***
"Augh! Menganggu saja!" dengan suara berbisik Jiyong mengeluhkan kedatangan tetangga barunya. Ia jadi harus membersihkan remah-remah piring keramik dan kue kering yang jatuh di depan pintunya—meski ia sendiri yang menyuruh tamu tadi pergi tanpa membersihkannya.
Lisa masih di sana, ikut berjongkok untuk membantunya membersihkan pecahan piring tadi. Tanpa mengatakan apapun gadis itu membantu Jiyong, tapi saat tangan mereka tidak sengaja bersentuhan, Lisa segera menarik tangannya. Dengan gerakannya yang kasar dan berlebihan, Jiyong tahu kalau gadis itu masih kesal. Masih salah paham atas penolakannya tadi.
Baru selesai mereka memasukan remah-remah tadi ke dalam plastik sampah, tapi tetangga sebelah kembali datang. Kali ini sang wanita yang membawa piring keramik dan kue keringnya. Bersama pria di sebelahnya, ia kembali melangkah menghampiri Jiyong. Sekali lagi si wanita meminta maaf karena sudah mengotori pintu depan rumah Jiyong. Sekali lagi juga mereka mengenalkan diri—si wanita Lee Joobin, seorang dosen baru di fakultas sastra. Sedang pria di sebelahnya, Kim Jihoon, suaminya.
"Kau Lisa, Choi Lisa, iya kan?" tanya Kim Jihoon, dengan tangan terulur ingin menyentuh bahu Lisa.
Lisa bergerak mundur, melangkah ke belakang, masuk lebih dalam rumah Jiyong. Melihat gadis itu ingin menghindari sentuhan Kim Jihoon, Jiyong bergerak menghalanginya. Tanpa mengatakan apapun, ia meraih tangan Jihoon yang terulur tadi. "Senang berkenalan dengan kalian," katanya, sembari menjabat tangan Jihoon, memeganginya agar tangan itu tidak menyentuh Lisa.
"Aku benar-benar terkejut saat melihatmu tadi, aku pikir kau hidup lagi. Sudah lama kita tidak bertemu, kau masih mengingatku, kan?" susulnya, dengan sudut bibir yang tertarik, tersenyum. Jihoon menarik tangannya sekarang, bicara sembari sesekali menunjuk Lisa di belakang. "Sayang, dia murid di sekolah pertamaku dulu," katanya, yang kali ini bicara pada istrinya.
"Aku bukan Choi Lisa," kata gadis itu, meralat ucapan Kim Jihoon. "Aku tidak mengenalmu," susulnya, seketika merasa curiga pada dua orang yang berkunjung tadi.
Diam-diam Lisa mengulurkan tangannya, meraih ujung baju Jiyong, memberi tanda agar ia segera mengusir dua tamu tidak diundang itu. Sadar kalau Lisa tidak menerima kedatangan mereka, Lee Joobin segera mengulurkan kue keringnya. Dengan senyum yang sedikit kecut, wanita itu berkata kalau ia minta maaf atas piring yang pecah sebelumnya—sekali lagi. Merasa kalau Lisa mungkin kesal karena mereka memecahkan piring di depan pintunya.
Tapi Kim Jihoon tetap tersenyum, terus menatap Lisa dengan senyum lebarnya seolah pria itu benar-benar mengenal Lisa. Aku tahu kau berbohong—begitu yang Jihoon gambarkan lewat tatapannya. Tidak sampai lima menit, dua tetangga baru itu akhirnya pergi. Kini Jiyong membawa masuk sampah pecahan piring tadi, juga sepiring kue kering baru. Pria itu melangkah ke dapur, membuang sampahnya juga meletakan kue kering itu di sana. Sedang Lisa kembali ke sofa, duduk sana, menengguk kopinya lalu terkejut karena panas kopinya.
Jiyong memperhatikannya, ia beri juga gadis itu sebotol air mineral. Terus melihat ke arah Lisa, menebak-nebak akan kah Lisa mengingat Kim Jihoon tadi. Penasaran tentang apa yang ada di pikiran Lisa sekarang, serta khawatir karena Lisa terus bertemu dengan orang-orang dari masa lalunya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Jiyong, yang kini bergabung di sofa, duduk tepat di sebelah Lisa setelah memberinya sebotol air mineral.
"Tidak," balasnya. Sengaja menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa, meremas tangannya sendiri. Seolah tengah menahan bom yang akan meledak dalam kepalanya. Sebuah bom yang bahkan tidak ia ketahui jenisnya, juga alasannya datang.
Tanpa tahu alasannya, Lisa merasa luar biasa buruk sekarang. Sepanjang sore ini, semua terasa seperti tengah memusuhinya. Isi kepalanya terus bergerak, memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak ada di sana. Banyak skenario berputar di sana, tapi semua adegannya terasa menyebalkan. Sama sekali tidak membuatnya senang. Semua adegannya justru membuat gadis itu merasa bodoh. Semua pikirannya justru membuat ia mengasihani dirinya sendiri, membuatnya merasa luar biasa menyedihkan.
"Tadi sore, Jiyong oppa memelukku karena dia merindukan Choi Lisa. Tadi sore, pria bajingan itu terlihat sakit karena ia memikirkan Choi Lisa. Aku yang bodoh, karena salah menilainya. Aku yang payah, karena mengira ia menyukaiku. Semua yang ia lakukan bersamaku, hanya terjadi karena ia menganggapku sebagai Choi Lisa. Aku yang salah paham," pikir Lisa, terus mengulang-ulang bagian paling memalukan dalam ingatannya—saat ia mencium Jiyong tadi, karena berfikir pria itu menyukainya.
Lama gadis itu terdiam. Terlalu lemas untuk memperbaiki kesalahannya. Ia bisa saja pergi dari sana, karena terlalu malu untuk tetap duduk di sebelah Kwon Jiyong. Ia bisa saja meninggalkan pria itu, karena enggan menunjukan raut penyesalan di wajahnya. Tapi tubuhnya tidak bisa diajak bekerja sama. Siapa tahu, kalau aku tetap di sini, laki-laki berengsek ini akan berubah pikiran? Siapa tahu, kalau kami bicara sedikit lagi, dia jadi menyukaiku—meski tidak ingin mengakuinya, ia tetap mengharapkannya. Tetap berharap kalau skenario dalam kepalanya ternyata salah. Berharap kalau ia hanya salah paham sekarang.
"Pria di sebelah tadi-"
"Tidak tahu," sela Lisa. "Aku tidak mengenalnya. Sudah berapa kali aku bilang? Aku bukan Choi Lisa. Aku sudah sangat kesal sekarang, oppa harus membuatku jadi semakin kesal lagi? Kalau memang begitu... Lebih baik aku pulang saja," katanya.
Lisa akan bangkit. Seperti yang ia katakan, dirinya akan pergi sekarang. Tapi belum sempat gadis itu melangkah pergi, Jiyong sudah lebih dulu meraih tangannya. Memegangi pergelangan tangannya lalu menggeleng, melarang gadis itu untuk pergi. Meminta untuk tetap tinggal dan kembali duduk di sebelahnya.
"Aku bertemu Choi Lisa," Jiyong akhirnya mengaku. Masih dengan sebelah tangannya yang memegangi tangan lawan bicaranya. Ia mendongak sekarang, menatap pada Lisa yang tidak merubah ekspresinya. Masih menebak-nebak apa yang tengah Jiyong katakan. "Sudah lama aku tidak melihatnya, tapi hari ini aku melihatnya," katanya, disusul beberapa helaan nafas yang terdengar tidak menyenangkan. Terdengar menyedihkan, kedengaran sangat berat. "Dia terus berada di sekitarku. Terus melihatku, terus menatapku. Dia kelihatan marah sekarang. Dia juga kelihatan sedih. Aku terus melihatnya," akunya sembari terus menatap gadis yang berdiri di depannya. Terus melihat ke arah Lisa, berharap gadis itu bisa menerima sedikit petunjuk darinya. Berharap Lisa akan memahami petunjuk yang ia berikan.
Tapi Lisa tidak memahaminya. Lisa tidak menerima petunjuk itu. "Mau aku bantu mencari psikiater?" tawarnya. "Aku bisa menemanimu ke rumah sakit," susulnya, yang sekarang kembali duduk, melihat iba para pria yang menurutnya sakit itu. Halusinasi yang Jiyong alami sepertinya jadi semakin parah sekarang—nilai Lisa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle
FanfictionBagai potongan puzzle yang diciptakan untuk satu sama lain, mereka bertemu. Pertemuan yang tidak mereka duga sebelumnya. Berdampingan, bersebelahan mereka dalam kotak takdir itu. Ia isi kekosongan seorang di sebelahnya, melengkapinya, membuat sebuah...