Bab 37

168 33 10
                                    

Pukul delapan siang, Loila pergi ke kantin makan fasilitas khusus untuk semua orang tetapi tetap bayar. Biasa dia pergi bersama Gress, tapi kali ini sendiri. Memakai celana pendek di atas lutut, baju kaos kuning, membiarkan rambut tergerai. Penampilan yang sangat santai, namun terlihat lebih menonjol dari siapa pun.

Setelah memesan sendiri, Loila duduk di kursi ujung. Satu fakta yang ia lupakan, bahwa dia tidak punya uang. Sudah lebih dari seminggu Loila tidak keluar mengantar barang, pun dompetnya ada bersama A, dia tidak menyimpan uang di bank. Sebuah kecerobohan dia boros membeli ini itu memakai uang simpanan sebelumnya. Tidak ada Gress, tidak ada yang meneraktir.

Pesanan telah mendarat di atas meja, menelan liur kasar, mata Loila berkedip-kedip menatap piring-piring--pesanan Loila yang harganya lumayan mahal.

Mampus, aku tidak punya uang.

Menoleh sana sini, Loila menemukan Gress tengah makan berdua di meja yang jaraknya cukup jauh darinya. Haruskah dia membuang rasa malu, lalu mengemis pada Gress? Tapi ... rasa  bersalah yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan kini jadi pikiran lantas tertunduk malu membiarkan makanan tetap utuh di atas meja.

"Kenapa belum dimakan?"

Loila terkesiap, seketika menoleh ke depan. Acil telah duduk di depannya, menyadarkan dagu di kedua telapak tangan, melihat Loila dengan sebelah alis terangkat.

Kehadiran Acil menimbulkan pemikiran Loila untuk meminjam uang, toh sebentar lagi dia akan kembali bekerja--dapat duit langsung ia bayar. Pertanyaannya, adakah Acil yang merupakan orang baru ini memiliki uang?

"Acil, kamu punya uang?"

"Punya."

"Aku boleh pinjam?"

Terdiam sesaat, mereka saling tatap dengan arti yang berbeda-beda. Loila dengan harapan, sementara Acil ... menyipit dalam.

"Bukankah penyalur seperti kalian punya banyak uang, ya?"

"Iya. Tetapi aku dalam masalah, jadi aku tidak punya uang ... simpananku juga sudah aku habiskan."

"Baiklah, sekarang kamu makan."

"Terima kasih, Acil. Ternyata kamu baik, aku salah menilaimu kemarin."

"Kamu terlalu cepat menilai, bahkan sekarang. Itu tidak bagus, Loila."

"Iya, maaf."

Makanan yang telah dingin itu pun akhirnya disantap, tidak ada keraguan selama Acil masih duduk di depannya. Itu artinya Acil sedang tidak menipu. Perut yang kosong telah mengosongkan piring. Loila mengelap mulut menggunakan tisu, meneggak air menggunakan sedotan.

"Walaupun kamu makan dengan rapi, tetapi ukuran makanmu banyak juga, ya." Acil tersenyum tipis--senang melihat Loila bukanlah wanita yang berpikir tentang diet.

"Tidak apa-apa, aku bukan orang yang mudah gemuk. Oh, iya, kamu sudah makan?"

"Piring sudah kosong baru kamu ingat menawarkan aku?"

Loila tertawa. "Aku akan pesan. Kamu mau apa?"

"Enggak apa-apa, aku sudah makan duluan tadi."

Orang sekitar menaruh perhatian pada Loila, baru kali ini mereka melihat Loila duduk bersama laki-laki. Lebih menjengkelkan ketika melihat bagaimana penampilan laki-laki yang jauh dari kata normal. Apa selera Loila, laki-laki yang seperti itu? Sementara di sana ada Gress dengan Jino, jaraknya dengan Loila cukup jauh. Tidak biasanya dua sahabat itu duduk berjauhan.

"Loila, tumben tidak dengan Gress?" tanya laki-laki di meja sebelah.

Baru Loila sadari jika dia dilihat oleh banyak mata. "Urus saja urusan kalian sendiri," jawab Loila, tapi tidak ada yang tersinggung. Loila berintonasi santai beserta senyum yang manis--sebenarnya dalam hati Loila, dia merasa tengah senyum sinis--membuat mereka menilai, bahwa Loila tidak marah.

Berbeda dengan apa yang Gress pikirkan. "Karena dia cantik, memiliki wajah yang lembut. Dia seperti kucing, tengah marah pun dianggap lucu oleh semua orang."

"Gress, kamu termakan omonganku kemarin, ya?" Mata Jino sayu, dia tidak sengaja merombak gaya berpikir Gress.

"Yang kamu katakan kemarin benar, Jino."

"Memang benar, tapi sepertinya kita harus memikirkan bagaimana posisi Loila juga."

"Apa maksudmu?"

"Dia diasuh oleh keluarga angkat kaya yang tidak memperbolehkan Loila bergaul dengan orang di bawah mereka. Dia bisa berteman denganmu saja sebuah keajaiban. Masa lalu dia buruk, di otaknya hanya memikirkan bagaimana bisa dia bertemu dengan Aciel. Wajar gadis itu minim perhatian, dia sendiri kekurangan perhatian. Tidak  tahu caranya. Maka dari itu dia terus mencari Aciel, satu-satunya orang yang ia pikir akan mendapatkan perhatian."

Bahu Gress melemah, sekarang dia mengerti maksud Jino, namun tidak dipungkiri rasa jengkel masih belum hilang di hatinya.

Jino menggenggam tangan kanan Gress yang di atas meja. Saling menatap lantas tersenyum. "Aku yakin Loila tidak ada maksud untuk menghinamu. Aku telah memikirkannya semalaman, menyadari bahwa aku terlalu sembrono menilai dia. Loila tidak sengaja, dia pasti sedang menyesalinya."

"Kenapa dia tidak meminta maaf sendiri padaku? Malah menitipkan padamu. Lihat dia ... bahkan tidak melirik aku di sini."

"Menurut kamu sifat dia bagaimana?"

"Cengeng dan penakut," balas Gress. Terdiam sesaat, kemudian mata Gress melebar. Ya, dengan sifat seperti itu, Loila pasti takut Gress malah risi dengan melihat wajahnya.

"Sudah dapat jawabannya?" tanya Jino.

"Te-tetap saja, kalau merasa bersalah harus berani untuk meminta maaf. Kemungkinan lain, urusan belakangan."

Tiba-tiba Loila melewati meja mereka begitu saja, bersama Acil berada di sebelah gadis itu. Terdengar sesaat mereka membicarakan tentang mengantar barang sekitar jam 10 nanti. Gress melihat punggung sempit itu sampai menghilang, lantas sedih.

"Dia mengabaikan aku," gumam Gress.

Jino menghembus napas, mengangkat gelas lalu meminumnya, melirik Gress dari balik gelasnya. Usai itu dia menarik tangan Gress melangkah pergi, bukan menyusul Loila sebab Jino tahu Gress harus tetap diam sampai Loila meminta maaf sendiri.

"Jino kita mau ke mana?"

"Pergi antara barang."

"Bukankah waktu janji kita habis tengah hari?"

"Kita jalan-jalan dulu. Loila pasti menunggumu kembali, kita buat dia susah. Siapa suruh main lewat aja tadi."

"Kok malah kayak drama membuat pacar menyesal, ya?"

Jino tertawa, dia pernah mengalami hal yang sama. Lucu membayangkan hubungan pertemanan sangat dekat hingga terlihat berbeda di mata para fujo. Sayangnya teman Jino telah meninggal, di tabrak mobil saat melarikan diri dari kejaran polisi. Maka dari itu dia tidak ingin persahabatan Gress dan Loila berakhir. Alasan kenapa dia manarik kata-katanya tentang Loila, karena dia tahu bagaimana rasanya tidak memiliki teman. Gress yang tidak percaya diri, akan kesulitan mencari teman baru.

"Aku yakin Loila akan mencarimu. Bersama rekan barunya, Acil."

Bersambung....






Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang