Halo, ketemu lagi
Semut ... Semut apa yang bikin sakit?
Yang bisa nebak, aku doain bahagia selamanya 🤗

Afdan menghela napas berat usai mendengar satu kalimat yang Thalita lontarkan pada Erwin di bawah sana. Pria itu mengurungkan diri untuk mengejar Thalita, dia memilih menonton pertengkaran sahabatnya dengan Erwin dari lantai dua.
'Mungkin salah gue karena terlalu cinta sama lo.'
Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Afdan. Dadanya tiba-tiba sakit menghadapi kenyataan bahwa hati Thalita milik orang lain. Hati Afdan hancur untuk yang ke dua kali.
Afdan menunduk dalam, memejamkan matanya rapat-rapat. "Mungkin ini hukuman buat gue karena udah ninggalin lo dulu, Tha," gumamnya.
Dari sikap Afdan ke Thalita, tentu tak sulit bagi orang lain untuk menebak bahwa pria itu menyayangi Thalita lebih dari sekedar sahabat atau adik. Lebih dari apapun, Afdan menyayangi Thalita. Dia bahkan masih menerima Thalita dalam keadaan hamil anak orang lain.
Namun, kesempatan itu telah hilang karena Erwin sudah mengambilnya.
***
Erwin tetap pergi bahkan setelah mendengar pengakuan Thalita. Meninggalkan Thalita yang tengah terisak hebat.
"Cobaan apa lagi ini? Kenapa selalu gue yang bersalah? Padahal di saat yang sama, gue adalah korban." Thalita berkata dalam hati.
Dalam tangisnya yang hebat ini, berucap sepatah kata pun terasa sulit. Air matanya terlalu deras, sesak di da*danya sulit ia kendalikan.
Kemudian, seseorang menyentuh pundaknya dari belakang. Thalita diam, dia berbalik dan melihat Afdan tersenyum tipis padanya. Thalita kembali terisak, dia jatuh dalam pelukan Afdan. Ia menangis sejadi-jadinya, ketika Afdan mengelus lembut puncak kepala serta punggungnya.
"Tha," bisik Afdan lembut. "Ada aku di sini, apa pun masalah kamu, aku akan berusaha jadi penguat untuk kamu. Jangan pernah merasa sendiri, ya?"
Thalita merasa beruntung masih punya Afdan. Walaupun dia tidak tahu apa yang sebenarnya Afdan rasakan.
Rasanya sakit ketika seseorang kehabisan warna karena seluruhnya dia jadikan pelangi untuk membahagiakan orang yang dicintainya.
Afdan telah kehabisan warna itu, dan untuk Thalita, dia akan terus mencari warna lain hanya untuk bisa membuat perempuan itu tersenyum.
Thalita mengeratkan pelukannya, tangisnya semakin kencang hingga bahunya gemetar. Bersamaan dengan itu, Afdan berusaha keras menahan air matanya sendiri yang sudah memenuhi kelopak matanya.
***
Erwin melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Amarah dalam dirinya semakin memuncak kala mendengar pengakuan cinta dari Thalita.
Di satu sisi, dia kecewa dengan kenyataan bahwa Thalita mengkhianati Irwan. Di sisi lain, air mata dan ketulusan Thalita membuatnya lemah.
Erwin berhenti di sebuah pantai, dia berjalan ke dermaga yang sepi. Angin laut menerpa wajahnya, membuat rambutnya yang agak kepanjangan harus bergoyang-goyang sesuai irama arah angin.
Tiba-tiba Erwin terisak. Yah, dia menangis.
"Maafin gue, Wan, gue jahat sama lo," gumamnya penuh penyesalan. "Maaf, gue udah berani menyimpan perasaan terhadap orang yang lo cintai. Maaf juga karena dia juga berkhianat."
Erwin tak bisa membendung lagi uneg-unegnya. Mau sampai kapan dia simpan semua sendiri? Mau sampai kapan rasa takut dalam dirinya mengendalikannya?
Yah, Erwin terlalu takut untuk menyampaikan pemikirannya pada orang lain sejak kecil, lebih tepatnya ketika Irwan marah besar padanya. Rasa sayangnya pada Irwan membuat dirinya jauh lebih tertutup.
"Kenapa gak gue aja yang ma*ti?" Erwin berkata dengan suara berat, bersamaan dengan air matanya yang menetes di telapak tangannya. "Gue takut bikin lo kecewa lagi."
***
Tari mondar-mandir dengan gelisah di ruang tamu, dia terus memandang pintu utama yang masih tertutup. Wanita itu melihat jam dinding yang menunjukkan waktu sudah larut malam, dan Erwin belum juga pulang.
Tak lama kemudian, suara deru motor yang sangat akrab di telinga Tari memasuki halaman rumahnya. Dia bergegas keluar, tapi keburu Erwin masuk dengan keadaan cukup berantakan.
"Erwin, kamu ke mana aja? Katanya mau jenguk Thalita? Ke mana dia? Dia gak ikut pulang ke sini?" Tari menghujani Erwin dengan pertanyaan. Cowok itu abai, dia terus melangkah masuk sementara Tari mengejarnya dengan perasaan cemas.
Tari menahan lengan Erwin, membuat cowok itu terpaksa berhenti.
"Erwin, jawab Mama!"
Erwin berbalik, wajahnya tampak pucat, berantakan sekali.
"Win, jawab Mama, mana Thalita?" Tari bertanya lagi.
Erwin tidak berharap banyak pada mamanya. Bahkan dalam keadaan hancur, yang Tari tanyakan bukan keadaannya, melainkan Thalita.
"Aku gak mau Thalita tinggal di sini lagi," balas Erwin membuat Tari syok. Cowok itu memandang Tari lekat. "Aku gak bisa lanjutin pernikahan ini, Ma."
"Kamu ngomong apa, Win?" Tari memekik tak biasa. Kilatan amarah kian membara. "Pernikahan bukan permainan! Apalagi Thalita sedang hamil!"
"Dia hamil bukan salah aku, Ma!" Erwin ngegas. Akhirnya dia memutuskan untuk mengeluarkan isi hatinya yang selama ini tertahan. Matanya yang merah karena habis menangis, kembali menyiratkan duka yang sama ketika berpandangan dengan sang mama.
"Win," balas Tari lirih. Dia terkejut dengan sikap Erwin yang baru kali ini dia lihat.
"Belum tentu juga anak itu darah daging Irwan, kenapa aku yang harus tanggung jawab?" Suara Erwin mulai serak, bahkan Tari tak mampu berkata-kata. "Mama pernah gak ... tanya pendapat aku? Mama pernah tanya aku mau atau gak nikah sama pacarnya Irwan? Gak pernah, Ma! Yang Mama lakuin ke aku cuma kasih perintah, gak peduli aku mau atau gak."
Tari bisa melihat tangan Erwin gemetar, wajahnya semakin merah padam. Jelas sekali di mata Tari bahwa putra bungsunya sedang tersiksa.
"Anak Mama bukan cuma Irwan," lanjut Erwin penuh penekanan. "Aku juga mau didengar, Ma, aku juga mau didengarkan pendapat aku. Bukan karena aku membangkang dan sok ngatur, aku hanya meminta hak aku sebagai anak."
Detak jantung Tari berdebar kencang, rasanya sakit mendengar keluh kesah anak satu-satunya yang masih hidup. Dia tidak pernah menyangka bahwa Erwin bisa meledak.
"Maafin Mama, Nak," lirih Tari penuh penyesalan. Dia terisak, air matanya jatuh membasahi pipinya.
"Apa karena kenakalan aku waktu kecil Mama sama papa hukum aku?" tanya Erwin meminta penjelasan. "Hukuman macam apa ini untuk kenakalan anak usia sepuluh tahun? Kenapa harus mempertaruhkan masa depan aku?"
Tari tak mampu lagi menjawab. Kilatan masa-masa ketika dia memperlakukan Erwin berbeda dengan Irwan, kini tergambar di otaknya seperti sebuah video.
"Aku masih SMA, Ma, masa depan aku masih panjang," lirih Erwin.
Tiba-tiba dia berlutut di hadapan Tari, sembari menunduk dalam untuk menyembunyikan air matanya yang turun dengan deras.
Erwin menyatukan kedua tangannya, dia memohon, "Maafin aku, Ma. Maaf karena aku lebih buruk dari Irwan, maaf aku bukan anak yang baik dan pintar. Tolong jangan hukum aku di masa depan."
Tari mematung, terkejut melihat Erwin yang begitu merendah di hadapannya.
Erwin melanjutkan, "Aku terlalu takut menyakiti orang-orang yang Irwan sayang. Termasuk Mama dan Thalita."

KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI RAHASIA ERWIN
Teen Fiction[UPDATE SESUAI TARGET!] . "Kakak gue yang bikin lo bunting, kenapa gue yang harus nikahin?" - Erwin. ***** Hidup seorang ketua genk motor yang diidolakan banyak gadis, tak semulus kelihatannya. Sifat dingin dan cuek Erwin bukan tanpa alasan, ada ban...