38

110 21 0
                                    

***

Lisa berkendara bersama ayahnya, duduk di sebelah si pria paruh baya yang mengemudi. Sudah lima menit tapi tidak ada pembicaraan diantara mereka. Lisa ingin tidur, tapi sang ayah justru mengajaknya berkeliling. Meski malas, gadis itu tetap masuk ke dalam mobil ayahnya, duduk sembari menatap keluar jendela.

"Kenapa eomma dan Jennie eonni kelihatan khawatir? Aku punya penyakit lain yang kalian rahasiakan?" Lisa bertanya, setelah mobil mereka melaju jauh dari rumah. "Kita benar-benar akan pergi ke rumah sakit? Aku tidak merasa sakit," susulnya sebab sebelum pergi tadi, sang ibu berpesan—secara rahasia, tapi ketahuan—untuk membawa Lisa melakukan pemeriksaan.

"Jennie bilang kau mengingat sesuatu," sang ayah menjawabnya, dengan sangat santai meski sebenarnya ia tekan dalam-dalam perasaannya. Khawatir Lisa akan terpuruk jika ia mengingat semua yang menakutkan, seperti alasannya bunuh diri.

"Karena itu kita harus ke rumah sakit? Aku memang mengingat sesuatu, tapi aku ragu itu ingatanku atau hanya khayalanku," akunya.

"Apa yang kau ingat?"

"Aku jatuh ke jurang-" dengan santai Lisa menjawab pertanyaan ayahnya, tapi sang ayah bereaksi dengan sangat berlebihan. Seolah baru saja mendengar sebuah kabar buruk, ia menginjak dalam-dalam rem mobilnya.

Lisa terkejut, langsung mengulurkan tangannya ke depan, bertumpu pada dashboard mobil. "Appa!" bingung gadis itu, setengah ketakutan sebab mobil di belakang mereka sekarang marah. Mobil-mobil di belakang mereka menekan kuat-kuat klakson mereka, kemudian memaki setelah menurunkan kaca mobilnya.

Sang ayah tetap diam sekarang. Meski sudah menduga kalau Lisa akan mengingatnya—cepat atau lambat—ia tetap terkejut, sebab ketakutannya akhirnya datang. Sebanyak apapun ia menyiapkan diri untuk hari-hari seperti ini, nyatanya saat hari dimana ingatan Lisa kembali, seluruh persiapannya tidak berarti lagi.

"Apa yang kau ingat, sayang?" sang ayah kembali bertanya, kali ini sembari menoleh untuk melihat wajah putrinya yang terkejut.

"Tepikan dulu mobilnya, ini berbahaya," suruh Lisa, menepuk-nepuk lengan ayahnya agar mereka segera melaju, agar orang-orang berhenti memarahi mereka yang sekarang menghalangi jalan.

Mobil ditepikan, diparkir di lahan parkir taman kota yang luas. Pagi ini tempat parkirnya penuh, banyak keluarga yang datang ke sana untuk bermain, beristirahat setelah hari-hari kerja yang menjemukan. Tapi alih-alih keluar untuk berjalan-jalan, untuk bermain seperti keluarga lainnya, mereka memilih untuk tetap di mobil.

Sekali lagi sang ayah mengulangi pertanyaannya. Menoleh untuk menanyakan ingatan apa yang muncul di kepala putrinya. "Sebenarnya aku bertemu beberapa orang yang memanggilku Choi Lisa," aku gadis itu. "Mereka bilang wajah kami sama, nama sampai umur juga sama. Tapi, Choi Lisa sudah meninggal, katanya bunuh diri, di gunung. Karena itu aku mencaritahu tentangnya. Aku jadi sering memikirkannya. Lalu sepertinya, karena terlalu sering memikirkannya, aku jadi berkhayal tentangnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," susulnya, menenangkan sang ayah.

Awalnya, ayah gadis itu terdiam. Membisu, tidak menanggapi cerita putrinya. Untuk beberapa detik, tidak ada pembicaraan apapun di sana. Ketika itu, kesunyiannya hanyalah beberapa menit. Tapi bagi sebagian orang, detik-detik senyap itu terasa begitu lama. Teramat lama hingga mereka bisa membayangkan berbagai skenario dalam kepala masing-masing.

"Kau benar Choi Lisa," sang ayah akhirnya bicara. Mengatakan beberapa kata yang Lisa tanggapi dengan kekehan kecil khasnya.

"Appa! Jangan menggodaku!" serunya, di tengah-tengah tawa kecilnya. Mengatakan kalau ia sudah cukup merasa buruk karena orang-orang memanggilnya Choi Lisa. Ia tidak ingin jadi Choi Lisa yang Jiyong rindukan, ia tidak ingin dicintai sebagai Choi Lisa yang tidak pernah ditemuinya.

Tapi tawanya kini berhenti, sebab sang ayah tidak menanggapi ucapannya. Ayahnya hanya diam, menunggunya memproses semua informasi dalam kepalanya. Sang ayah menatap matanya, dengan mata yang bergetar, penuh dengan rasa bersalah.

"Kau memang Choi Lisa, tapi kau putriku," ulang sang ayah, ketika putrinya tidak meresponnya. Hanya bisa menatapnya dengan raut datar, seolah marah akan kejujuran yang sang ayah ucapkan.

"Tunggu-"

"Nama Choi itu kau dapat dari Pamanmu, adik ipar ibumu," kata sang ayah sekali lagi. Meski tahu kalau putrinya belum bisa menerima informasinya sekarang. "Ketika itu, kami tidak punya pilihan. Kakekmu ingin kau dirawat Bibimu. Bibimu sangat menyukaimu, dan dia tidak bisa melahirkan anaknya sendiri. Kami berencana memberitahumu setelah kau cukup dewasa tapi kami terlambat, maaf, sayang," pelannya, dengan penuh rasa bersalah dalam suaranya.

Lisa terdiam. Kali ini cukup lama. Pelan-pelan ia tata ingatannya. Ia susun semua ingatan yang tumpang tindih dalam kepalanya, baru kemudian ia bersuara, "lalu karena aku terluka dan tidak bisa mengingat apapun, kalian menyembunyikannya? Eomma dan Jennie eonni juga sengaja merahasiakannya?"

"Maaf, sayang," jawab sang ayah. Tidak punya alasan apapun untuk membenarkan keputusannya ketika pertama kali ia tahu kalau putrinya hilang ingatan.

"Beri aku waktu sebentar," Lisa meraih pintu mobil itu sekarang. Tanpa menoleh pada ayahnya, ia mendorong pintunya lalu melangkah keluar dari sana. Gadis itu tidak pergi jauh, hanya ia tutup pintu mobil ayahnya lalu bersandar ke mobil itu dan mengatur nafasnya di luar.

Aku Choi Lisa? Aku gadis yang melompat ke jurang karena dirundung itu? Aku gadis yang merusak hidup banyak orang itu? Tapi...

Gadis itu bertanya-tanya, dalam kepalanya sendiri. Lalu ia buka lagi pintu di belakangnya. Tanpa melangkah masuk ke dalam mobil, gadis itu merunduk, lalu membuka suaranya. Bertanya pada ayahnya "kalau selama ini aku dibesarkan oleh orang lain, lalu kenapa aku tidak pernah bertemu mereka lagi?" katanya. "Mereka percaya kalau aku benar-benar mati di gunung? Seperti Jiyong oppa?" susulnya, ingin tahu. "Aku bahkan menceritakan tentang Jiyong oppa dan Choi Lisa itu padamu. Aku memberitahumu kalau aku kesal sekali karena Jiyong oppa terus merindukan Choi Lisa itu. Tapi kenapa waktu itu appa tidak mengatakan apapun padaku? Kenapa appa baru memberitahuku sekarang?" desaknya, tanpa melangkah masuk ke mobil. Tetap ia berdiri di depan pintu, tetap ia merunduk untuk melihat reaksi ayahnya.

"Karena kau tidak mengingatnya," tenang sang ayah. "Untuk apa aku mengingatkanmu pada mimpi buruk itu lagi? Kau hanya akan terluka lagi," susulnya, merasa tahu akan apa yang terbaik bagi putrinya.

"Karena itu juga appa membiarkan pelakunya tetap berkeliaran dan hidup tenang?"

"Pelaku? Ah... Anak-anak yang merundungmu? Maaf-"

"Tidak. Guru di sekolahku, orang yang memukulku lalu mendorongku ke jurang... Kenapa orang itu tidak dihukum?" potong Lisa, namun kali ini ayahnya tidak memahami apapun ocehannya. Tidak pernah ia dengar cerita tentang guru di sekolah putrinya. Selain teman-teman sekolah yang merundung putrinya, sang ayah tidak pernah mendengar apapun tentang guru sekolahnya.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang