Dalam amarah yang masih membara, Erwin mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi di tengah malam. Kata-kata Mike masih terngiang-ngiang.
'Harusnya lo seneng Irwan mati!'
Kenangan tentang Irwan terputar kembali di kepala Erwin. Masa-masa ketika mereka masih kecil.
Dulu, Erwin sangat nakal dan super aktif. Dia selalu mengganggu teman-temannya di sekolah. Menyembunyikan kotak pensil, menempelkan kertas bertuliskan, 'Saya orang gila' ke punggung temannya diam-diam. Pokoknya iseng parah.
Perbuatannya pernah membuatnya dalam masalah. Dia menyiramkan air bensin ke kepala teman ceweknya saat masih SD. Untungnya tidak sekalian sama koreknya, hanya bensin.
Orang tua cewek itu marah besar dan melaporkan Erwin ke pihak sekolah. Irwan yang kala itu sudah duduk di bangku SMP, juga ikut berurusan dengan masalah Erwin. Sedangkan Irwan kala itu adalah anak yang pintar dan sifatnya berbanding terbalik dengan Erwin.
"Kalau niat kamu cuma isengin orang di sekolah, mending nggak usah sekolah! Malu-maluin!" Irwan marah besar ketika Erwin disidang di rumah bersama orang tuanya.
"Irwan, udahlah marahnya," tegur papa Candra.
"Papa belain Erwin?" Irwan kesal.
"Erwin kan udah minta maaf," kata Tari.
Irwan memandang Erwin yang dengan kepala tertunduk dengan tatapan kesal. Irwan sebelumnya jarang bikin kesalahan di sekolah. Namun, sekali berbuat salah, orang tuanya marah besar. Berbeda dengan Erwin yang sering sekali berbuat ulah. Seolah semua termaafkan secara otomatis.
"Nunduk aja terus! Sok ngerasa bersalah!" Irwan menendang kursi yang Erwin duduki dengan kasar. Membuat Erwin tersentak.
"Irwan!" tegur papa Candra.
Irwan langsung lari keluar, mengambil sepedanya dan mengayuhnya cepat meninggalkan area rumah.
Erwin memandang kepergian Irwan dengan nanar. Ini bukan pertama kali Irwan marah padanya, tapi ini yang paling parah. Irwan sangat menyayanginya, sehingga untuk berkata kasar atau memukulnya saja Irwan berpikir dua kali.
Sejak saat itu, Erwin berusaha mengubah perilakunya menjadi lebih diam dan cuek akan segala hal. Sifat jahil dan nakalnya perlahan hilang. Semua itu karena Irwan, dia tak ingin membuat kakaknya marah lagi.
**
Thalita ketiduran di sofa ruang tamu karena menunggu Erwin. Tari sudah ke kamar duluan, gagal membujuk Thalita pergi tidur ke kamar.
Suara mesin motor yang baru saja tiba di halaman, berhasil membuat Thalita kembali membuka mata.
Thalita terduduk dengan mata masih saling menempel. Dia berusaha mengintip Erwin yang membuka pintu dan melangkah masuk.
"Win, kok baru pulang?" Thalita menghampiri Erwin yang berjalan dengan wajah ditekuk.
"Lo ngapain masih di sini?" Erwin bertanya dingin.
"Nungguin lo," jawab Thalita yang kesadarannya sudah pulih sepenuhnya.
Erwin menghela napas berat. Dia sedang tidak mood berdebat. Dia segera beranjak menuju ke kamar, diikuti oleh Thalita di belakangnya.
"Win, ini udah tengah malam loh," oceh Thalita. "Lo tiap hari pulang jam segini?"
Erwin mengabaikannya, dianggapnya suara Thalita hanya angin lalu.
"Win, gue lagi ngomong!" geram Thalita.
Dia menghadang jalan Erwin, terpaksa membuat cowok itu menghentikan langkahnya.
Erwin berkata dengan kesal, "Kenapa kalau gue pulang tengah malem? Kenapa kalau gue pulang besok? Atau nggak pulang selamanya? Bukan urusan lo!"
Jleb!
Perkataan Erwin begitu menusuk perasaan Thalita. "Apa maksud lo 'selamanya'? Lo juga mau ninggalin gue? Mama dan papa?"
Erwin agak terkejut melihat respon Thalita. Namun, dia berusaha tetap bersikap sama.
"Gue khawatir sama lo, Win!" Thalita menegaskan dan Erwin terdiam. "Mau sampai kapan lo balapan terus? Lo pikir mama seneng lo kayak gitu? Kalau lo kenapa-napa gimana?"
Pertama kali Erwin melihat Thalita begitu serius. Gadis itu benar-benar marah. Membuat Erwin terbungkam.
"Irwan udah ninggalin gue, lo jangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI RAHASIA ERWIN
Teen Fiction[UPDATE SESUAI TARGET!] . "Kakak gue yang bikin lo bunting, kenapa gue yang harus nikahin?" - Erwin. ***** Hidup seorang ketua genk motor yang diidolakan banyak gadis, tak semulus kelihatannya. Sifat dingin dan cuek Erwin bukan tanpa alasan, ada ban...