***
Jiyong tidak diabaikan meski sudah membuat Lisa luar biasa kesal malam itu. Pesan pria itu masih Lisa balas. Kalaupun Jiyong datang ke asrama, Lisa juga masih menemuinya. Bedanya, Lisa terus mendorongnya pergi. Aku sibuk, aku sudah punya janji lain, aku lelah hari ini, mungkin lain kali, aku tidak tertarik untuk pergi, aku malas pergi ke sana, aku sudah menontonnya— Lisa selalu punya alasan untuk menolak semua ajakan Jiyong. Tidak ia beri pria itu kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.
Seperti hari ini, dua minggu setelah mereka pergi ke rumah orangtua Karina. Jiyong datang seperti beberapa malam sebelumnya, ia tiba di asrama tepat di jam makan malam. Tapi begitu datang, hanya ada Jennie di sana, baru saja keluar dari ruang administrasi, untuk bergegas pulang. "Lisa ada di sini? Aku datang untuk menemuinya," tanya pria itu setelah ia sapa Jennie yang menatap tajam ke arahnya. Jennie terlihat tidak menyukainya sekarang.
"Tidak ada," kata gadis itu. "Lisa tidak ada di sini dan aku harap anda tidak menemuinya lagi, Tuan Kwon," susul gadis itu, tiba-tiba membuat jarak panjang diantara mereka. Jennie yang sebelumnya senang karena Lisa mulai bergaul dengan pria baik—atau pria yang kelihatan baik—kini bersikap sebaliknya. Bertingkah seolah ia membenci Jiyong.
"Ya? Kenapa-"
"Hanya tidak suka adikku bergaul denganmu," potong gadis itu. "Lagi pula, kau melihatnya sebagai orang lain. Untuk apa terus menemuinya? Jangan datang lagi," katanya, sama ketus seperti sebelumnya. "Mantan pacarmu? Kenapa kau memaksa adikku harus jadi seperti mantan pacarmu? Bajingan," cibir Jennie, namun tidak segera pergi dari sana.
Lisa ada di lantai sepuluh sekarang. Tengah menunggui beberapa pekerja memperbaiki plafon di sana. Jennie harus tetap di sana, merasa dirinya perlu memastikan Jiyong pergi sebelum pria itu bertemu dengan adiknya. Dengan usahanya itu, Jennie berhasil. Dengan semua cibiran ketusnya, Jiyong memilih untuk berpamitan, pergi dari sana setelah mengucap beberapa kata maaf.
Jennie berlari ke pintu utama sekarang, mengintip dari sana, memastikan Jiyong benar-benar pergi. Jantungnya berdegup sangat cepat sekarang, seolah akan meledak. Lisa tidak akan ingat apapun kalau ia tidak lagi bertemu dengan Jiyong. Lisa tidak akan mendapatkan kembali ingatan mengerikan itu kalau Jiyong tidak muncul dengan semua kenangan itu—begitu yang Jennie yakini. Kini, ingin gadis itu pastikan, adiknya tidak lagi berhubungan dengan masa lalunya. Tidak akan ia biarkan Jiyong membawa pergi adiknya.
"Eonni, apa yang kau lakukan di sana?" tegur Lisa, datang dan berdiri di belakang Jennie setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Tidak, tidak ada, hanya melihat keluar," jawab gadis itu, setelah ia hampir berteriak karena suara mengejutkan adiknya itu. "Plafon di atas sudah?" tanyanya kemudian.
"Hm... Plafonnya sudah," angguk Lisa. "Tapi sepertinya ada pencuri di sini. Sejak minggu lalu aku dapat laporan kalau makanan anak-anak di lemari es banyak yang hilang," katanya kemudian.
"Di kamar mandi juga ada shampo dan sabun yang hilang," balas Jennie, membuat Lisa mengerutkan dahinya.
"Bagaimana caranya menangkap pencuri sabun? Tidak ada cctv di kamar mandi," heran Lisa kemudian. "Aku akan memberitahu ketua asrama besok," susulnya, membuat keputusannya sendiri.
"Hm... Kau saja yang memberitahunya, dia teman dekatmu," angguk sang kakak, tidak benar-benar peduli dengan pekerjaannya di asrama, sebab karena ada Lisa yang membantunya, ia hanya perlu mengelola website asrama. Lisa yang bertanggung jawab atas semua fasilitas dan perawatan asramanya, sedang Jisoo yang mengurus keuangannya. "Aku pulang duluan, aku ada kelas malam hari ini. Augh! Baru memikirkannya sudah mengantuk," keluh gadis itu, sembari melambai lalu melangkah pergi meninggalkan asrama.
Lisa kembali ke dalam ruang administrasi setelah melihat kakaknya pergi. Di dalam sana masih ada Kim Okvin juga Kim Jisoo, tengah berbincang membicarakan beberapa mahasiswa yang belum melunasi sewa asramanya. Mengatur strategi untuk menagih biaya sewa kamarnya.
"Plafonnya sudah diperbaiki," Lisa bilang begitu, menginterupsi pembicaraan dua rekannya sembari duduk di kursinya. "Jadi apa makan malam kita hari ini? Jennie eonni tidak ikut, dia ada kelas malam," tanyanya, tidak peduli pada rencana yang baru saja ia sela.
"Aku ingin sandwich," Jisoo menjawabnya, sementara Lisa juga Okvin bertukar tatap sekarang.
"Sandwich untuk makan malam?" heran Okvin—si ketua asrama—dan Jisoo menganggukan kepalanya, berkata kalau ia sudah beberapa hari ini memikirkan sepotong sandwich tapi belum berhasil membelinya. "Lisa-ya, kau mau makan sandwich?" tanya Okvin, kali ini pada Lisa yang baru saja melepaskan kancing kemejanya. Melepaskan sesak setelah beberapa jam menunggui para pekerja plafon.
Mendengar kata sandwich, Lisa mengingat Jiyong. Tepatnya ia ingat restoran sandwich yang tempo hari mereka kunjungi. Gadis itu mengingat pegawai restoran yang menumpahkan air kotornya, lalu mengenalinya dan ketakutan melihatnya. Tiba-tiba rasa penasaran itu muncul sekarang. Lisa penasaran, benarkah pegawai itu mengenalinya? Atau pegawai itu juga melihatnya sebagai Choi Lisa—sama seperti Jiyong.
"Aku tahu restoran sandwich yang enak dekat sini," kata gadis itu, setuju untuk makan sandwich. Karena kalah suara, Okvin akhirnya setuju dan dengan mobil wanita itu, mereka bertiga pergi ke restoran yang Lisa bicarakan.
Pertemuan kedua tidak semulus yang Lisa duga. Ketika ia tiba di restoran itu, pegawai yang membuat kekacauan tempo hari tidak ada. Shift kerjanya baru dimulai pukul sepuluh malam nanti. Lisa perlu menunggu kalau memang ingin bertemu dengannya.
"Apa aku boleh minta nomor teleponnya saja?" Lisa sempat bilang begitu, tapi tidak seorang pun berani memberikan nomor telepon pegawai itu. Masalah privasi dan mau tidak mau, Lisa harus memakluminya.
"Nomor telepon siapa yang kau cari?" tanya Jisoo, setelah Lisa kembali ke meja tanpa mendapatkan informasi apapun.
"Seseorang," santai gadis itu, kembali duduk untuk melanjutkan makan malamnya. "Beberapa minggu lalu aku ke sini, lalu ada seorang pegawai yang terkejut saat melihatku. Dia sangat terkejut, seperti melihat hantu. Lalu beberapa hari lalu, aku tahu kalau ada seseorang yang mirip denganku. Mirip sekali, aku pikir dia itu aku. Sekarang aku penasaran, siapa tahu aku punya kembaran lain selain Jennie eonni? Atau kami mungkin tertukar? Eonni tahu kan? Sedang ramai ada berita bayi tertukar di rumah sakit. Aku penasaran," cerita gadis itu.
"Kenapa kau tidak bertanya pada orangtuamu saja?" heran Okvin.
"Aku sudah bertanya. Tapi orangtuaku, Jennie eonni juga, mereka semua bilang kalau kami tidak terlihat mirip. Ibuku juga tidak pernah melahirkan bayi kembar tiga," katanya.
Jisoo yang sedari tadi mendengarkan sekarang bersuara, "lalu kalau kau sudah tahu, apa yang akan kau lakukan?" tanyanya ingin tahu.
"Aku baru bisa memutuskan mau apa setelah tahu keberadaannya, bukan begitu?" jawab Lisa. "Dari nama, wajah, rambut, umur bahkan hari ulangtahun, semuanya sama. Kalau dia masih hidup, mungkin orang-orang akan percaya kalau kami yang kembar, bukan aku dan Jennie eonni."
"Kalau kesamaannya sebanyak itu, kalian bukan orang yang sama?"
"Bagaimana bisa? Dia sudah meninggal, sekitar sepuluh tahun lalu. Kalau kami reinkarnasi, harusnya dia meninggal dua puluh sembilan tahun yang lalu... atau seperti Death Game? Dia dihukum karena bunuh diri dan masuk ke tubuhku? Augh! Tidak tahu! Aku penasaran sekali sampai tidak bisa tidur berhari-hari," gerutu gadis itu, sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri.
"Hilang ingatan?" tebak Jisoo.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle
FanfictionBagai potongan puzzle yang diciptakan untuk satu sama lain, mereka bertemu. Pertemuan yang tidak mereka duga sebelumnya. Berdampingan, bersebelahan mereka dalam kotak takdir itu. Ia isi kekosongan seorang di sebelahnya, melengkapinya, membuat sebuah...