HEYYOW
MAKIN SEMANGAT UPDATE NIH
SELAMAT MEMBACA YOEROBUNN
•••
"Kenapa Amerta?" Naufal meneguk kopinya dengan masih menatap shalsa.
Shalsa mengeluarkan satu buku dengan sampul biru muda yang bertuliskan 'Amerta' dari Tote bag putihnya , ia memberikan buku itu pada Naufal.
"Itu buat kamu, kamu baca ya." Naufal menerima buku itu dengan senang hati.
"Kamu tanya, kenapa Amerta? Karena, meski raga ku udah hancur di makan tanah, tulisan tangan ku masih bakal abadi di buku itu, kayak judulnya." Naufal menatap buku itu dan mengangguk paham.
"Bakal gue baca nanti," shalsa menganggukkan kepala.
"Kalau kamu- cita-citanya sekarang apa?" Naufal menatap jauh kedepan, ia terkekeh kecil sebelum menjawab.
"Fotografer." Kening shalsa mengerut bingung.
"Kenapa foto?" Naufal memperlihatkan kameranya pada shalsa.
"Gue suka ngeabadiin hal hal yang gue suka, dan itu mungkin orang anggap sebagai hobi. Tapi, gue merasa pengen lebih mendalami hobi gue ini sebagai pekerjaan gue suatu saat nanti."
"Kebayang gak? Lo melakukan hal yang lo suka, dan lo dapat penghasilan dari itu, dengan lo yang merasa senang akan pekerjaan lo, mungkin lo akan lebih bahagia dan lebih bisa menikmati hidup. Gue pengen itu terjadi sama gue." Shalsa mengangguk setuju.
"Aku setuju kok, aku juga merasakan hal yang sama kayak kamu. Aku juga pengen jadi salah satu dari penulis-penulis terkenal nanti, ketika orang-orang masih baca tulisan ku, sedangkan aku yang udah dimakan habis oleh semesta." Naufal menatap shalsa dalam, ia mengangguk.
"Menurut lo.., ada berapa persen kemungkinan yang ada buat lo jadi penulis?" Shalsa berpikir sejenak.
"Mungkin 65%? Aku gak yakin banget," Naufal terkekeh kecil.
"Ada apa dengan 35% lagi?"
"Itu..rasa ragu aku, dan mungkin izin dari keluarga ku," Naufal mengangguk setuju.
"Kalau kamu? Berapa persen?" Naufal berpikir sejenak, ia menerawang kedepan.
"Mungkin sama kayak sisa persenan lo, 35%" shalsa mengerjap bingung mendengar ucapan Naufal.
"Kenapa sesedikit itu?" Lagi, Naufal terkekeh.
"Kemampuan, mental, dan kesanggupan diri seseorang itu beda-beda. Tapi, itu gak berlaku untuk keluarga gue. Semuanya orang dipukul rata, kalau dia bisa, kenapa gue enggak? Tapi ya gitu, gue gak bisa hidup selayaknya orang lain, ini gue, dan kalau itu orang lain, gue gak bisa jadi dia." Naufal berhenti sejenak dan menarik nafas panjang, dadanya kembali menyesak.
"Gue beda dari kembaran gue, dia pinter di akademik, sedangkan gue- gue yang pinter di non-akademik seolah cuma ngebesarin hobi gue. Dan lo pasti sadar, standar pinter disini itu bisa matematika dan fisika. Gue yang gak pinter di materi itu seolah jadi orang yang gak kebagian masa depan." Naufal terkekeh lagi, kali ini mungkin kekehan miris.

KAMU SEDANG MEMBACA
Abu (End)
Fiksi Remaja"Bukankah kita hanya sebatas senja dan daratan?saling melihat tapi tak terikat, saling menatap namun tak menetap". -S.k "Gue usahain asal itu bikin Lo ba...