***
Malam ini, tidak ada seorang pun yang bisa Jiyong ajak bicara. Lepas mendengar semua yang Lisa katakan di rumahnya, pria itu mengemudi pergi. Awalnya, ia tidak punya satu pun tujuan dalam perjalanannya, tapi kini dirinya berada di persimpangan, dekat kedai kopi. Ia meninggalkan mobilnya tidak jauh dari sana. Berhenti di tempat parkir pertama yang dirinya temui. Lalu setelahnya, pria itu berdiri di persimpangannya. Berdiri di depan penyebrangan jalannya, menatap kosong pada aspal sepi di hadapannya.
Lama ia berdiri di sana, sampai bayang-bayang gadis itu kembali datang. Bersama seragam sekolahnya, melangkah ke arahnya. Berdiri tepat di depannya, lantas mengutuknya. Kutukan itu ia lontarkan berkali-kali, hingga dirinya merasa luar biasa sesak.
"Oppa menyesal karena tidak sekali lagi bersikap manis padaku, kan?" gadis berambut coklat itu terus menanyainya. Membuat Jiyong berkali-kali meminta maaf padanya. Pembicaraan itu terjadi karena angannya sendiri, Jiyong menyadarinya tapi ia tidak mampu menghentikannya.
"Maaf, maafkan aku, aku benar-benar minta maaf," begitu yang ia mohon dalam hatinya. Sembari terus menatap pada jalur penyeberangan di depannya.
"Wanita itu... Perempuan itu... Oppa benar-benar menyukainya?" tanya gadis yang menghantuinya. Dengan suara yang amat persis terdengar sepertinya.
Kesedihan yang ia lontarkan, tergambar jelas dalam ingatannya. Sama seperti saat Choi Lisa menanyakan tentang kekasih semasa kuliahnya. Gadis yang akhirnya meninggalkan Jiyong karena tidak tahan dengan semua halusinasinya. Dengan semua rasa bersalahnya. Dengan semua penyesalannya.
"Tidak tahu," ragu pria itu kemudian. "Aku tidak tahu, apa aku memang menyukainya atau aku hanya melihatmu dalam dirinya. Aku tidak bisa berhenti melihatnya. Aku ingin terus melihatnya," aku Jiyong kemudian, tanpa suara. Hanya bicara, hanya bisa menjerit dalam kepalanya sendiri. Memastikan kesunyian di sekitarnya akan tetap jadi sepi. Meyakinkan malam kalau semuanya baik-baik saja, tenang dan lelap dalam mimpi. Meski mimpi buruk sekalipun.
Choi Lisa yang ada di depan Jiyong, gadis cantik yang menghantuinya itu sekarang terlihat marah. Matanya berubah jadi merah dan goresan luka perlahan-lahan muncul di wajahnya. Gadis cantik itu berubah jadi mengerikan dalam angan-angan Jiyong, menakutinya kemudian berlari pergi. Masuk dan menghilang ke dalam kilau cahaya. Jiyong mengejarnya, dalam angannya ia berlari ke arah kedai kopi itu, mengejar gadis yang selama ini menyiksanya. Tapi alih-alih mendapatkan gadis itu, Jiyong justru terjebak dalam kegelapan.
Ada sebuah tebing di depannya. Tebing batu yang teramat tinggi. Sangat tinggi hingga ia tidak bisa menemukan ujungnya. Lalu di sekelilingnya, segalanya gelap. Semuanya hitam, tanpa ujung. Mimpi buruk malam ini terlalu mengerikan baginya. Mimpi buruk malam ini terlalu berat untuknya. Ia tidak mampu bertahan, ia harus bangun sekarang. Ia akan tenggelam dalam kegelapan, dalam rasa bersalah kalau terus berada dalam mimpi buruk ini.
Ia harus bangun. Jiyong harus membuka matanya sekarang, dan saat benar-benar membuka matanya, ia lihat Jennie berdiri di sebelahnya. "Tidak, dia tidak apa-apa. Dokter bilang dia hanya terkejut, selain kakinya tidak ada yang terluka. Nanti setelah dia sadar, aku akan menyusul ke hotel. Kalian istirahat saja," kata gadis itu, pada seseorang yang ia telepon.
Jiyong tidak merasakan apapun sekarang. Cahaya yang terlalu terang hanya menyilaukan matanya, namun itu tidak berlangsung lama. Setelah ia bisa menyesuaikan dirinya, pria itu bergerak untuk bangun, tapi ada infus di tangannya, ada juga perban di kakinya. Bagian yang paling membingungkan baginya, pakaiannya sebelumnya kini berubah jadi pakaian rumah sakit. Baju biru dengan logo yang asing baginya.
"Anda sudah bangun Tuan Kwon?" tanya Jennie, sedikit terkejut karena gerakan pria di atas ranjang itu.
"Apa yang terjadi?" pria itu balas bertanya.
Jennie sempat memandanginya, tapi gadis langsung memalingkan wajahnya lagi. Menghindar dari tatapan pria di sana. Tengah menimbang-nimbang apa yang harus ia katakan sekarang.
"Kau berlari ke jalan," jawab Jennie kemudian. Lantas ia melihat ke arah kaki Jiyong, membuat pria itu mengikuti arah pandangannya. "Lalu sebuah mobil pengangkut sapi hampir menabrakmu. Untungnya mobil itu lamban, jadi lukanya tidak terlalu parah," susulnya.
"Kau membawa sapi?"
"Bukan aku yang menabrakmu!" seru Jennie kemudian, tiba-tiba kesal karena komentar itu.
"Ah... Lalu kenapa kau ada di sana?" pelan Jiyong kemudian, tentu penasaran karena Jennie tiba-tiba ada di sebelahnya. "Pernikahan sepupumu ada di sekitar sana?" susulnya, hanya menebak karena beberapa jam lalu Lisa bilang begitu. Sesaat sebelum Lisa memintanya untuk tetap tinggal, tapi ia memilih pergi.
Jennie bergumam untuk mengiyakannya, lalu setelahnya gadis itu bergerak untuk duduk. Ia masih memperhatikan Jiyong, mengatakan kalau tulang kaki pria itu retak karena kecelakaan tadi. Jennie juga bilang kalau ia sudah mengurus segala urusan administrasinya, tapi tidak menghubungi siapapun. Saat itu sudah terlalu malam untuk menghubungi Karina, Jennie pun tidak ingin Lisa terus berhubungan dengan pria itu.
"Aku benar-benar tidak suka melihatmu berada di sekitaran adikku," ucap Jennie, membuat Jiyong yang mendengarnya tanpa sadar langsung memalingkan wajahnya. Jiyong tidak ingin mendengarnya. Ia sudah merasa sangat sesak karena kebingungannya sendiri, tidak perlu Jennie untuk membuatnya semakin ragu. "Tapi kau terus memanggil adikku selama pingsan tadi. Lisa-ya, maafkan aku. Lisa-ya, aku minta maaf—kau terus bilang begitu. Kenapa kau merasa sangat bersalah begitu? Aku jadi penasaran, lalu kemudian aku bertanya-tanya, apa kau benar-benar bisa mengenalinya? Tidak, kan?" tanyanya, merasa begitu ingin tahu.
Jiyong menoleh sekarang. Menatap Jennie dengan raut heran di wajahnya—apa yang sedang kau bicarakan?—begitu makna tatapannya. Jadi Jennie melanjutkan pembicaraan mereka, meski saat ini hanya dirinya yang bicara.
"Kau benar," aku Jennie kemudian. "Adikku, Lalisa Kim, dia Choi Lisa, yang meninggal di gunung karena bunuh diri bertahun-tahun lalu," katanya, tentu membuat Jiyong sangat terkejut hingga tidak mampu menanggapinya. Pria itu membeku, terdiam seolah tidak mendengar apapun. Membisu seolah tidak ada suara helaan nafas Jennie dalam ruangan itu, tidak ada suara dengung pendingin ruangan, tidak ada detik-detik jam yang terdengar, semuanya mendadak sunyi, lebur dalam sepi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle
FanfictionBagai potongan puzzle yang diciptakan untuk satu sama lain, mereka bertemu. Pertemuan yang tidak mereka duga sebelumnya. Berdampingan, bersebelahan mereka dalam kotak takdir itu. Ia isi kekosongan seorang di sebelahnya, melengkapinya, membuat sebuah...