Part 13

200 38 6
                                    

Pintu, jendela, Loila sudah mencoba untuk mencari jalan keluar, hasilnya dia lelah sendiri. Di hadapannya ada cermin, rambut palsu Loila miring, lantas dia berjalan ke cermin memperhatikan diri.

"Aku seperti orang yang berbeda, seharusnya tidak ada yang mengenali aku sebagai Loila Leisasalisa. Terus, siapa pria yang menculikku?" gumam Loila bertanya-tanya bingung.

Mata Loila berat, dia ingin tidur tapi takut. Sudah pukul empat subuh, dari menahan kantuk untuk rencana kabur dari rumah sampai menahan kantuk untuk waspada sama sosok yang menculiknya.

Matanya terasa kering, lebih baik lepaskan dulu soflennya. Merebahkan tubuh di ranjang, memejamkan mata sejenak, lalu kebablasan sampai siang.

Ketika dia membuka mata, kepalanya menoleh ke sana ke mari untuk mengenali tempat ia berada saat ini. Ingatan tentang ia yang diculik sontak mendebarkan jantungnya. Suara ketikan keyboard di samping membuat Loila menoleh pelan ke arahnya. Dia melihat laki-laki itu tengah duduk di sofa menyilangkan kaki dengan laptop berada di atas paha.

"Mampus lah aku," batin Loila.

Loila duduk, tidak ada gunanya berpikir untuk pura-pura tidur. Mau sampai kapan memangnya? Dia butuh kejelasan tentang penculikan ini.

Laki-laki itu melirik Loila, membiarkan Loila ke kamar mandi tanpa bertanya urusan gadis itu mau apa di dalam kamar mandi.

Di depan cermin, Loila mencuci muka serta gosok gigi. Ia lepas rambut palsu yang terasa pengap tidak nyaman, kemudian menyisir rambut aslinya. Lebih baik dalam penyamaran saja, maka Loila kembali memasang rambut palsu juga soflen.

Ia siap menghadapi laki-laki itu.

"Kamu ini siapa? Berikan penjelasan kenapa kamu menculikku?" ucap Loila langsung, menjatuhkan pantat di sofa hadapan pria itu.

"Aku Detektif A, turun untuk menangani kasus perdagangan manusia."

"Jadi maksudmu aku terlibat, Detektif A?"

Napas Loila tercekat, syok tentunya. Tidak disangka pria yang bermimik pilu di kuburan kemarin adalah Detektif A, terlebih dia ditangkap oleh sosok itu.

Laptop didorong ke hadapan Loila, terputar rekaman hitam putih CCTV Loila bicara dengan perempuan yang menayangkan jalan menuju Distrik X kemarin, bicara dan memberi sesuatu ke tangannya.

"Wanita itu temanmu, 'kan? Apa yang dia berikan padamu?"

"Pe-permen." Loila menatap gemetar Detektif A, yang ia tidak tahu itu adalah Aciel yang ia rindukan. "Dia menanyakan jalan ke Distrik X padaku. Aku tidak tahu jika dia adalah kriminal, sungguh."

"Jangan berbohong. Kalau begitu kenapa menyamar?"

"Apa maksudmu?"

"Itu rambut palsu, kan?" Aciel menatap kepala Loila. "Kamu yang mengganti rambutmu ikut terekam. Dasar bodoh, rata-rata toko atau ruko memiliki CCTV. Kalau mau berbohong lebih cerdaslah." Dia tertawa sinis, mengejek kebodohan gadis di depannya.

Sontak Loila memundurkan rekaman, memang benar ada dia yang tengah menghadap kaca di toko, tengah membenahi penyamaran. Tapi CCTV hitam putih tidak menangkap warna asli rambutnya.

"Aku kabur dari rumah, jadi aku menyamar."

"Baiklah, kalau begitu di mana rumahmu?"

"Tidak akan kuberi tahu."

"Kamu membawa KTP?"

"Tidak akan aku perlihatkan."

Loila menunduk, menggenggam ujung rok. Jika dia tahu, Detektif A pasti akan mendatangi rumah Darman, memastikan kebenaran apa yang dikatakan Loila. Lalu Darman akan tahu Loila berada di rumah Detektif A, dia akan meminta Detektif A untuk membawa Loila pulang dengan dalih yang mungkin tidak benar.

Itu skenario terburuk.

"Kalau begitu aku akan menganggapmu sebagai salah satu komplotan perdagangan manusia. Kamu tidak bisa keluar dari rumah ini sebelum kamu mengaku."

"Ka-kamu akan menyiksaku?"

"Begitulah cara menginterogasi."

Bulu kuduk Loila merinding, proses interogasi adalah proses yang paling mengerikan. Kekerasan adalah metode yang paling umum.

Tiba-tiba dua orang lain datang, menyeret Loila ke ruangan lain. Tidak ada kenyamanan lagi, dia dipindahkan ke penjara bawah tanah. Tidak hanya ada Loila di sana, beberapa sel lainnya terisi orang-orang yang diinterogasi.

Suara jeritan sakit menggema dari kejauhan, sedangkan di sel depan Loila ada pria berbadan besar hanya menggunakan celana dalam, tubuhnya penuh dengan luka sayatan yang belum kering dan akan terus bertambah.

"Detektif! Detektif!" jerit Loila ketakutan. Ia mengguncang besi tempat ia ditahan. Menangis ketakutan, membayangkan dirinya akan sama seperti mereka.

Aciel datang, berjongkok menghadap Loila yang meringkuk gemetar. "Sudah mau mengaku? Kalau tidak berikan benda yang dititipkan padamu itu."

"Aku sudah menelannya," lirih Loila.

"Baiklah, aku akan siapkan operasi untuk membelah perutmu."

"Itu hanya permen, sungguh."

Aciel membuka sel, ia ikut masuk ke dalam. Mencengkeram dagu Loila, membuat mata gadis itu menatap matanya. Hitam kecoklatan, warna mata pada umumnya, tapi Aciel merasa mata di hadapannya ini palsu. Terserah! Siapa yang peduli?

"Mengaku atau kamu bernasib sama dengan tahanan di sini? Aku tidak peduli jika kamu adalah perempuan, sama saja bagiku."

"Aku tidak berbohong!" Loila menepis tangan Aciel. Mundur beberapa langkah, mengusap-usap pipi yang sakit.

Kasar sekali, Loila tidak pernah diperlakukan seperti ini. Apanya detektif yang hebat? Aciel pasti jauh lebih baik dan lembut. Dia tidak akan menjadi jahat sepertimu, bajingan! Pikir Loila.

Aciel bersin, menggosok hidung yang terasa gatal. Loila kaget karena suara bersin pria di dekatnya sangat kencang menggema.

"Apa?"

Aciel tidak senang dengan reaksi Loila yang melangkah mundur. Seperti menjauhi? Ah, memang kenapa kalau dijauhi? Aciel mendekat, memojokkan Loila di dinding. Ia saku kedua tangannya di kantong hoodie.
Satu tangan keluar membawa pisau lipat kecil digenggaman. Ia mainkan pisau itu di depan wajah Loila, jelas gadis itu takut.

"A-aku tidak tahu apa-apa," lirih Loila mempertahankan kaki yang kian melemas--ingin pingsan.

"Baiklah."

"Argh!"

Loila terpekik, Aciel menggores lengannya sekitar 5 cm. Warna merah darah begitu cantik berada di kulit putih Loila. Aciel memperhatikan intens, kemudian menampar dirinya sendiri. Walau cantik, ia rasa ia tidak suka darah itu keluar.

Apa dia sudah gila? Sebelumnya pada orang yang berbeda tidak ada perasaan ragu seperti ini.

"Aku akan kembali lagi." Aciel keluar, memastikan sel tertutup dengan benar.

Rekan Aciel menghadang. "Ada apa?" tanyanya heran. "Kamu tampak ragu, A."

"Aku ada urusan lain."

"Baiklah, kalau begitu serahkan saja gadis itu padaku."

"Tidak usah. Kamu urus yang lain saja, Ben."

Ben adalah rekan Aciel, mengurus segala hal yang diperintahkan Aciel sebab dia bukanlah orang yang cerdas. Namun, jika diberi arahan dia adalah rekan yang menakjubkan.

"Baiklah." Ben tidak pernah mempertanyakan segala keputusan Aciel.

Aciel memandang gadis yang menangis bisu, gemetar hanya karena goresan 5 cm. Gadis lemah seperti ini seharusnya tidak usah terlibat hal kriminal, pikir Aciel. Ya walaupun belum ada kejelasan, Loila tidak bisa dilepaskan.

"Siapa namamu?"

Loila tersentak, membutuhkan jeda cukup lama sampai dia menjawab, "Sasa." Nama yang diambil dari nama belakang bagian tengah, Loila Leisasalisa. Dengan begitu, dalam indeks pun nama asli Loila akan tetap tersamarkan.

Bersambung....

















Lentera MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang