23

173 40 7
                                    

***

"Ibuku punya seorang kakak," Jennie memberitahu Jiyong apa yang sebenarnya terjadi sekarang. "Tapi, kakaknya itu tidak bisa punya anak. Dia sangat kesulitan waktu itu, karena rahimnya diangkat, karena ia tidak lagi bisa melahirkan. Dia terlihat sangat sedih, tapi disaat yang sama, ibuku melahirkan sepasang anak kembar. Kalian akan kesulitan merawat dua bayi perempuan sendirian, berikan saja salah satu bayi kalian padanya, anggap saja itu hadiah untuknya, dia sudah berjuang keras untuk bisa sembuh, tolong bantu dia—kakekku bilang begitu, pada orangtuaku. Lalu mereka merawat Lisa," ceritanya.

"Istrinya tuan Choi yang punya toko musik itu?" tanya Jiyong dan Jennie menganggukan kepalanya.

"Awalnya aku pun tidak tahu kalau kami kembar," aku gadis itu kemudian. "Sepanjang hidupku, kami dibesarkan sebagai sepupu. Kami cukup dekat, tapi tidak sangat dekat karena jarak. Kami hanya bertemu di hari-hari libur, atau saat ada acara keluarga. Bahkan meskipun tidak tahu kenyataannya, kami sangat senang waktu itu. Tapi tiba-tiba, kami diberi kabar kalau Lisa hilang di gunung. Saat kejadian itu aku baru tahu, kalau kami saudara kembar. Orangtuaku marah sekali saat tahu kalau Lisa mencoba bunuh diri karena dirundung. Kalian sudah mengambilnya dariku, kalian harusnya merawatnya dengan baik. Bagaimana bisa kalian tidak tahu kalau dia dirundung? Kalian benar-benar menjaganya selama ini? Ada dimana kalian selama ini? Bagaimana bisa dia sampai mengambil keputusan itu?—mereka marah sekali, orangtuaku. Jadi saat Lisa ditemukan, kami membawanya. Kalau Lisa siuman nanti, kami akan memberitahunya, segalanya, kami yang akan merawatnya. Dia harus kembali ke rumah. Kami berencana begitu, tapi dia tidak mengingat apapun."

Sekarang Jiyong mengingatnya. Cerita yang beberapa jam lalu didengarnya, tentang bagaimana Choi Lisa dirundung selama masa sekolahnya. Ia tidak bisa berkomentar sekarang. Tidak bisa ia katakan apapun pada Jennie, cerita itu terlalu menyedihkan. Terlampau menyakitkan, hingga ia rasakan sesak yang luar biasa di dadanya.

"Selama ini Lisa hidup dengan baik karena tidak mengingat apapun," kata Jennie sekali lagi. "Karena itu aku tidak menyukaimu, karena kau terus berusaha membuatnya mengingat masa lalunya. Aku mohon, aku benar-benar memohon padamu, bisakah kau meninggalkannya? Biarkan dia tetap melupakan kejadian itu. Biarkan dia tetap hidup, ya? Jangan membawanya ke sini, jangan memaksanya untuk mengingat kejadian itu. Jangan menemuinya lagi," bujuk Jennie, menggantikan orangtuanya untuk meminta hal yang sama pada Jiyong.

Jennie terus memohon padanya. Terus meminta Jiyong untuk berhenti menemui adiknya. Terus membujuk Jiyong agar membiarkan Lisa tetap kehilangan ingatannya, sampai akhirnya Jiyong menyetujuinya. Pria itu tidak tahu apa keputusannya tepat sekarang. Ia tidak tahu apa ia bisa melakukannya. Jiyong tidak bisa memikirkan solusi apapun. Tidak juga bisa memutuskan mana yang benar, juga mana yang salah, bagaimana keputusan apa yang Lisa inginkan. Ia benar-benar tidak punya petunjuk sekarang.

"Aku akan melakukan seperti yang kau katakan," kata Jiyong akhirnya bicara. "Untuk sekarang, tinggalkan aku sendirian," suruhnya setelah itu, merasa kalau ia perlu banyak waktu untuk memikirkan segalanya. Untuk menenangkan dirinya, untuk mendapatkan kembali akal sehatnya. Cerita Jennie barusan benar-benar menguras tenaganya, benar-benar mengejutkannya, tentu membuatnya teramat sedih.

Setelah malam itu, Jennie tidak melihat Jiyong lagi. Bahkan di asrama, pria itu tidak lagi muncul. Jiyong benar-benar mengabulkan permintaannya—yakin Jennie. Tapi meski begitu, meski Jiyong tidak lagi muncul, keadaan tidak kembali jadi tenang.

Adiknya memang berhenti membicarakan Choi Lisa. Ia juga berhenti mencaritahu tentangnya. Lisa si pengurus asrama tidak lagi menyamakan dirinya dengan Choi Lisa yang bunuh diri. Tidak lagi memicu ingatannya yang sudah lama hilang. Tapi meski begitu, meski Jennie bisa merasa sedikit tenang sekarang, adiknya justru terlihat murung.

"Terjadi sesuatu saat aku pergi waktu itu?" tanya Jennie, di jam makan siang, di cafeteria. "Sudah beberapa hari ini kau tidak menghabiskan makananmu, kau juga tidak pergi ke club, ada apa?" tanyanya ingin tahu.

"Tidak tahu," geleng gadis itu. "Kwon Jiyong berengsek itu memblokir nomor teleponku. Menyebalkan sekali," gerutunya kemudian. "Aku hanya memintanya untuk bermain denganku. Aku bahkan tidak menyukainya. Aku tidak ingin berkencan dengannya. Hanya sesekali nonton film bersama, pergi konser, hanya begitu maksudku, tapi dia menolakku, karena perempuan yang sudah mati itu," Lisa mengeluh sementara Jennie hanya memasang telinga untuk mendengarkannya.

"Si berengsek itu tidak melakukan kesalahan apapun padanya, tapi dia terus menghantuinya. Mungkin karena bajingan itu terlalu menyukainya? Tapi sampai kapan dia akan begitu? Selama apapun dia merindukan gadis itu, gadis itu tidak akan hidup lagi, iya kan? Augh! Kenapa aku harus bertemu orang yang belum move on dari masa lalunya begitu? Harusnya aku tidak berteman dengannya. Sekarang dia salah paham, mengira aku menyukainya lalu memblokir nomor teleponku. Ini memalukan!" gerutu Lisa, terus mengeluh, menunjukan rasa frustasinya dengan menginjak-injak lantai cafetaria di bawah meja. Kesal bak seorang gadis kecil yang tidak bisa membalas perbuatan musuhnya di kelas.

"Augh! Kenapa kau terus begini?" heran Jennie, dengan raut bosannya. "Biarkan saja dia. Kau bisa memakai kesempatan ini untuk mendekati pria lain. Lupakan saja pria itu," susulnya, memberi sang adik saran yang tidak bisa Lisa terima sekarang.

"Apanya yang terus begini? Biasanya aku yang menjauhi mereka," sebal Lisa. "Rasanya menyebalkan karena dia yang lebih dulu memblokir nomor teleponku," susulnya, cemberut lalu meninggalkan makanannya. "Eonni yang membersihkannya, aku sakit perut," katanya lantas pergi ke kamarnya. Akan memakai kamar mandi pribadinya di dalam sana. Sejak gadis itu tinggal di asrama, ia tidak pernah lagi memakai toilet umum di cafeteria.

Bagai sebuah kebetulan, selesai dengan urusannya di kamar mandi, Lisa berpapasan dengan Karina di depan kamarnya. "Halo, eonni," sapa gadis itu, yang tentu saja Lisa balas dengan senyum ramahnya.

"Kelasmu baru saja selesai?" Lisa bertanya setelahnya.

"Iya, baru saja selesai," tenang gadis itu. "Ah! Eonni, aku akan pulang hari ini, sampai hari Minggu nanti," susulnya, membatalkan rencananya untuk langsung pergi ke kamarnya.

"Pulang ke rumah pamanmu?"

"Tidak, pulang ke rumah. Pamanku ada di rumah, dia kecelakaan dan kakinya terluka. Sudah seminggu tapi belum juga sembuh. Ibuku bilang, paman hanya beralasan, agar tidak perlu pergi ke kampus," cerita gadis itu. "Sedari dulu Paman begitu, kalau sakit, dia akan terus berpura-pura sakit, agar bisa membolos lebih lama. Waktu aku masih kecil, dia bahkan mengajariku caranya pura-pura sakit, jadi aku bisa bolos sekolah," katanya lalu terkekeh. Menikmati obrolannya meski Lisa hanya diam dan mendengarkan ceritanya.

"Kecelakaannya parah?" tanya Lisa. "Bagaimana kakinya bisa patah?" susulnya penasaran.

"Dia ditabrak mobil yang mengangkut sapi. Ibuku bilang tidak parah," jawabnya. "Ah! Eonni, aku harus siap-siap sekarang, keretaku satu jam lagi," susulnya.

"Mau aku antar pulang?"

"Ya?"

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang