24. awal penderitaan

316 12 0
                                    


DOUBLE UP!

HAPPY READING

&

SORRY FOR TYPO!!!

•••

Waktu berjalan cepat, dua bulan berlalu dengan Naufal yang merasa terombang ombak kehidupan.

Kini, ia dan shalsa semakin mengerti satu sama lain, berawal dari perjanjian mereka saat di pantai kala itu, dan kini mereka yang semakin menunjukkan adanya rasa diantara keduanya.

Kehidupan Naufal yang dulunya gelap, kini menjadi remang karena shalsa yang juga ikut andil dalam kisahnya.

"Jangan kamu pikir aku gak berani ya!!" Seruan shalsa kini terdengar seolah marah sembari memercikkan air pada Naufal yang berusaha menghindar.

Keduanya berada di tepi pantai tempat mereka membuat perjanjian.

"Kamu heboh banget, liat tu orang-orang ngamatin kamu" shalsa terdiam sembari menatap sekeliling, ia hanya menunjukkan cengiran lebar sembari berlari ke arah Naufal.

Keduanya keluar dari air dan menuju tempat mereka meletakkan sepatu.

"Kamu hari ini sibuk? Aku ada rencana mau ke rumah kamu," Naufal mengenakan sepatunya

"Boleh aja, nanti malam kamu dateng. Aku sama bunda bakal nyiapin makanan enak." Sahut shalsa sembari berdiri dengan menyambut sodoran tangan Naufal.

Naufal mengangguk setuju, menggandeng shalsa dan berjalan menuju motornya.

Setelah shalsa naik, Naufal mulai menjalankan motornya.

•••

Hujan deras mengguyur kota sibuk di Indonesia, amat deras hingga jalanan Jakarta agaknya cukup sepi untuk jam jam yang biasanya warga kota masih berkeliaran.

Seorang laki-laki berkepala tiga menerobos hujan deras dengan rahang mengeras dan tatapan yang amat diliputi rasa menggebu.

Dering kedua ponselnya setelah telepon sang asisten akan lokasi yang ia minta, membuatnya berdecak keras.

"Ada apa lagi!?" Desaknya tanpa melihat nama penelepon.

"Ouh, jangan terlalu emosional." Ucap seseorang di seberang, membuat rahangnya kembali mengeras sembari melihat nama si penelepon.

"Bukankah sudah ku peringatkan agar tidak menandingi orang yang tidak sebanding denganmu? Ah..kau bebal," jawab si penelepon dengan kekehan remeh.

"Sekarang aku ingin bermain, temukan milikmu sebelum tenggat.."

"Atau... Kau akan menyesal." Suara rendah di seberang terdengar samar akan hujan deras malam itu.

"Good luck brother." Kekehan remeh terdengar sebelum telepon itu dimatikan sepihak.

Jemari laki-laki tiga puluhan itu menggenggam erat setir mobil. Jiwanya terasa tak berada di tempat seharusnya, ia bingung untuk melakukan apapun. Bahkan untuk menyetir pun fokusnya tak tersampaikan.

Abu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang