Pagi-pagi Loila disuruh bersiap-siap oleh Bahri, tak tahu mau ke mana. Saat jalan beriringan, mereka berpapasan dengan Darman. Loila membuang muka, mereka masih perang dingin.
"Jangan pulang malam." Itu cuman yang dikatakan oleh Darman, pun ia tujukan pada Bahri.
Bahri membawa Loila keluar menggunakan motor, memasuki distrik dekat tepi sungai yang Loila kenal. Deretan pepohonan subur, air jernih, suasana tenang dan sepi.
Senyum Loila merekah. "Bang, ini dekat rumah Aciel."
"Aku memang mau mengantarmu ke sana. Nikmatilah waktu weekend bersama Aciel."
Loila bersorak dalam hati. Bang Bahri memang baik banget, berbanding terbalik dengan Darman, papanya.
Sampai di depan rumah Aciel, Bahri menyuruh Loila untuk memastikan keberadaan Aciel terlebih dahulu. Setelah Aciel membuka pintu ia lihat Aciel yang kaget. Bahri tertawa, reaksi Aciel sangat lucu.
"Jadi dia yang namanya Aciel," gumam Bahri, dipertemuan pertama dengan Aciel.
Aciel melirik Bahri, mereka saling melempar senyum tipis.
"Kalian bersenang-senanglah, nanti sore aku akan jemput di sini."
Motor pun berangsur hilang dari pandangan, Bahri telah pergi. Loila dan Aciel terus memandang sampai cowok itu tidak terlihat.
"Aciel, aku sangat rindu padamu."
"Aku juga, Loila. Sangat sepi di rumah ini tanpa dirimu, tidak ada lagi gadis yang menjadikan aku tikus percobaan masakannya."
Mereka tertawa.
"Kenapa waktu begitu lambat? Aku ingin cepat selesai kuliah, lalu kita tinggal bersama lagi."
Loila tidak mengerti seberapa dalam kata tinggal bersama, berbeda dengan Aciel, namun dia tidak mencoba untuk menjelaskan. Lantas Aciel mengulurkan tangan, bergaya seperti pangeran yang ingin mengajak putri untuk berdansa. Dia menepis pikiran yang sudah terlalu jauh.
"Ayo masuk ke dalam, Nona. Apa Anda mau?"
"Tentu saja." Loila ikut masuk ke dalam drama.
Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Loila selain menghabiskan waktu bersama Aciel. Tawanya begitu lebar, warna mata yang hilang kembali berbinar indah. Membaca novel di ayunan pohon, menemani Aciel yang mengerjakan PR di tikar.
Ketika waktu makan siang tiba, Loila membuat makanan yang simpel. Jangan lupakan fakta dia adalah gadis yang ingin berguna bagi Aciel, wajar diumur bermainnya dia sudah bisa melakukan pekerjaan rumah.
Mereka makan di bawah pohon, seperti sedang piknik. Suasana yang cocok, dekat sungai jernih di bawah pohon rindang yang memiliki ayunan kayu.
"Loila, masakanmu yang terbaik." Aciel mengacungkan kedua jempol, bicara dengan mulut penuh.
"Benarkah? Aku pikir kemampuanku mulai tumpul?"
"Kenapa berpikir seperti itu?"
"Karena di rumah besar itu yang aku pegang hanya buku pelajaran dan pena." Bibir Loila mengerucut, lantas Aciel menjetik jidat Loila.
Kebiasaan lama, ketika Loila merengut, maka Aciel akan menjentik jidat Loila.
"Aciel ... bisakah aku tinggal bersamamu saja? Aku tidak suka di sana. Terlalu banyak peraturan, aku tidak diperbolehkan membaca novel dan masih banyak lagi." Loila mendongak, matanya memelas memohon. "Aku tidak peduli jika dicap sebagai imigran ilegal."
"Tapi aku peduli, Loila. Apa pun kebaikan untukmu adalah hal penting bagiku."
"Apa kebahagianku tidak penting bagimu, Aciel?"
Hening, suara angin mengacak dedaunan terdengar jelas. Aciel mati kutu, bagaimana caranya untuk menjelaskan pada Loila. Tentu saja dia peduli, tapi pikiran Aciel jauh ke depan, tidak hanya berputar pada waktu saat ini. Yang susah kelak adalah Loila.
"Aciel?" Loila menuntut.
"Penting, sangat penting. Aku juga merasa berat, Loila. Aku harap kamu mengerti, negara memiliki aturan, orang yang tidak mengikuti aturan adalah kriminal. Termasuk orang asing yang asal-usulnya tidak jelas, beraktivitas dalam negara."
Wajah Loila berekspresi lemas, lagi-lagi Aciel mengatakan tentang aturan. Loila tidak secerdas Aciel, jadi dia menganggap remeh aturan, lebih mengedepankan perasannya tanpa memikirkan konsekuensi yang akan ia terima kelak.
"Jangan sedih. Aku sering mengunjungimu setiap malam minggu, melihatmu di balkon tengah melamun sedih. Aku selalu berusaha untuk melihat gadis bermata cahaya lentera. Dia tidak bahagia, aku tahu. Itu juga menyakiti aku."
Loila terkejut. "Benarkah? Tapi aku tidak ada melihatmu."
"Di luar pagar, ada pohon tinggi, aku memanjat untuk melihatmu dari sana."
Tiba-tiba suasana dipecahkan oleh seseorang yang berujar dari belakang, dia adalah Bibi Meti.
"Manis sekali, Bibi jadi ikut meleleh. Aduh kalian ini menggemaskan sekali."
Bibi Meti mendekat, ikut bergabung duduk di atas tikar. Lalu ia mengeluarkan beberapa macam kue, juga 15 butir telur mentah.
"Lagi-lagi telur," singgung Aciel.
"Ayam Bibi lagi bertelur banyak. Eh, Bibi ikut makan boleh, ya?" tuturnya sebab melihat banyak hidangan yang tersusun di tikar.
Dengan adanya kehadiran Bibi Meti, pembicaraan mereka kembali menjadi obrolan anak biasa. Bibi Meti berlaku sebagai ibu mereka, menanyakan keseharian dan kegiatan apa yang ingin mereka lakukan.
Namun Bibi Meti tidak duduk lama, sekiranya 20 menit dia kembali berpamitan untuk menyelesaikan pesanan kue online.
Loila dan Aciel kembali berdua.
"Loila mau jalan-jalan?" tawar Aciel.
"Mengekori polisi? Aku tidak mau."
"Hahah, enggak. Ke danau buatan di dekat pusat kota, baru dibuka dua minggu yang lalu. Tempatnya indah, banyak pohon berbunga, juga bisa menyewa perahu. Mau?"
"Mau!" Loila menjawab semangat. Dia langsung bergegas mengemasi piring bekas makan, tidak lupa mencicinya terlebih dahulu. Tak akan ia biarkan Aciel melakukan pekerjaan rumah, sementara dia ada di sini.
Saat keluar, Aciel sudah berada di atas sepeda, memakai headband betuliskan 'Aciel' benda yang hampir setiap hari berada di kepala Aciel.
Bibirnya tersenyum tipis, rambut hitam yang sedikit panjang tetap menyentuh pelipis Aciel. Dia memiliki pesona kuat sebagai seorang laki-laki.
"Pegangan, kita akan melaju membelah jalan panas."
"Siap, Kapten."
Hari ini sangat menyenangkan, sampai Loila berharap waktu berhenti detik ini juga. Naik perahu, mereka di dampingi orang dewasa karena belum diperbolehkan untuk naik sampan berdua saja, sesama anak. Mencoba bergam jajanan, Aciel bilang ia baru saja mendapat banyak uang. Duduk di bawah pohon yang bunganya berjatuhan seperti sakura, sangat indah.
Hingga tidak terasa sudah sore, Aciel mengajak Loila kembali karena mungkin Bahri tengah menunggu di rumah Aciel. Dengan berat hati Loila setuju. Benar, ketika mereka sampai, sudah ada Bahri yang duduk di teras rumah Aciel.
"Sudah lama menunggu, Bang?" tanya Aciel, berhenti tepat di depan Bahri.
"Sekitar setengah jam mungkin," jawab Bahri sembari mengangkat tangan melirik jam di lengan.
Loila nasih berada di boncengan belakang Aciel, dia tidak rela untuk meninggalkan Aciel kembali.
"Loila," tegur Aciel.
Loila pun langsung turun, menatap lama Aciel sampai dia kembali mendapat jentikan di jidat sebab Loila merengut.
"Tenang saja, Loila, Abang akan membawamu ke rumah Aciel setiap minggu." Bahri membujuk.
"Janji?"
"Janji."
Barulah Loila mau naik ke motor Bahri, melambaikan tangan ke Aciel ketika motor telah jalan. Seminggu sekali, tidak buruk dari pada tidak sama sekali.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Malam
Teen FictionBermula dari pertemuan ketika kecil berinteraksi manis, tumbuh dewasa saling tidak mengenal. Dalam gelap Aciel meraba mencari lentera untuk menerangi hidupnya, namun Loila sebagai lentera itu memadamkan apinya. Bagaimana kisah mereka? Yuk, langsun...