15

175 34 1
                                    

***

"Aku tidak sengaja mendengarnya dari Karina," Lisa mengaku. "Katanya, kau mungkin mendekatiku karena namaku sama seperti nama gadis yang meninggal itu," susulnya, pelan tapi masih bisa di dengar lawan bicaranya.

Mereka berjalan sekarang, keluar dari mobil yang terparkir di tepi jalan, di kedai kopi yang sudah tutup. Ada beberapa cafe yang masih buka di sekitar sana, ada juga beberapa restoran dan minimarket, tapi mereka belum menentukan kemana tujuan mereka. Mereka terus berjalan di sana, di atas trotoar yang diterangi lampu jalan.

"Namanya Choi Lisa," Jiyong memberitahu gadis di sebelahnya tentang perempuan yang selama ini menghantuinya. "Dia masih kelas dua belas waktu itu. Rambutnya panjang, sangat cantik," katanya, menggambarkan gadis yang selalu muncul dalam halusinasinya. Bahkan sekarang, saat Lalisa si pengurus asrama ada di sebelahnya, Choi Lisa pun berdiri di depannya.

Dengan seragam sekolahnya, juga ranselnya, gadis itu berdiri di depannya. Saat Jiyong bergerak maju, bayangan Choi Lisa pergi ke belakang, seolah menjauhinya. Ketidak sukaan tergambar jelas dalam wajah gadis berseragam itu. Sesekali ia menatap Jiyong, lalu disaat lainnya ia menoleh melihat pada Lisa. Jiyong bisa melihatnya, hanya Jiyong yang bisa melihatnya—gadis yang menghantuinya itu.

"Setiap pagi dia lewat di depan rumah kakakku. Setiap hari, sebelum berangkat sekolah, dia akan berdiri di depan rumah kakakku. Menungguku keluar, lalu pergi setelah menyapaku. Dia terlihat seperti anak-anak bagiku. Padahal waktu itu aku juga belum seberapa tua. Itu tahun-tahun terakhir kuliahku. Aku sedang menyusun tugas akhirku waktu itu. Di akhir pekan, dia juga datang. Aku lebih suka melihatnya di akhir pekan, tanpa seragam. Dia lebih cantik tanpa seragam," cerita Jiyong, ingin menggambarkan bagaimana rupa gadis yang menghantuinya itu, meski ia kesulitan melakukannya. Tidak bisa ia temukan kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana Choi Lisa di matanya. Sebab semua gambaran itu, pada akhirnya akan berakhir dalam satu kesimpulan—dia terlihat persis sepertimu.

"Kami harusnya bertemu di sini malam itu," Jiyong berkata lagi sementara lawan bicaranya hanya diam, "di kedai kopi itu," ucapnya sembari menunjuk ke belakang, dengan ibu jarinya tanpa menoleh, memberitahu Lisa alasan mereka berada di sana sekarang. "Dia pergi untuk lokakarya, tapi sebelum berangkat, dia mengajakku untuk bertemu di sana, sepulangnya dari lokakarya itu," cerita Jiyong.

"Itu hari kalian berkencan?" tebak Lisa namun Jiyong menundukkan kepalanya, menahan sesak juga tenggorokan yang tercekat.

"Aku tidak datang, malam itu," katanya. "Dia menyukaiku, dia bilang dia menyukaiku. Tapi saat itu aku sudah mengencani gadis lain. Aku sempat berfikir untuk datang dan memberitahunya, kalau aku tidak bisa membalas perasaannya. Tapi Karina sendirian di rumah, waktu itu juga hujan, jadi aku memutuskan untuk tidak pergi menemuinya," cerita Jiyong, masih dengan batu yang menyumbat jalur nafasnya.

Lisa tidak berkomentar. Kepalanya membuat sebuah cerita sekarang. Gadis yang namanya sama seperti miliknya itu mungkin memutuskan untuk pergi karena Jiyong menolaknya, karena Jiyong tidak datang menemuinya—Lisa beranggapan begitu.

"Aku memutuskan untuk tidak pergi, lalu setelahnya, setelah beberapa jam hujan jadi semakin deras, saat malam jadi semakin larut, kakakku datang. Dia memberitahuku, kalau gadis itu sudah pergi. Ia meninggalkan selembar surat untuk orangtuanya, kemudian melompat ke jurang," kata Jiyong.

Sekarang Lisa membayangkannya, seorang yang bernama sepertinya menangis sembari pergi ke gunung. Di bawah hujan gadis itu mendaki. Dalam kepalanya, Lisa membayangkan bagaimana gadis itu berjalan. Rambutnya pasti basah, pakaiannya basah dan ia mendaki dalam gelap dengan hati yang hancur berantakan. Sangat menyedihkan, bahkan bagi si pengurus asrama.

"Dia pasti kesulitan," komentar Lisa, membuat Jiyong menoleh padanya. Ingin mendengar lebih banyak bagaimana reaksi gadis itu sekarang. "Aku salah bicara? Maaf. Oppa juga pasti kesulitan setelah dia pergi seperti itu," susulnya, persis seperti seorang yang tengah membicarakan orang lain.

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang