13

205 37 1
                                    

***

Jiyong tidak benar-benar pulang setelah mengantar Lisa sampai ke tempat tinggalnya. Pria itu memang mengemudi pulang, tapi ia hentikan mobilnya di tepi jalanan yang sepi itu. Berhenti sebelum sempat berbelok masuk ke dalam kompleks apartmennya.

Lisa yang cantik dengan seragam sekolah dan rambut panjangnya, sekarang muncul dalam kepala pria itu. Pelan-pelan terlihat duduk di sebelahnya, di tempat Lalisa Kim sebelumnya berada. Jiyong menoleh untuk melihat gadis yang menghantuinya itu. Tapi sekarang, gadis itu tidak terlihat senang.

"Oppa mengencani gadis lain?" dalam angannya, Lisa yang berseragam bilang begitu. Mengucapkan kata yang sama persis seperti bertahun-tahun lalu. "Sementara aku berusaha keras untuk membuatmu melihatku, kau justru berkencan dengan gadis lain? Enak sekali hidupmu, oppa," kata Lisa, hanya dalam angan-angan Jiyong.

Beberapa bulan terakhir ini halusinasi itu pergi. Gadis cantik berseragam itu berhenti menghantuinya sejak ia bertemu si pengurus asrama. Tapi malam ini, halusinasi itu duduk di sebelahnya. Terus melihat padanya dengan raut tidak menyenangkan.

"Maaf, Lisa," pelan Jiyong, bicara pada halusinasinya sendiri.

Tapi dalam kepalanya, halusinasi itu menjawabnya. Halusinasi itu bicara padanya. "Maaf untuk apa? Karena oppa tidak memperlakukanku dengan baik, atau karena oppa sudah menemukan penggantiku? Oppa tidak berfikir kalau kami orang yang sama kan?" halusinasi itu terus bertanya padanya. Terus melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa Jiyong jawab. Terus menekan kepala pria itu hingga terasa luar biasa nyeri, luar biasa pening.

Tidak tahan merasakan siksaan itu, Jiyong membenturkan kepalanya. Terus memukul roda kemudi dengan dahi dan kepalan tangannya. Memaksa agar halusinasi yang memenuhi kepalanya untuk segera meninggalkannya. Setidaknya beberapa menit Jiyong begitu, hingga handphonenya berdering, panggilan dari Karina yang bilang kalau ia dan teman-temannya sudah sampai di rumah Jiyong.

Malam itu, Jiyong pulang setelah menenangkan dirinya. Ketika ia tiba, Karina dan teman-temannya sudah terlelap di kamar tamu. Jiyong hanya melihat sepatu anak-anak itu di dekat pintunya, tersusun rapi sebagaimana seharusnya. Lalu, ketika pagi datang, rasa sakit di kepalanya belum pergi. Bukan hanya karena pening setelah berhalusinasi, tapi juga karena benturan-benturan semalam.

Pria itu tetap tinggal di dalam kamarnya, tetap berbaring meski mendengar suara ribut Karina dan teman-temannya. Bahkan saat Karina berpamitan untuk pergi kuliah, Jiyong tetap berbaring di kamarnya. "Paman, kenapa wajahmu merah? Kau sakit?" Karina sempat bertanya, ketika gadis itu masuk ke dalam kamar Jiyong untuk berpamitan. Tetap bertanya, meski ia sudah bisa menebak jawaban pamannya—tidak apa-apa, pergi lah—hanya itu yang Jiyong katakan padanya.

Sepanjang hari Jiyong tidak meninggalkan ranjangnya. Tetap berbaring dengan bayang-bayang yang menghantuinya. Ia terlalu lelah untuk bangun, tapi tidak cukup tenang untuk terlelap. Terus terjaga meski beberapa kali handphonenya berdering. Koordinasi kelas yang harusnya ia ajar pasti meneleponnya, pasti ingin tahu apa ia akan datang ke kelas atau tidak. Baru setelah hari berganti, pria itu bangkit dari baringannya.

Ia harus kembali pada rutinitasnya sekarang. Setelah berjam-jam kelelahan karena harus bertarung dengan angannya sendiri. Hari ini pria itu mengajar, keesokan harinya pun sama, pekan depannya pun begitu. Beraktifitas seperti biasanya. Baru setelah ia merasa lebih baik, ia kembali muncul di asrama.

Ia datang di pukul sembilan malam hari ini, memarkir mobilnya di dekat asrama itu kemudian keluar. Hari sudah malam, rasanya salah kalau datang dan masuk ke asrama putri begitu saja. Karenanya, ia telepon Lisa sekarang. Beberapa menit menunggu gadis itu menjawab panggilannya sembari bersandar ke mobilnya. Akhir-akhir ini tubuhnya tidak bertenaga, bahkan untuk berdiri saja ia kelelahan.

Suara musik yang luar biasa keras menjadi hal pertama yang didengarnya ketika panggilannya di jawab. Pelan-pelan suara itu berkurang, lalu menghilang, berubah jadi suara gadis yang ia telepon. "Halo?" begitu yang Lisa katakan, setelah menjawab panggilannya.

"Kau sibuk?"

"Baru saja sampai di club," katanya, tanpa menutup-nutupi kesibukannya. "Ada apa? Karina bilang oppa sakit beberapa hari ini, sudah ke rumah sakit? Mau dijenguk?" susulnya, penasaran.

"Mau bertemu? Aku di depan asrama sekarang," kata Jiyong. "Ada yang ingin aku katakan," susulnya.

"Apa? Tidak bisa lewat telepon?"

"Kalau begitu besok-"

"Tiga puluh menit. Tunggu di sana tiga puluh menit," potong Lisa, lalu menggerutu karena Jiyong membuatnya penasaran.

Selanjutnya Jiyong bisa mendengar suara Lisa meminta taksi. Bicara pada si penjaga pintu club, memintanya menghentikan sebuah taksi yang lewat. "Jangan di asrama, cafe di depan gerbang kampus, kita bertemu di sana, bagaimana?" tanya Lisa, masih dalam panggilan mereka.

Lisa menawarkan tempat untuk berbincang, namun Jiyong menolaknya. Berkata kalau ia akan menunggu Lisa di mobil, di depan gerbang utama universitas itu. Lalu tidak sampai tiga puluh menit, keduanya bertemu. Gadis itu turun dari taksi di depan mobil Jiyong, membayar ongkos taksinya kemudian masuk ke mobil Jiyong tanpa menunggu pria itu mempersilahkannya masuk.

"Hai, lama tidak bertemu," kata Lisa, begitu datang.

"Maaf, akhir-akhir ini aku-"

"Oppa sakit?" tanya Lisa, menyela ucapan Jiyong. "Aku tidak bermaksud menguping, tapi beberapa hari lalu aku tidak sengaja mendengar Karina bicara di telepon, katanya kau sakit," akunya kemudian.

Beberapa hari lalu Lisa naik ke lantai tiga belas. Awalnya ia hanya berencana untuk mengecek kamar mandinya, karena seseorang membuat laporan kalau kran air di lantai tiga belas bocor. Tapi saat ia melewati kamar Karina, tidak sengaja ia dengar gadis itu bicara di telepon bersama ibunya.

"Eomma, Paman Jiyong sepertinya sakit," kata Karina. "Dia seperti mayat hidup, seperti waktu itu. Eomma ingat Lisa eonni? Yang meninggal karena bunuh diri di gunung itu? Pengurus asramaku juga namanya Lisa. Lalisa, akhir-akhir ini Paman mendekatinya, dia kelihatan senang, tapi... Suatu hari dia pulang ke rumahnya dengan wajah merah, seperti orang demam, kelihatan sedih juga, sepertinya dia ditolak? Tapi eomma tahu kenapa paman begitu? Aku tahu kalau Lisa eonni menyukai paman, apa paman juga menyukainya? Kenapa paman jadi begitu setelah Lisa eonni meninggal? Waktu itu dia hampir batal pergi ke Inggris karena terlalu sedih," ocehnya, berbincang dengan sang ibu yang tidak bisa Lisa dengar ucapannya. Mungkin karena Karina memakai earphonenya, atau memang suara sang ibu yang luar biasa pelan.

Ia sempat menguping malam itu, mendengarkan Karina membicarakan gadis yang namanya sama sepertinya, lalu ingat kalau di pertemuan pertama mereka Jiyong kelihatan luar biasa terkejut karenanya. Kini gadis itu memahaminya, sikap Jiyong di awal pertemuan mereka. Ia yang sebelumnya tidak peduli apa alasan Jiyong berhenti menghubunginya, sekarang penasaran, bagaimana rupa gadis yang namanya sama seperti miliknya itu.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang