21

213 42 5
                                    

***

Kalau sebelumnya Jiyong yang membawa Lisa ke rumah kakaknya, hari ini selesai makan malam Lisa yang mengajak Jiyong pergi ke rumahnya. Mereka berkendara setelah makan, perjalanannya tidak seberapa jauh dari asrama, namun pria itu merasa sangat canggung di sepanjang perjalanannya. Tenggorokannya tercekat, ingin ia katakan banyak hal, ingin ia perbaiki hubungan yang renggang selama beberapa minggu terakhir ini. Tapi tidak satu pun kata bisa ia lontarkan.

Mobil dihentikan di depan sebuah rumah sekarang. Rumah dua lantai dengan gudang kecil di bagian atapnya. Dari luar rumahnya terlihat sangat biasa, seperti rumah-rumah keluarga menengah pada umumnya. Saat diajak masuk, halaman rumahnya rapi, sangat rapi hingga Jiyong penasaran berapa keluarga ini membayar tukang kebun mereka.

Rerumputannya tumbuh sempurna, tidak terlalu pendek tapi tidak juga terlalu tinggi. Beberapa bonsai dipajang di tengah-tengah halamannya. Ada juga beberapa pot bunga dengan kelopak warna-warni mereka. Halaman itu tidak terlalu luas, tapi terlihat manis dengan semua pernak-perniknya.

"Ibuku yang merawatnya," Lisa menjawab rasa penasaran itu. Sengaja berhenti di tengah-tengah halaman, di atas jalan setapak dari bebatuan halus. "Setelah pensiun dia alih profesi jadi tukang kebun dan fotografer, freelance," susulnya.

"Orangtuamu ada di rumah?" tanya Jiyong, masih sembari melihat sekeliling kebun cantik itu.

"Kenapa? Oppa berharap mereka tidak di rumah?" Lisa balas bertanya, namun Jiyong tidak langsung menjawabnya. Ditanyai begitu, ia jadi merasa sedikit buruk. Merasa kalau dirinya terdengar mengerikan sekarang.

"Tidak," pelannya kemudian. Masih belum tahu jawaban apa yang ingin Lisa dengar. "Aku ingin bertemu dengan mereka, kalau mereka ada di rumah," susulnya, terdengar sedikit ragu, mencari-cari jawaban yang tepat pada raut wajah lawan bicaranya sekarang. Ia benar-benar ingin memperbaiki keadaan di antara mereka sekarang.

"Kenapa oppa ingin bertemu dengan mereka? Oppa ingin memastikan kalau orangtuaku bukan orangtuanya Choi Lisa?"

"Lisa-ya, aku minta maaf. Aku benar-benar minta-"

"Tidak ada," sela gadis itu.

Ia melangkah lebih dulu. Berjalan ke arah pintu utama rumahnya, menekan beberapa tombol di kuncinya lalu membuka pintu itu. Lisa melangkah masuk ke dalam rumahnya, tapi tetap ia biarkan pintu rumah itu terbuka, agar Jiyong bisa mengekor di belakangnya.

"Orangtuaku tidak ada di rumah," kata gadis itu setelah menyalakan beberapa lampu di dalam rumah itu. "Ibuku pergi memotret di resepsi pernikahan saudara jauhku, di luar kota. Ayahku dan Jennie eonni pergi bersamanya," susulnya.

"Saudaramu menikah? Tapi kenapa kau masih di sini? Kau tidak datang ke acaranya?" tanya Jiyong, kali ini masih menatap gadis yang ia ikuti. Berdiri di tengah-tengah ruang tamu sampai Lisa mempersilahkannya untuk duduk.

"Aneh ya? Kenapa aku ditinggal di rumah sendirian padahal sepupuku menikah?" gadis itu balas bertanya, tapi sambil ia langkahkan kakinya untuk mengambil minuman di lemari es. Di dapur yang tidak jauh dari sana, tidak ada pembatas apapun antara ruang tamu, ruang makan dan dapurnya. Hanya ada jarak yang cukup untuk memisahkan ketiganya. "Tapi sedari dulu memang begitu. Aku tidak pernah ikut ke acara keluarga. Acara keluarga terlalu melelahkan, biasanya aku sakit setelah pulang dari sana," katanya lalu mengulurkan sebotol cola dingin pada Jiyong.

Mereka duduk di ruang tamu setelahnya. Dengan semua lampu yang sengaja Lisa nyalakan. Gadis itu pun menyalakan TV di depan mereka, memastikan ada cukup suara untuk mencegah rasa canggung di antara mereka. Tapi begitu duduk, hampir tidak ada obrolan di antara mereka. Rasanya tetap canggung, sebab keduanya masih belum bisa melupakan pembicaraan tentang Choi Lisa tempo hari.

Lama keduanya membisu, sampai Jiyong membuka lebih dulu pembicaraan mereka. Dengan tenang, sangat berhati-hati, Jiyong bertanya alasan Lisa mengajaknya ke sana. Lalu gadis itu akui, kalau beberapa jam lalu baru ia temui teman lama Choi Lisa. "Aku menemuinya dan rasanya tidak menyenangkan," kata gadis itu, dengan tatapan kosongnya pada layar TV di depan mereka.

"Setelah bertemu dengan Lee Seo, aku yakin sekali kalau aku bukan gadis itu," katanya ditengah-tengah obrolan mereka. "Kami sangat berbeda, tapi... rasanya tidak menyenangkan, setelah mengetahui tentangnya," tambahnya.

Lisa kemudian mengulurkan tangannya, menunjuk pada dinding di sebelah kanan mereka. Dinding yang menyimpan banyak sekali kenanga. Dinding yang penuh dengan potret-potret dua gadis kecil. "Semua foto sedari aku lahir sampai sekarang, ada di sana. Ibuku yang memotretnya," katanya. "Lihat lah, oppa akan tahu kalau semua foto itu asli, bukan editan," suruh gadis itu dan Jiyong bangkit untuk melihatnya.

Dari potret sepasang bayi kembar yang berbagi tempat tidur, foto dua anak perempuan yang bermain di halaman, foto dua remaja dengan buket bunga mereka, sampai foto dua wanita cantik dengan gaun malam mereka. Semua foto itu ada di sana, terpaku kuat di dinding dengan ikatan bangkai-bangkai cantiknya. Jiyong memperhatikan satu persatu fotonya, lalu tanpa sadar ia usap foto Lisa dengan buket bunga di tangannya.

Dalam foto yang Jiyong sentuh, rambut coklat Lisa terlihat sangat cantik, panjang dan halus seperti bagaimana ia mengingat Choi Lisa dalam mimpi buruknya. Tubuh yang ramping dalam foto itu di balut dalam celana jeans juga blouse putihnya. Jiyong memperhatikan detail cantik dalam foto itu, merasa kalau dirinya baru saja melihat kembali Choi Lisa yang nyata di depannya.

"Dia tidak meninggal karenamu," Lisa berkata. Seolah tidak melihat kalau Jiyong sedang memandangi fotonya sekarang. Seolah tidak tahu kalau pria itu tengah membelai wajahnya di foto itu. Fotonya yang terlihat persis seperti gadis dalam ingatannya. "Dia tidak pernah datang ke kedai kopi tempat kalian harusnya bertemu. Tidak, dia tidak bisa datang ke sana. Dia melakukannya di malam terakhir lokakaryanya. Pagi saat hari terakhir lokakarya itu, hari saat kalian harusnya bertemu, orang-orang sedang mencarinya. Karena itu, meskipun malam itu oppa datang ke kedai kopi, kalian tidak akan bertemu. Dia tidak melakukannya karenamu, dia tidak mengambil keputusannya itu karena oppa menolaknya," kata Lisa, memberitahu semua yang ia dengar dari Lee Seo tadi.

"Aku tahu," pelan Jiyong, tanpa berbalik. Masih terus berdiri di sana, terus memandangi foto yang sedari lama ada di sana.

"Oppa tahu? Ah... Waktu itu aku salah paham? Aku pikir dia naik ke gunung setelah oppa menolaknya," pelan Lisa, sedikit malu. "Tapi, kalau oppa mengetahuinya, kenapa oppa merasa bersalah? Kau tidak melakukan kesalahan apapun. Dia tidak mengambil keputusan itu karenamu. Dia melakukannya karena tidak tahan dengan perlakuan teman-temannya," susulnya, sangat ingin mendengar jawaban Jiyong.

"Kalau aku membalas perasaannya, kalau aku memperlakukannya dengan sedikit lebih baik, mungkin dia tidak akan mengambil jalan yang itu. Mungkin dia bisa bertahan," kata Jiyong, langsung menjawab pertanyaan itu seolah dirinya telah dari lama memikirkannya.

Lisa sempat terdiam. Sadar kalau orang yang tinggalkan mendiang memang selalu merasa begitu. Bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika mereka melakukan hal yang berbeda.

"Tidak bisakah kau melakukannya padaku saja sekarang?" tanya gadis itu setelah mendengar jawabannya.

"Hm?" kali ini pria itu menoleh, ingin melihat bagaimana reaksi Lisa saat mengutarakan pertanyaannya itu.

"Perlakuan aku dengan baik. Bukan hanya melihatku sebagai Choi Lisa, atau pengganti Choi Lisa, tapi perlakukan aku dengan baik," katanya, mengulang permintaannya tadi.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang