***
Lisa mengingkari janjinya untuk menghubungi Jiyong malam itu. Sejak Jiyong mengantarnya ke rumah, mereka tidak lagi bertemu. Awalnya Jiyong pikir Lisa hanya tertidur tanpa sempat menghubunginya. Keesokan harinya, mungkin gadis itu lupa meneleponnya, ia terlambat dan langsung pergi kerja saat pagi. Tapi sampai hari berlalu Lisa terus mengabaikannya. Teleponnya diabaikan, pesannya pun tidak dibuka.
Karena khawatir, Jiyong mendatangi Lisa ke asrama. Tapi seorang yang bekerja di sana justru bilang kalau Lisa dan Jennie mendadak cuti hari ini. Apa sesuatu yang buruk baru saja terjadi? Kenapa mereka berdua tiba-tiba cuti?— Jiyong penasaran tapi ia memutuskan untuk tetap menunggu.
Ia menunggu Lisa menghubunginya, beberapa hari sampai dirinya tidak tahan lagi. Kini pria itu berkendara ke rumah gadis itu, tapi tidak seorang pun membukakan pintu. Tidak seorang pun ada di rumah. "Pemilik toko dan keluarganya pergi keluar kota, katanya ada urusan keluarga," begitu kata seorang pekerja paruh waktu di minimarket.
Setelah mendengarnya, Jiyong bisa merasa sedikit lega. Gadis itu berada bersama keluarganya. Lisa akan baik-baik saja. Lantas, meski sangat merindukannya, Jiyong berusaha menunggu. Berusaha bersabar, tidak lagi mendesak gadis itu untuk menjawab teleponnya, juga membalas pesannya.
Baru setelah dua belas hari, rasa khawatirnya tidak bisa ia tahan lagi. Ia harusnya pergi mengajar siang ini, tapi kakaknya menelepon. Bukan hanya sekali, tapi tiga kali. "Kau pulang lah sekarang," begitu kata kakaknya, setelah ia jawab panggilan yang menuntut itu. "Gadis yang kau bawa ke rumah, pengurus asrama itu, dia ada disini. Dia ada di rumah tuan Choi, dia Choi Lisa yang bunuh diri itu," susulnya, tanpa sempat memberi adiknya jeda untuk bicara.
Urusan yang awalnya akan diselesaikan secara kekeluargaan. Masalah yang awalnya akan dirahasiakan, kini jadi rumor yang menyebar. Semua yang tinggal di lingkungan itu, kini membicarakannya—gadis yang dulu bunuh diri sekarang hidup lagi—begitu kata mereka.
"Aku tahu kalau mereka orang yang sama," kata Jiyong, sembari mengemudikan mobilnya. Bicara pada kakaknya yang tetap ada di telepon.
"Kau tahu? Sejak kapan?"
"Sudah lama," jawab Jiyong. "Tapi apa yang terjadi di sana? Sejak kapan dia ada di sana?"
"Aku tidak tahu," kata sang kakak. "Sudah beberapa hari ini aku dengar rumor kalau Choi Lisa hidup lagi. Tapi baru tadi pagi dia ke sini, ke rumahku."
"Dia ke rumahmu? Kalian bukan tidak sengaja berpapasan di jalan tapi dia ke rumahmu?"
"Aku juga terkejut saat dia datang," balas sang kakak, lalu berkata kalau Lisa datang hanya untuk menyapanya. Mengatakan kalau ia sudah beberapa hari tinggal di lingkungan itu tapi baru pagi tadi dirinya sempat menyapa.
Alih-alih menyetir ke rumah kakaknya, Jiyong justru menghentikan mobilnya di depan rumah Choi Lisa. Ia bergegas keluar dari mobilnya begitu tiba, langsung menekan bel rumah itu kemudian melihat nyonya Choi yang keluar membukakannya pintu. Pria itu sempat canggung. Terdiam ketika si tuan rumah bertanya padanya, siapa yang ingin ia temui.
"Uhm... Lisa-"
Jiyong berdiri kaku di sana, tapi untungnya sebuah mobil datang mendekat dan ia mengenali mobil itu. Ayahnya Lisa— ayah kandung gadis itu— yang datang. "Kau mencari Lisa?" tanya sang ayah.
Sekarang Jiyong menundukkan kepalanya, memberi hormat pada ayah kekasihnya. Berkata kalau ia datang untuk menemui Lisa siang ini. "Aku diberitahu kalau Lisa ada di sini," susulnya, membuat kesan kalau ia bukanlah tamu yang tidak diundang. Bukan seorang yang datang tanpa pemberitahuan sebelumnya.
"Lisa sedang pergi bersama ayah dan kakaknya— uhm... Ayahnya yang lain? Mereka pergi ke kantor polisi sekarang, pergilah menyusulnya kalau kau tidak bisa menunggu," jawab pria tadi, melangkah menghampiri Jiyong di halaman. Jiyong masih berdiri di halaman, sebab nyonya rumah tidak membiarkannya masuk. Nyonya rumah itu tidak mengenal Jiyong, meski selama beberapa tahun mereka sempat jadi tetangga.
"Kantor polisi? Kenapa?" Jiyong kembali bertanya, sedang si nyonya rumah memperhatikannya dengan dahi berkerut. Mencoba menebak-nebak siapa pria bertato yang tiba-tiba bertamu ke rumahnya, untuk mencari seorang yang dirumorkan sudah meninggal bertahun-tahun lalu.
"Dia siapa?" nyonya rumah itu bertanya, kepada kakak iparnya hanya lewat tatapan matanya. Penasaran pada pria yang kelihatan resah di depannya, pria yang terlihat khawatir bahkan sebelum ia tahu kalau Lisa pergi ke kantor polisi.
"Pria yang Lisa kencani," si ayah kandung lebih dulu menjawab pertanyaan adik iparnya. "Ya! Kau belum memperkenankan dirimu?" tegurnya kemudian, kali ini pada Jiyong yang tiba-tiba datang, tiba-tiba mencari Lisa tanpa memperkenalkan dirinya lebih dulu.
Sempat canggung karena di tegur, Jiyong langsung memperkenalkan dirinya. Ia menyapa kemudian memberitahu kalau ia mengenal si nyonya rumah, mengaku kalau kakaknya tinggal tidak jauh dari sana dan ia sering datang berkunjung. Mereka berbincang tapi si nyonya rumah tidak menunjukan ketertarikannya. Ditatapnya Jiyong, diamati seluruh bentuk tubuhnya, gerak-geriknya seolah tengah menilainya. Lalu diakhir penilaian itu, dilihatnya Jiyong seolah tidak akan ia restui hubungan pria itu dengan putrinya.
"Pergilah ke kantor polisi, Lisa ada di sana," ayah kandung Lisa menyela penilaian itu. Ia suruh Jiyong untuk segera pergi, tapi baru beberapa langkah Jiyong melangkah ke mobilnya, ia tahan lagi pria itu. "Jiyong-ah," panggil si ayah kandung, melangkah menghampirinya ke mobil. "Putriku sangat kesulitan beberapa hari ini, karena itu, jangan memarahinya saat kalian bertemu nanti. Dia bukan tidak ingin menghubungimu, dia justru tidak bisa melakukannya, karena terlalu malu," pesannya, sedikit gugup karena tatap khawatir adik iparnya di belakang, juga takut kalau sampai Lisa mendengar ucapannya sekarang. Ia takut putrinya itu akan kesal kalau tahu rahasianya dibongkar.
"Kenapa dia malu?"
"Ah? Kau belum tahu? Ingatannya kembali. Dia mengingat semuanya, termasuk sikapnya padamu dulu," ucapnya, menjawab kebingungan di wajah Jiyong.
"Dia mengingat semuanya? Semua termasuk kejadian di gunung?" Jiyong membulatkan matanya. "Dia bukan ke sini untuk mengembalikan ingatannya tapi karena sudah mengingat semuanya?" tanyanya, memastikan ia dapat mendapatkan jawaban yang benar, tidak ingin lagi mengira-ngira.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle
FanfictionBagai potongan puzzle yang diciptakan untuk satu sama lain, mereka bertemu. Pertemuan yang tidak mereka duga sebelumnya. Berdampingan, bersebelahan mereka dalam kotak takdir itu. Ia isi kekosongan seorang di sebelahnya, melengkapinya, membuat sebuah...