1

925 78 5
                                    

***

Hujan turun malam ini, jadi dengan payung hitamnya ia berdiri di bawah sinar lampu. Ia berdiri di persimpangan jalan, bersama orang-orang yang akan menyebrangi persimpangan itu. Kwon Jiyong berdiri di sana, namun tidak melangkah maju ketika lampu berubah merah. Mobil-mobil berhenti, sedang lampu untuk pejalan kakinya berubah hijau. Laki-laki melangkah, suara ketukannya terdengar cepat, beraturan.

Di bawah payungnya, ia tetap berdiri. Menatap ke sebrang jalan yang sama ramainya. Orang-orang bergerak, sangat cepat, seperti ketukan dalam musik rapp. Langkah demi langkah melewatinya, sampai tiga menit berlalu dan lagu dari tapak sepatu itu berhenti. Lampu untuk para pengemudi kembali hijau. Musik dari tapak kaki, berubah jadi dengung mesin, roda yang berputar di aspal basah juga beberapa pukulan klakson yang tiba-tiba.

Di persimpangan itu, ia terus berdiri. Menatap kosong dengan kepala yang sibuk berangan-angan. Di depannya, di atas zebra cross yang mirip tuts piano itu, dilihatnya seorang gadis melangkah. Dengan payung kuningnya, gadis itu berjalan menghampirinya. Bibirnya mengulas sebuah senyum, matanya yang jernih seluas lautan melengkung, melihat ke arahnya.

Gadis itu memakai seragam sekolahnya. Sebuah kemeja dengan rok pendek selutut. Kaus kakinya panjang, berwarna putih dan sedikit kotor karena cipratan air hujan malam ini. Ransel di belakang punggungnya kelihatan ringan, seolah semua isinya ia tinggalkan di sekolah. Senyumnya belum pergi sekarang, namun sesak menyerang Jiyong tepat di dadanya.

"Oppa," gadis itu membuka mulutnya. Memanggilnya sembari tersenyum, menumpahkan seluruh perasaannya dalam suara yang manis. Seperti adegan dalam drama, gadis yang terus tersenyum itu berkata, "kau menyesalinya, iya kan?" tanyanya, tetap tersenyum. Senyum yang luar biasa cerah. Senyum yang luar biasa cantik. Juga senyum yang luar biasa mematikan. Menyakiti Jiyong tepat di dadanya. Tepat di jantungnya.

"Kau menyesal karena tidak tersenyum sekali lagi padaku, iya kan?" bagai kutukan, pertanyaan itu menumpahkan air matanya.

"Kau menyesal karena tidak sekali lagi bersikap manis padaku, iya kan?" kutukan lainnya dilemparkan, membuat air mata itu terus muncul.

"Kau menyesal karena tidak menatapku sekali lagi, iya kan?" lagi, kutukan itu membuat air matanya jadi semakin deras. Seperti hujan yang mengguyur mereka sekarang.

"Kau menyesal karena tidak bisa melihatku lagi, iya kan?" sekali lagi, gadis dengan payung itu mengutuknya. Membuatnya terus menangis, meski sudah berkali-kali ia usap pipinya. Meski sudah berkali-kali ia hapus air matanya.

"Apa yang jadi sangat berat untukmu?" Jiyong akhirnya bicara, pada gadis di bawah payung kuning itu. "Kau berpura-pura kuat selama ini, apa yang begitu berat bagimu?" seolah menuntut sebuah jawaban, ia terus bertanya. Payung hitam yang ia pegang kini di lepaskannya. Ia ulurkan tangannya untuk meraih bahu gadis itu, namun tangannya tidak bisa menggapai apapun.

"Apa yang membuatmu melakukannya? Kenapa kau mati seperti itu? Apa yang sangat berat bagimu? Lisa, jangan pergi, jangan meninggalkanku. Bagaimana aku bisa hidup kalau kau meninggalkanku?" ia terus bertanya, berjalan maju untuk meraih gadis yang sialnya tidak bisa ia gapai.

Sekeras apapun ia berusaha, tangannya tetap tidak cukup panjang untuk berhasil meraihnya. Sekarang tubuhnya basah kuyup karena hujan. Suara tapak kaki berhenti dan perlahan-lahan gadis di bawah payung kuning itu menghilang. Jadi transparan, pelan-pelan bersama deras hujan yang turun.

Jiyong menghentikan langkahnya sekarang. Berdiri tepat di tengah-tengah persimpangan. Diam menunggu semua kendaraan itu berhenti melewatinya. Dentum klakson berbunyi semakin keras sekarang, jadi semakin sering karena ia berada di tuts piano yang salah. Musiknya rusak. Keseimbangan antara suara tapak kaki dan deru mesin jadi berantakan sekarang. Bagian paling buruknya, Kwon Jiyong kehilangan payungnya, juga gadis di bawah payung kuning tadi.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang