27

187 34 0
                                    

***

"Berhentilah di depan sana," kata Jiyong, menunjuk tepian jalan tidak jauh dari tempat mereka pernah makan bersama, di persimpangan dekat kedai kopi.

"Huh? Kenapa lagi? Sudah berapa kali aku bilang, aku bukan Choi-"

"Berhentilah di sana, biar aku yang menyetir," potong Jiyong. "Aku merasa akan kecelakaan lagi kalau kau yang menyetir," susulnya, membuat gadis di sebelahnya langsung cemberut. Wajahnya ditekuk, kesal atas komentar Jiyong barusan. Jiyong tidak ingat, gadis itu pernah membuat ekspresi begitu sebelumnya—sepuluh tahun lalu, saat Lisa masih menyukainya. Terang-terangan menyukainya.

Lisa keluar dari mobil itu, Jiyong pun sama, lalu mereka bertukar tempat tapi Lisa yang sebal, memilih untuk duduk di belakang. Tepat di belakang Jiyong yang akan mengemudi. Melihat wajah kesal itu, Jiyong ingin tersenyum sekarang. Merasa kalau raut wajah Lisa sekarang terlihat sangat menggemaskan. Gadis itu jadi terlihat berbeda, setelah Jennie memberitahunya kalau si pengurus asrama adalah Choi Lisa yang selalu menghantuinya. Terlebih karena setelah malam kecelakaan itu, hantu itu tidak pernah muncul lagi. Choi Lisa tidak lagi bisa menghantuinya, gadis itu belum mati, ia tidak bisa jadi hantu lagi sekarang.

Jiyong tidak langsung mengemudi sekarang. Pria itu sudah duduk dan memakai seat beltnya, tapi masih melirik Lisa lewat kaca tengah mobil itu. Masih memperhatikan gadis yang sekarang menggerutu. Mencibir Jiyong yang katanya sakit, mengatai pria itu menyebalkan dan mengancam akan balas memblokir nomor teleponnya. Cibiran Lisa tidak seberapa keras, tapi gadis itu juga tidak berusaha untuk berbisik, tidak mencoba supaya Jiyong tidak mendengarnya.

"Apa?! Cepat jalan! Kita bisa ditilang kalau berhenti lama di sini!" omel Lisa, sebab Jiyong masih terus memperhatikannya sembari menggerak-gerakkan kaki kirinya.

Kaki kirinya yang terluka. Harusnya menyetir bukan masalah karena kaki kanannya baik-baik saja. Tapi Jiyong masih ingin berhenti di sana. Masih ingin memperhatikan gadis di belakangnya.

"Apa kau punya lisensi?" tanya pria itu, langsung membuat Lisa menghentikan ocehannya. Membuat gadis itu menutup rapat-rapat mulutnya. "Kau tidak punya lisensi tapi berani menyetir sampai ke sini? Membawa keponakanku?" ulang Jiyong, kali ini menoleh ke belakang untuk melihat secara langsung ekspresi gugup yang Lisa buat.

"Aku punya!"

"Mana?"

"Kenapa aku harus memberitahumu?! Jalan saja! Cepat jalan saja, mobilnya mau dipakai sebentar lagi!" suruh Lisa, menolak untuk menunjukkan lisensi mengemudinya, menolak juga untuk melihat pria di depannya itu.

Ia berpaling, dengan kedua tangan yang dilipatnya di depan dada. Menatap keluar jendela, menolak untuk berbincang lebih lama lagi. "Katanya sakit tapi cerewet sekali," cibirnya, bicara pada bayangan wajahnya sendiri di jendela.

Jiyong menghela nafasnya sekarang. Lantas mengemudikan mobil itu untuk segera kembali ke asrama. Normalnya pria itu bisa mengemudi langsung sampai ke rumah tanpa hambatan, tapi kali ini pria itu ingin sekali mampir ke tempat peristirahatan. Di mobil Lisa terlelap, dan terus tertidur meski mobil itu berhenti di tempat peristirahatan. Entah Lisa hanya berpura-pura terlelap, atau memang tidur nyenyak di belakang.

Pria itu menggerakkan kaca tengah mobil itu, menyesuaikannya agar ia bisa melihat gadis yang ada di belakangnya. Memperhatikan gadis yang tidur itu tanpa mengatakan apapun. Lama ia begitu, tapi Lisa tidak juga bangun dari tidurnya. Sekarang, pikiran dalam kepalanya berkecamuk, tertuang dalam sebuah pertanyaan besar—apa yang harus ia lakukan? Harus kah dirinya berhenti menemui Lisa agar ingatan gadis itu tidak kembali seperti yang Jennie minta? Atau bisakah dirinya tetap berada di sekitar gadis itu, bermain dengannya seolah tidak pernah ada Choi Lisa sebelumnya? Sudah berhari-hari Jiyong memikirkannya, tapi tidak satupun jawaban muncul dalam benaknya. Tidak. Ada jawaban yang muncul, tapi Jiyong tidak menyukai jawaban itu.

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang