Bab 39

148 28 11
                                    

Uang yang Loila dapatkan hari ini, seluruhnya ia gunakan untuk membeli alat gambar--hanya tersisa cukup untuk membeli makan malam satu jenis saja. Menatap dompet yang teramat tipis, wajah Loila menekuk sedih.

"Enggak cukup beli novel baru," gumam Loila membelakangi Acil.

Malah mikir novel, uang makan dia saja tidak cukup. Tak habis pikir Acil oleh tingkah Loila, tipe bodoh yang hanya memikirkan kondisi saat ini.

Berbalik badan, Loila memasang wajah memohon menghadap Acil. Astaga, Acil paham maksud ekspresi itu. Menghela napas, lantas Acil menjawab, "Baiklah, pakai uangku beli bukunya."

Bersorak ceria, Loila merangkul tangan Acil, memeluk erat mengenai dada. Berjalan bedua dengan posisi seperti itu. Wajah Acil seketika memerah, namun tidak ada niat sedikit pun untuk menarik tangan dari benda kenyal itu.

Lumayan juga ... ukurannya. Pura-pura batuk, mengalihkan rasa canggung. Sementara Loila sibuk menoleh ke sana ke mari membawa Acil menyebrang jalan, Acil curi-curi pandang ke lengannya yang diapit oleh dada.

Dulu itu rata.

"Di sana!" tunjuk Loila antusias pada gedung khusus buku dari penerbit terkenal. Acil sontak mengalihkan pandangan. Semoga saja Loila tidak tahu.

"Ada apa? Kupingmu memerah, Acil?"

"Agak panas, tapi tidak apa-apa? Ayo ke sana."

Loila melepaskan pelukannya dari tangan Acil, berlari lebih dulu masuk ke toko buku. Di depan, Acil belum masuk, ia mundur beberapa langkah untuk melihat luas dan tinggi toko buku. Lantas memindai lingkungan sekitar. Cukup menarik, di halaman toko ini ada sekitar empat pohon rindang, bangku-bangku sengaja dibuat di bawah pohon. Penghuninya rata-rata memegang buku. Namun, percakapan meledaknya swalayan menamani mereka di antara buku-buku.

"Acil! Apa yang kamu lakukan! Ayo masuk," teriak Loila di ambang pintu.

***

Kembali ke markas, Loila dan Acil berpisah. Loila menaruh alat gambar di atas kasur Gress dalam bentuk bingkisan hadiah. Sudah lama Gress tidak memoles kuas, ia harap sahabatnya itu tidak melupakan keahliannya.

Detik jam terus maju, tidak ada tanda-tanda Gress akan datang. Mata Loila sayu, berpikir apakah Gress masih belum ingin kembali satu kamar dengannya? Dia sangat marah, padahal sebelumnya Gress cepat membaik.

Baiklah, mungkin di kamar Jino.

Tidak akan menunggu lagi, Loila memtusukan mencari. Sayangnya bahkan Jino tidak ada di kamarnya. Bertanya pada anggota lain, mereka bilang tidak ada melihat Jino dan Gress masuk.

"Acil, kamu di dalam? Buka pintunya?" Pada akhirnya Loila malah mengetuk pintu kamar Acil.

Butuh tiga menit sampai pria itu membuka pintu. Kenapa lama sekali? Seperti orang yang tengah siap-siap membenahi diri.

"Ada apa?"

"Gress dan Jino belum kembali. Menurutmu mereka ke mana?"

"Diner mungkin. Mereka 'kan sekarang pacaran."

Hal selanjutnya yang Loila lakukan ialah kembali ke kamar. Baru ingin memejamkan mata, keributan di luar memaksa Loila untuk melihat. Tepatnya di depan kamarnya sendiri, dua laki-laki masing-masing memegang pisau, menyerang satu sama lain, menampilkan pertikaian hidup dan mati.

Kaki Loila langsung lemas, penghuni tetangga satu ruangan bawah tanah dengan Loila tidak ada yang berani melerai. Ada yang menonton terpaku, berteriak, bahkan masuk kembali lantas mengunci kamar. Bagian poin terakhir, dialah Loila. Enggak sanggup melihat darah. Pertikaian masih berlangsung, sampai penghuni ruangan lain datang, menembak mereka dengan bius.

"Ada apa dengan mereka bedua?" tanya Coko, dia baru saja tiba--mendapat laporan dari anggota.

"Mereka berdua mau menyelinap ke kamar Loila, mau melecehkan Loila karena dia sendirian di kamar. Tapi ...." Wanita beju hijau diam, melirik tangga atas dengan wajah ragu.

"Tapi apa?" sarkas Coko.

"Ada yeng melempar salah satu dari mereka menggunakan pisau. Lihat, menancap di punggung dia," menunjuk salah satu anggota yang pingsan oleh bius. "Menciptakan salah paham, dia pikir temannya yang menusuk punggung. Jadi mereka bertengkar."

"Siapa yang melempar pisau?"

"Aku kebetulan mau buang sampah. Ada orang di atas tangga yang hanya terlihat siluetnya saja. Aku tidak tahu siapa dia."

Loila mendengar dari balik pintu, tersandar gemetar mendengar penjelasan wanita itu. Dua cowok ingin melecehkannya, mereka pasti punya alat untuk membobol pintu kamar Loila. Beruntung ada yang menyerang mereka, kalau tidak ... entah bagaimana nasib Loila.

Tiba-tiba Loila mendengar suara Acil di luar.

"Bagaimana kamu tahu dua orang ini mau melecehkan Loila?"

"Mereka berdiri di depan kamar Loila tadi. Pelecehan sesama anggota bukan hal baru dalam benteng ini. Pun yang ngincar Loila banyak. Petinggi tidak akan menghukum mereka, mereka tidak peduli dengan urusan seperti ini. Pandai-padai bertahan hidup. Begitulah kehidupan keras di dalam sini."

Loila keluar dari kamar, berlari memeluk Acil dari balakang. Saat ini, satu-satunya yang dapat Loila percaya hanya si pria culun ini. Dapat Acil rasakan tubuh Loila gemetar, suara tangis yang ia tahan.

Memegang tangan Loila yang melingkar di perutnya, Acil berkata, "Tidak apa-apa, Loila. Kamu tidurlah yang nyenyak. Aku akan berjaga di depan kamarmu."

"Sebelumnya mereka tidak pernah mencoba masuk ke kamarku, Acil. Aku takut. Kenapa tiba-tiba ...."

"Mereka tahu kamu sendiri di kamar. Kesempatan langka, sebab biasanya Gress selalu berada di dekatmu, 'kan?"

Setelah cukup tenang, Loila masuk ke dalam kamar. Dia percaya Acil akan tetap berjaga di depan, rasanya lebih aman. Duduk bersandar di depan pintu kamar Loila, Acil menatap benci pada dua orang cowok yang dibiarkan tergeletak di lantai. Mereka berdua tidak mati, hanya mendapat luka tusukan di area tidak fatal. Tidak ada yang peduli, sampai mereka sadar sendiri.

"Kenapa kamu duduk di situ, Acil?" Penampilan Acil yang tidak biasa, membuat dia dikenal dengan cepat.

"Menjaga Loila dari orang seperti kalian."

"Cuih kali ini dia lolos. Gara-gara kamu menancap pisau di punggung aku!" memarahi temannya.

"Sudah aku bilang bukan aku! Kamu main tuduh saja, melukai aku lebih banyak. Aww, sakit nih."

"Siapa lagi kalau bukan kamu?"

"Mana aku tahu."

Sekarang mereka beradu mulut, tidak sampai saling mnyerang fisik seperti tadi. Sampai mereka menaiki tangga untuk pergi, perdebatan masih terdengar.

Bibir Acil terangkat tipis. "Aku yang melempar," gumamnya.

Ya, Acil menaruh CCTV dan alat yang mengirim sinyal ke kamarnya di dekat kamar Loila. Setiap ada yang mendekat pintu kamar Loila kurang dari satu jengkal, alarm peringatan akan membangunkan Acil. Tahu tempat ini tidak ada aturan yang melindungi para perempuan.

Masih untung dia melempar di bahu, niatnya tadi ingin langsung melempar tepat di jantung. Pemikiran jahil muncul, membuat mereka bertengkar sepertinya lebih menyenangkan. Namun endingnya tidak sesuai harapan Acil. Kenapa? Karena tidak ada satu pun yang mati.

Hari ini adalah rekor Acil memakai bedak bayi basah lebih lama. Sepanjang malam dia berjaga dengan penampilan seperti itu. Agak risi, tapi mau bagaimana lagi? Ia harap Gress dan Loila lekas baikan.

Bersambung....








Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang