30

174 37 5
                                    

***

Bagi Jiyong, segalanya menghilang sekarang. Suara orang-orang di sekitarnya, deru kendaraan di jalanan, bahkan suara gadis di depannya tidak mampu ia dengar sekarang. Baginya, tidak ada yang terlihat sekarang. Selain gadis kurus di depannya itu. Bibir Lisa bergerak. Jiyong tahu gadis itu bicara, namun tidak satu pun suara masuk ke dalam telinganya. Segalanya sunyi, seolah dirinya baru saja jadi seorang pria tuli.

Mata gadis di depannya berkedip, bibirnya terus bergerak. Bicara padanya, mencari-cari perhatiannya. Tapi seolah ada sepasang tangan yang menutup telinganya, ia tidak mampu mendengar suara gadis itu. Lama Jiyong menatapnya, melihat bagaimana bibir gadis itu bergerak. Mencoba memahami apa yang tengah Lisa katakan. Mencoba mendengar apa yang gadis itu ucapkan.

Makin lama ia berusaha memahaminya, makin lama ia berada dalam kesunyian itu, samar-samar mimpi buruknya datang. "Kenapa oppa membohongiku?" begitu kata sang mimpi buruk, berdiri dengan seragam sekolahnya, tepat di sebelah Lalisa yang terus menatapnya.

"Kenapa kau berpura-pura tidak mengenalku? Kenapa kau merahasiakannya? Kenapa oppa membohongiku?" Ia, dalam balutan seragamnya terus bertanya. Lagi-lagi datang untuk menghantui Jiyong, dengan pertanyaan barunya.

Ia bergerak mendekat sekarang. Masih mengulangi pertanyaan yang sama. Terus berjalan ke arah Jiyong, seolah ingin memojokkannya. Pria itu berusaha untuk bertahan. Ia tahu dirinya hanya berhalusinasi. Ia yakinkan dirinya sendiri, kalau dirinya hanya berhalusinasi. Kalau gadis dalam balutan seragam sekolah itu, hanya angan-angannya saja. Kalau gadis itu tidak pernah ada, baik dulu maupun sekarang.

Tapi Lisa bergerak. Tapi Lalisa benar-benar ada. Tanpa sadar, refleks membawanya bergerak mundur. Kakinya melangkah mundur saat Lalisa si pengurus asrama bergerak maju, berjalan ke arahnya. Mendekatinya, lalu mengulurkan tangannya, ingin meraihnya.

"Oppa!" suara gadis itu terdengar sekarang. Cukup keras, cukup mengejutkan hingga segalanya kembali. Suara-suara bising di trotoar sebrang asrama kembali masuk dalam telinga Jiyong. Lalu perlahan-lahan gadis dalam balutan seragam tadi memudar, pelan-pelan menghilang.

Tangan Lisa menyentuh lengannya sekarang. Meremas lengannya sembari sekali lagi melontarkan pertanyaan yang sama. "Oppa! Ada apa denganmu?!" tanya gadis itu, mendesak Jiyong dengan guncangan kecil di lengannya.

"Tidak, tidak ada-" balas pria itu, akhirnya bicara, meski tetap tidak bisa ia bebaskan dirinya, pikirannya, dari semua perasaan yang menggerogotinya. "Aku harus kembali ke kampus, ada kelas," susulnya, memilih untuk melarikan diri daripada harus menjelaskan isi kepalanya sekarang.

Dengan kekacauan dalam dirinya, pria itu bergerak pergi. Ia berbalik dengan canggung, tanpa sempat berpamitan, kakinya kemudian melangkah, pergi meninggalkan Lisa dengan rasa penasarannya. Tanpa bisa menyembunyikan perasaannya yang membingungkan, Jiyong melangkah memunggungi gadis itu. Sempat ia tersandung kakinya sendiri, hampir terjatuh bak seorang linglung.

"Apa dia mabuk?" Lisa bertanya-tanya, masih sembari menatap punggung pria itu. Melihat Jiyong melangkah menjauh dengan langkahnya yang berantakan. Melihat pria itu memegangi kepalanya, sesekali meremas rambutnya sendiri bak seorang yang kehilangan kesadarannya.

Meski sempat berhenti beberapa kali. Meski sempat membungkuk beberapa kali, menahan sakit dalam kepalanya, Jiyong akhirnya tiba di mobilnya. Begitu tiba, pria itu pun tidak langsung masuk ke dalam mobilnya. Alih-alih membuka pintu dan duduk di dalam mobilnya, Jiyong justru berjongkok di sebelah pintu mobilnya. Ia berpegang pada tuas pintunya, sedang tangan lainnya menekan pelipisnya sendiri.

Kepalanya berdenyut, penuh dengan suara gadis itu. Gadis kekanakan yang menghantuinya dengan semua pertanyaannya—apa oppa menyesal karena tidak memperlakukanku dengan baik? Apa oppa menyesal karena tidak lebih sering tersenyum padaku? Oppa menyesal kan? Lalu sekarang, kau juga akan menyesal karena membohongiku. Kenapa kau tidak memberitahuku yang sebenarnya? Kenapa kau membohongiku? Kenapa kau menyembunyikan segalanya dariku?—seolah tengah diberi bocoran akan masa depannya, Jiyong terus mendengar suara gadis itu.

Lisa mengulurkan tangannya sekarang. Menunjukan kehadirannya di sana. Ia yang sedari tadi mengekori Jiyong, tentu karena dirinya khawatir pria itu akan benar-benar jatuh tersungkur, kini meraih bahu pria itu. "Oppa?" Lisa bersuara, mengulurkan tangannya tanpa menarik Jiyong berdiri.

Ia berlutut di sebelah pria itu, memandangi wajahnya, mencoba untuk mencari-cari jawaban atas rasa penasarannya. Dilihatnya bulir keringat pada dahi pria itu. Wajahnya kelihatan pucat, dengan bibir yang bergetar. Pria itu terlihat amat sakit sekarang, terlihat sangat menyedihkan hingga Lisa tidak berani mengutarakan pertanyaannya.

"Aku antar pulang, ya?" tawarnya, akhirnya memilih untuk tidak dulu memuaskan rasa penasarannya.

Jiyong tidak menjawabnya. Sama seperti beberapa menit lalu, Jiyong hanya menatapnya. Terus melihat ke arahnya tanpa mengatakan apapun. Memandanginya, seolah ingin melihat semua detail pada wajahnya. Merasa kalau Jiyong tidak akan menjawabnya, Lisa mengulurkan tangannya. Pelan-pelan ia rebut kunci mobil di tangan pria itu, mengambilnya lalu kembali berdiri.

Kali ini, Lisa menarik Jiyong berdiri. Memegangi pria yang masih membisu itu, lalu membantunya masuk ke dalam mobil. Mengarahkannya untuk duduk di kursi belakang. "Akan aku antar ke rumah sakit-"

"Aku membohongimu," potong Jiyong, menahan tangan Lisa yang akan memakaikan seat belt untuknya.

Jiyong meraih tangan Lisa sekarang. Menggenggam pergelangan tangan gadis itu, membuat Lisa harus terus membungkuk di pintu mobilnya. "Ada hal yang aku sembunyikan darimu, ada sesuatu yang aku rahasiakan darimu," susulnya, memastikan Lisa memahami ucapannya.

Lisa terdiam sekarang. Berbagai perasaan kini muncul. Gadis itu tentu penasaran. Ingin ia ketahui rahasia apa yang Jiyong sembunyikan darinya. Tapi di sisi lain, gadis itu pun khawatir. Takut kalau ia tidak akan bisa menerima rahasia itu. Takut kalau dirinya akan kecewa setelah mendengar rahasianya.

"Tetap lah merahasiakannya dariku," balas Lisa.

Ia menarik tangannya sekarang, kembali berdiri dan menutup pintu mobil itu sebelum Jiyong mulai membocorkan rahasianya. Sebenarnya, hatinya terasa berat. Dadanya terasa sesak sekarang, terjebak dalam rasa penasaran juga kekhawatiran.

"Dia hanya sakit," Lisa akhirnya membuat sebuah keputusan. Memilih untuk menebak sendiri rahasia yang mungkin Jiyong sembunyikan. "Dia hanya menyembunyikan penyakitnya dariku. Traumanya, karena Choi Lisa, hanya itu yang dia sembunyikan dariku. Ya, dia hanya menyembunyikan penyakitnya, alasan depresinya muncul, dia hanya menyembunyikan itu," gumam gadis itu, mengoceh hanya untuk membuat dirinya merasa sedikit lebih baik.

Beberapa detik, gadis itu berdiri meyakinkan dirinya sendiri. Beberapa detik, Lisa membuat keputusan untuk tidak memuaskan rasa penasarannya. Hanya akan ia percaya apa yang ingin dipercayainya—putus gadis itu, sebelum dirinya masuk ke dalam kursi pengemudi mobil Jiyong. Mengemudi sampai ke rumah pria itu, mengantar pria pucat di kursi belakang.

***
Haloo~ maaf ya baru update lagi... Aku baru sempet ngetik, kemarin-kemarin aku pergi keluar kota, terus sakit, tapi sekarang sudah sembuh~

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang