pulau, dari bayi tentu saja."

"Aku tahu."

"Aciel kamu mau makan? Bibi Mety tadi memberikan telor. Mau telur dadar?"

"Boleh."

Usai makan, Aciel dan Loila berada di bawah pohon. Aciel tiduran di karpet, sedangkan Loila duduk rapi di ayunan kayu.

Hampir setiap hari seperti itu.

Waktu terus berlalu, sebentar lagi Aciel akan masuk SMP. Loila menemani Aciel untuk membeli perlengkapan sekolah, berkeliling pasar melihat banyak dagangan.

"Ini untukmu."

Aciel memberikan buku novel, setiap satu minggu sekali novel adalah bonus Loila. Mata jingga gadis itu semakin terang ketika menerimanya, Aciel suka melihat mata itu. Mata ketika Loila merasa senang.

Di bawah pohon di atas ayunan, adalah tempat favorit Loila untuk membaca. Aciel akan menemani berbaring di atas tikar sambil mengerjakan PR juga belajar. Tidak lama, hanya sebentar. Karena setelah itu Aciel akan membuntuti polisi, atau mencari uang dari kerjaan apa pun sebab belum dapat jadwal kompetisi cerdas cermat.

Setelah tiga bulan, Loila dan Aciel kembali berhadapan dengan sepasang suami-istri yang pernah datang.

"Kali ini apa lagi?" tanya Aciel.

"Aciel, maksud kami baik."

Mereka menatap Loila ... lagi.

"Aciel, dengar. Kami berniat mengadopsi Loila. Sebagai orang yang menjaga Loila selama ini, kami membutuhkan izinmu."

"Apa!"

Jantung Aciel berpacu kencang, Loila menggenggam tangan Aciel erat. Matanya berkca-kaca, dia tidak ingin pisah dengan Aciel.

"Aciel, aku mau denganmu saja," tutur Loila. Air mata lolos, Loila menangis takut Aciel setuju.

"Loila tidak punya identitas, tidak ada catatan tentang kelahiran dia. Kami sudah mengeceknya. Kamu mau dia dianggap sebagai imigran ilegal?" ucap Pak Darman.

Bahu Aciel lemas. Yang dikatakan Pak Darman benar, Loila butuh identitas.

"Umurnya masih 10 tahun, seharusnya dia sekolah. Apa itu bisa dilakukan dengan identitas tidak jelas? Atau kamu ingin Loila tidak mendapat pendidikan sama sekali? Juga pekerjaan di masa depan? Kamu anak yang cerdas, Bapak tahu kamu mengerti maksud Bapak."

Buk Finsa berpindah tempat duduk ke samping Aciel, menepuk pundak laki-laki itu lembut bersama tatapan yang memberi pengertian.

"Itu bisa dihindari jika kami mengadopsi Loila. Kami akan menjadi walinya, dia akan masuk ke Kartu Keluarga kami. Dengan begitu Loila bisa membuat Akte kelahiran."

Aciel menatap Loila yang menangis menggeleng-gelengkan kepala. Mereka sama-sama sudah nyaman bersama. Akankah berpisah?

Lantas Aciel menahan air mata. "Berikan aku aktu untuk berpikir, aku harus bicara dulu dengan Loila," ucapnya sendu.

Pak Darman dan Buk Finsa mengangguk setuju. "Kami akan datang lagi besok sore. Jadi pikirkan baik-baik. Pikirkan juga masa depan Loila, Aciel. Dia akan kesulitan tanpa identitas yang jelas."

Setelah itu mereka pun pergi.

Bersambung....







Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang