Kecanggungan terjadi di dalam sebuah ruangan bernuansa hitam putih itu. Erwin tak langsung mandi, dia memilih duduk di sofa dengan memainkan ponselnya. Sedangkan Thalita bolak-balik merapikan sprai yang sudah rapi. Padahal mau dipakai untuk tidur. Dasar Thalita.
"Tha!"
"Win!"
Mereka memanggil bersamaan. Menambah aura canggung yang semakin menjadi.
"Lo duluan," kata Erwin.
"Lo aja, gaada hal penting kok yang mau gue sampaiin." Thalita duduk di tepi ranjang sambil menghadap ke Erwin yang jaraknya kurang lebih tiga meter.
Cowok itu mematikan ponselnya, wajahnya tampak tegang, memandang Thalita dengan ragu-ragu. Mulut Erwin sulit mengucapkan kata yang sebenarnya sudah dia rancang di dalam otaknya. Entahlah, Erwin belum pernah seperti ini.
"Gue mau ngomong sesuatu," kata Erwin sebagai pembuka.
"Apa?" tanya Thalita penasaran.
"Sejak kapan lo kenal Irwan?"
Mendengar nama itu, Thalita merasa dadanya kembali sesak. Wajah seseorang yang pernah memberinya luka kembali muncul di ingatannya.
"Setahun," jawab Thalita dengan suara berat.
Erwin bisa melihat sendu di mata Thalita ketika dia memulai topik mengenai Irwan.
"Menurut lo dia orangnya gimana?" tanya Erwin.
"Baik," jawab Thalita spontan. Namun, pandangan mata Thalita tak menunjukkan apa yang dia ucap. "Dia sayang banget sama gue."
Erwin terkekeh pelan, entah apa yang lucu sehingga dia tertawa.
"Dia juga sayang sama gue," kata Erwin. "Sampai dia ma*ti pun ga bilang sama gue, takut gue sedih."
Kini Thalita yang tertawa pelan. Dia membalas, "Udah nggak ada gimana caranya ngasih tahu?"
"Ya itulah." Erwin menghela napas berat.
Hening, hanya napas mereka yang terdengar bersahutan. Hingga Erwin mulai bercerita, "Belakangan dia tertutup sama gue, kayak menjauh gitu. Mungkin malu punya adik kayak gue."
Thalita tak bisa berkata-kata. Dia tak tega melihat wajah sendu Erwin.
"Gue kangen Irwan," lanjut Erwin tertunduk dalam.
Thalita beranjak menghampirinya dan duduk di samping Erwin. Cowok itu tiba-tiba terisak, dia menggunakan jari telunjuk dan jempolnya untuk mengucek mata yang sudah dipenuhi air bening.
"Win," panggil Thalita pelan. Cowok itu tetap bergeming, berusaha keras menahan isakannya. Namun, gagal.
"Gue nggak tahu apa-apa tentang dia, sampai di hari gue tahu penyebab dia diusir dari rumah, itu saat dia udah dimakamkan." Erwin mengeluarkan semua uneg-unegnya yang selama ini dia tahan. Rasa sedih dan kecewanya kini pecah di depan Thalita.
Tangan Thalita bergetar ketika hendak menyentuh punggung Erwin untuk menenangkannya.
"Sampai hari ini gue masih nggak percaya dia lakuin kejahatan itu ke lo," lanjut Erwin.
"Kenyataan emang pahit, tapi Irwan masih orang yang sama yang pernah lo kenal," balas Thalita lembut. Dia melanjutkan, "Sampai dia pergi."
Erwin memandang Thalita dalam, lalu berkata, "Bilang ke gue kalau bukan Irwan pelakunya."
Thalita merasa tersinggung. Dia merasa seolah Erwin sedang menuduhnya.
"Win, mending lo mandi dulu, pikiran lo sedang kacau, kan?" Thalita berusaha mengalihkan topik.
"Nggak!" sahut Erwin. Dia memandang Thalita tajam. "Jawab dulu, Irwan nggak pernah ngelakuin itu ke lo!"
"Gue siapin air hangat dulu ya buat lo mandi." Thalita hendak berdiri, dan tangan Erwin mencegahnya. Terpaksa Thalita kembali menoleh.
"Jangan ngalihin topik, Ta," kata Erwin dingin.
Cukup! Thalita benar-benar kesal sekarang.
"Terus gue harus jawab apa?" Thalita menegas. "Gue harus bilang kalau ini anaknya orang lain biar lo seneng gitu? Dan setelah itu apa? Lo bakal marah dan ceraikan gue. Kalau pun gue bilang ini anaknya Irwan, lo masih tetap nggak percaya. Terus ... gunanya gue jawab pertanyaan lo apa?"
Erwin terbungkam. Dia kaget dengan pemikiran Thalita yang di luar dugaan. Bukan ini yang dia harapkan.
"Lo boleh punya pemikiran dan keyakinan, tapi lo nggak bisa lawan kenyataan," lanjut Thalita.
Thalita mengibaskan tangan Erwin dari pergelangan tangannya, lalu beranjak ke kamar mandi dan menyalakan air hangat untuk Erwin.
Sedangkan Erwin masih terdiam di tempat. Perkataan Thalita begitu membuatnya tertampar.
Sebuah pertanyaan besar kembali muncul di otaknya. "Kalau emang itu kenyataannya, kenapa gue yang harus kena imbasnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI RAHASIA ERWIN
Teen Fiction[UPDATE SESUAI TARGET!] . "Kakak gue yang bikin lo bunting, kenapa gue yang harus nikahin?" - Erwin. ***** Hidup seorang ketua genk motor yang diidolakan banyak gadis, tak semulus kelihatannya. Sifat dingin dan cuek Erwin bukan tanpa alasan, ada ban...