36

172 43 6
                                    

***

Lisa berdiri di tengah hutan dan ia kebingungan. Ia lihat sekelilingnya, hanya ada kegelapan di sana. Perlahan, matanya menyesuaikan diri dengan pencahayaan yang ada. Lalu mulai ia lihat detail sederet pohon kayu di sekitarnya, batang-batang pohon itu coklat kehitaman, terlihat kokoh, bersanding sempurna dengan kegelapan. Dedaunannya ada jauh di atas kepalanya. Ia perlu mendongak untuk melihat hijau daun-daun itu, atau menunduk untuk melihat mereka yang sudah gugur kecoklatan di tanah.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada sebuah jalan setapak menuju kegelapan yang semakin pekat. Ia menoleh lagi, kali ini menatap ke depan, ingin tahu apa yang ada di depannya. Lalu ia terkejut, sebab Kim Jihoon tiba-tiba muncul di sana. Saking kagetnya, gadis itu bergerak mundur lalu terjatuh di tanah.

Tanahnya basah, lembab mengotori tangannya, juga bagian belakang celananya. Ia mendongak menatap Kim Jihoon yang sebelumnya tidak ada di sana. Entah dari mana pria itu datang, entah kapan pria itu muncul. Saat pertama kali ia membuka matanya tadi, Kim Jihoon tidak di sana.

Tangan pria itu kemudian terulur. Tubuh Lisa tidak bisa bergerak sekarang. Sementara pria itu menyentuhnya, di pipi. Sunyi. Tidak ada suara apapun. Sunyi. Bahkan suara angin yang menggesek dedaunan pun tidak terdengar olehnya. Ini tidak lah nyata—Lisa merasa begitu, namun tubuhnya gemetar.

Tangan dingin Kim Jihoon menyentuh pipinya lalu perlahan-lahan kehangatan itu datang. Pipinya terasa luar biasa panas tapi ia masih tidak bisa bergerak. "Kasihan sekali Lisaku," akhirnya suara Kim Jihoon terdengar, setelah sejak tadi Lisa hanya bisa melihat gerak bibirnya. Memuji kecantikannya, memuji parasnya yang mempesona.

"Kau ingin aku menghukum anak-anak nakal itu?" susul Kim Jihoon, dan Lisa masih belum bisa bergerak sekarang. "Mereka yang membuatmu jadi begini? Keterlaluan, anak-anak nakal itu," susulnya, kali ini mengusap bagian paha Lisa yang terluka.

Lisa mengikuti arah pandangan Kim Jihoon, lalu kebingungan karena luka bakar itu ada di sana. Padahal seingatnya, orangtuanya sudah membayar operasi plastik untuk menghilangkan bekas luka itu.

Ia yang kebingungan sekarang berkedip, dan di saat ini lah suasana mencekam itu terasa sangat nyata. Lisa bisa merasakan tubuhnya di sentuh. Ia memberontak, ia melarikan diri. Berlari ke jalan setapak yang tadi ia lihat tapi rambutnya di jambak. "Aku tidak menyukaimu! Aku tidak pernah menyukaimu! Aku sudah punya pacar!" ia berteriak, namun tangan pria itu menjambaknya semakin keras.

Ia memohon agar dilepaskan. Ia merengek, menangis dan terus mengaku kalau dirinya sudah punya kekasih sekarang. Sayang, semakin banyak ia katakan kalau dirinya punya kekasih, sebanyak itu juga kepalanya dihantamkan ke pohon.

"Hanya karena kau cantik, bukan berarti kau bisa bertingkah! Pelacur sialan!" Kim Jihoon memarahinya, berteriak, mengatakan kalau ia akan membuat Lisa sadar dimana posisinya. Akan ia rusak wajah Lisa, jadi gadis itu tidak akan bisa bertingkah lagi.

Gurat-gurat pohon kayu yang kokoh itu menggores wajah Lisa. Merusak kulitnya, remah-remah kayunya pun masuk ke matanya. Melukai manik cantik itu. Tapi seolah tidak puas, Lisa diseret. Dijambak lalu diancam akan di dorong ke jurang.

"Kau sudah mengakui kesalahanmu?" Kim Jihoon bertanya, sementara ia pegang kerah baju Lisa, mengancam akan mendorong gadis itu ke jurang kalau ia masih membantah ucapannya.

Lisa mengangguk agar di lepaskan. Sembari ketakutan ia pusatkan semua kekuatannya pada ujung-ujung kakinya. Berusaha berjinjit, tetap menginjak tanah, berusaha bertahan agar tidak jatuh ke belakang—ke jurang gelap yang tidak bisa ia lihat dasarnya.

"Kau milikku, mengerti?" titah pria itu, tapi karena Lisa tidak segera mengiyakannya, gadis itu semakin di dorong, sampai dirinya merasa kalau mereka akan mati bersama di sana.

Kemudian sebuah suara muncul. Bermula dari suara gesekan dedaunan sampai suara dua gadis yang sedang berbincang. "Kau benar-benar percaya kalau Lisa itu bukan kekasihnya Guru Kim? Kau ini polos atau bagaimana?" suara seorang perempuan terdengar, tapi lawan bicaranya tidak pernah menjawab. Lisa tidak pernah mendengar jawaban orang itu, sebab yang selanjutnya terjadi tubuhnya dilepaskan. Ia dibiarkan jatuh ke jurang tanpa ujung yang ada di bawahnya.

"Choi Lisa! Jangan!" hanya jerit Kim Jihoon, gurunya di sekolah yang kini bisa Lisa dengar. Bahkan suara erangannya sendiri tidak menelusup masuk ke dalam telinganya.

Ia merasakan tubuhnya membentur bebatuan, menabrak dahan pohon, jatuh ke tanah. Ia rasakan kakinya luar biasa sakit, tulang-tulangnya seolah remuk karena semua benturan itu. Meski begitu, matanya masih bisa melihat ke atas, dimana orang-orang berteriak memanggilnya, suara tangis yang terdengar ketakutan, jerit-jerit menyedihkan, Lisa bisa melihat semuanya, ia dapat merasakannya seperti sedang menonton film bisu.

Orang bilang, sebelum mati manusia biasanya mengingat masa-masa menyenangkan dalam hidup mereka. Maka Lisa pun begitu. Selepas dirinya melihat film bisu di atas sana, bayang-bayang akan orangtuanya muncul. Tidak lama, sebab selanjutnya pria itu yang muncul— Kwon Jiyong.

"Oppa, aku menyukaimu, bisakah kita berkencan?" Lisa mengingat suaranya sendiri sekarang. Ia ingat bagaimana wajah pria itu ketika mendengar pernyataan cintanya.

Kali pertama Lisa menyatakan perasaannya, Jiyong terkejut. Kali kedua, pria itu masih terkejut, lalu dikali ketiga dan seterusnya, pria itu terlihat biasa saja. "Ya aku sudah tahu, tapi aku punya pacar. Kencani lah pria lain," begitu yang Jiyong katakan padanya setelah berkali-kali ia menyatakan perasaannya.

Sayang, Lisa terlalu keras kepala untuk menerima penolakan itu. Ia menolak untuk menyerah. Biar saja Jiyong oppa punya kekasih, aku bisa menunggu mereka putus—begitu yang ia yakini. Sampai akhirnya gadis itu sadar kalau ia tidak lagi bisa menunggu. Air matanya jatuh sekarang, seorang diri, tanpa bisa meminta bantuan, ia terbaring di tanah. Menatap nanar pada film bisu yang masih berteriak-teriak mencarinya.

"Tolong aku, aku mohon tolong aku, Jiyong oppa belum menerima cintaku," ia memohon, dengan mulut yang tidak bisa digerakkan. Ia memohon, tanpa sedikit pun suara yang keluar dari dirinya. Selain air matanya yang mengalir turun, tidak satupun bagian dari tubuhnya mampu digerakkan. Sampai akhirnya, gadis itu memejamkan matanya. Mengakhiri film bisu yang sedari tadi ia tonton.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang