20

218 41 2
                                    

***

Lisa tidak pernah menduganya, kalau menemui seorang pegawai restoran akan memakan waktu selama ini. Ia meninggalkan nomor teleponnya pada kunjungannya terakhirnya di restoran cepat saji itu. Meminta pegawai yang ada di sana untuk memberikan nomor telepon itu pada si pegawai ceroboh tempo hari. Baru satu pekan setelahnya, si pegawai ceroboh menghubunginya. Mereka mengatur janji untuk bertemu setelahnya, tapi karena sibuk, pegawai itu baru bisa menemuinya setelah beberapa hari.

Mereka bertemu di cafe dekat universitas. Lisa yang datang lebih dulu, memesan minuman untuk dirinya sendiri. Ia sudah mendapatkan kopinya, lantas duduk dengan kaus ketat yang memperlihatkan perutnya, juga celana jeans panjang yang membuat kakinya terlihat semakin jenjang. Rambutnya tergerai hari ini, dengan warna kecoklatan di bagian atas, lalu keabu-abuan di bagian bawahnya. Ia belum sempat mewarnai rambutnya lagi.

"Lisa?" suara seorang wanita membuatnya mengangkat kepala, mendongak untuk melihat siapa yang datang. Lee Seo yang datang, si pegawai ceroboh yang tempo hari menumpahkan air kotor di lantai.

Lisa tersenyum untuk menyapa, lalu mempersilahkan gadis itu untuk duduk. Ia juga bangkit, sembari bertanya minuman apa yang ingin Lee Seo pesan sekarang. Baru setelah beberapa basa-basi, juga setelah minuman Seo datang, pembicaraan yang lebih serius itu di mulai.

"Aku bukan Choi Lisa," tanpa berusaha merahasiakannya, Lisa langsung berkata begitu sekarang. "Tapi, beberapa orang salah sangka dan mengira aku Choi Lisa, kau juga begitu?"

"Kalau kau bukan Choi Lisa, bagaimana kau mengenalnya? Choi Lisa itu saudara kembarmu?"

"Aku pun tidak tahu," aku Lisa. "Tapi aku tahu apa yang terjadi pada Choi Lisa. Apa kebetulan kau temannya? Teman sekolahnya?"

"Lisa punya luka besar di pahanya," Lee Seo berkata, membuat Lisa lantas mengusap pahanya sendiri. "Luka bakar," susulnya kemudian.

"Paha kiri?" tanya Lisa dan gadis di depannya mengangguk. "Aku punya luka bakar di paha kiri, tapi sudah lama menghapusnya. Bagaimana Choi Lisa mendapatkan luka itu?" sekali lagi gadis itu bertanya.

"Kau tahu pembakar bunsen?"

Lisa menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan Lee Seo itu. Lantas, gadis itu memberitahunya kalau Choi Lisa pernah kecelakaan di laboratorium, saat ia sedang duduk di laboratorium, untuk praktikum kimia, kakinya kejatuhan pembakar bunsen yang masih menyala. Api juga spirtus di dalam pembakar bunsen itu yang kemudian melukai pahanya.

Mendengar cerita itu Lisa lantas terdiam. Membayangkan bagaimana kecelakaan seperti itu bisa terjadi. Rasanya pembakar bunsen itu tidak akan serta merta tersenggol lalu jatuh ke pahanya. Apa terjadi gempa bumi di sekolah waktu itu? Atau seseorang menyenggol meja laboratoriumnya? Tapi meja laboratorium biasanya dibuat dari semen dan keramik, tidak akan mudah terguncang.

"Seseorang sengaja menjatuhkannya," Lee Seo memberitahunya, setelah ia lihat Lisa mengerutkan dahinya karena ceria itu.

"Choi Lisa dirundung?"

"Ya," tanpa mengangguk, Lee Seo menjawab pertanyaan itu. Tidak seperti pertemuan pertama mereka, Lee Seo terlihat seperti orang yang berbeda hari ini. Ia tidak terlihat takut seperti sebelumnya, tidak juga kelihatan gugup, seolah percaya kalau gadis di depannya bukanlah Choi Lisa.

"Dirundung sampai sengaja dibakar? Ini bukan The Glory, kenapa mereka berbuat sejahat itu padanya?"

"Kau bilang kau bukan Choi Lisa, kenapa kau penasaran?"

"Seseorang yang dekat denganku terluka karenanya. Dia sangat kesulitan karenanya. Karena itu, aku penasaran bagaimana Choi Lisa hidup. Bagaimana dia bisa melukai seseorang sampai sedalam itu," jawab Lisa, agar Seo mau menjawab pertanyaannya lagi.

"Banyak orang membencinya," Seo kemudian menjawab pertanyaannya tadi. Mengatakan kalau beberapa murid di sekolah membenci Choi Lisa yang cantik itu. "Kami sekolah di sekolah khusus perempuan, hampir tidak ada laki-laki di sana. Sekalipun ada guru laki-laki, mereka pasti sudah tua. Tapi ada guru komputer baru di sekolah, masih muda, pastinya tampan. Guru itu menyukainya, Choi Lisa. Sangat menyukainya sampai terang-terangan memberinya perlakuan khusus. Lalu murid lain cemburu, dan mulai mengganggunya. Tapi, bagaimana pun ia diganggu, dia tetap diam. Terus diam, terus tersenyum, sampai guru komputer itu datang dan membelanya, menghukum semua murid yang mengganggu gadis kesayangannya."

"Mereka berkencan? Choi Lisa dengan guru komputer itu?" tanya Lisa dan Seo mengangkat bahunya. Mengaku kalau ia tidak pernah mengetahuinya. Memang sempat ada rumor mereka berkencan, tapi tidak satupun mengkonfirmasinya. Mereka juga tidak pernah tertangkap basah pergi berdua di luar sekolah. Tapi sebagian besar anak-anak di sana memilih untuk mempercayai rumornya, kalau Choi Lisa diam-diam menjadi kekasih si guru komputer.

Lama mereka berbincang, tapi semua obrolan itu sama sekali tidak menggangu si pengurus asrama. Selain kasihan, Lisa tidak merasakan apapun ketika mendengar semua cerita Lee Seo. Setelah hampir satu jam duduk di sana, Lee Seo yang lebih dulu bangkit. Berpamitan karena harus bekerja, lantas meninggalkan Lisa sendirian di sana.

"Ini bukan lupa ingatan," gumam Lisa kemudian, tidak lama setelah Lee Seo pergi dari sana. "Teori Okvin dan Jisoo eonni salah," yakinnya.

Setelah dirinya ditinggalkan sendiri, Lisa bangkit untuk pergi juga dari sana. Di depan cafe, ia melihat Lee Seo berdiri di halte bus. Lalu, karena tempat penyebrangannya berada di dekat halte, Lisa melangkah ke sana. Ia berencana untuk menyapa Lee Seo sekali lagi, sebelum menyebrangi jalan, kembali ke kampus. Tapi gadis itu tengah menelepon. "Dia bukan Choi Lisa, aku salah orang. Dia tidak mengenalku, sama sekali," kata gadis itu, pada seseorang di teleponnya.

Lisa menyebrangi jalan sekarang, sedang Lee Seo yang tetap menelepon melangkah masuk ke dalam bus yang baru saja datang. Mereka tidak saling melihat lagi di sana, Lee Seo terlalu fokus pada teleponnya, sampai ia tidak tahu kalau gadis yang ia bicarakan ada di sana, ikut mendengar pembicaraannya.

Ia kembali ke asrama sekarang, dan saat tiba langit sudah gelap, malam baru saja datang. Begitu juga dengan Jiyong yang baru saja keluar dari mobilnya. Entah kapan pria itu tiba di asrama, tapi ia keluar begitu melihat Lisa berjalan mendekati asrama.

"Hai," dengan canggung, Jiyong mendekat, menyapa Lisa sembari melihat ke sekeliling, khawatir Jennie ada di sana lalu mengusirnya seperti beberapa hari lalu.

"Hm... Hai," balas Lisa, masih menimbang-nimbang apa dirinya perlu memberitahu Jiyong tentang pertemuannya hari ini atau tidak.

"Sudah lama kita-"

"Aku mau makan di cafeteria sekarang, ikut lah kalau oppa belum makan," sela Lisa, yang memilih untuk berjalan lebih dulu, menaiki anak-anak tangga di depannya untuk pergi ke cafeteria.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang