10

243 41 4
                                    

***

Jiyong mengecek nomor telepon itu di handphonenya. Sebuah nama muncul di sana, tapi bukan nama seorang dosen yang ada di sana. "Dia bilang dia dosen?" tanya Jiyong, sebelum memberitahu Lisa nama siapa yang muncul di handphonenya.

"Hm... Dosen gitar," angguk gadis itu. "Aku bertemu dengannya minggu lalu, di club," susulnya. "Kenapa? Dia tidak ada di kampus?" katanya, balas bertanya.

"Ada," angguk Jiyong. "Dia asisten praktikum gitar," susulnya.

"Ah... Mahasiswa? Bukan dosen?"

"Mahasiswa magister, aku tidak mengenalnya secara pribadi," jawab Jiyong. "Datang saja, ke praktikumnya hari Senin besok, dia bisa mengajarimu main gitar," susulnya.

"Aku bisa main gitar," santai Lisa. "Dan hari Senin aku harus bekerja," katanya. "Hanya penasaran, dia dosen sungguhan atau bukan. Biasanya, dosen sungguhan tidak akan mengaku dia dosen pada kenalannya di club."

"Kenapa?"

"Mungkin malu? Karena ada banyak mahasiswanya di sana? Bagaimana aku bisa tahu? Aku bukan dosen," kata gadis itu.

Mereka berbincang siang ini. Jiyong tetap berada di sana bahkan setelah air mineralnya habis. Lisa menerima keberadaannya di sana, tidak menyuruhnya pergi, dan justru sesekali memberinya camilan. Ada banyak pelanggan hari ini, keberadaan Jiyong cukup membantu di sana. Meski tidak bisa memakai mesin kasir, pria itu bisa membuang sampah dan merapikan meja. Saat stok baru datang Jiyong juga bisa membantu gadis itu mengisi ulang rak-rak barang dagangannya.

"Kau benar-benar tidak sibuk hari ini?" heran Lisa, sebab Jiyong hampir setengah hari berada di sana. Sejak siang tadi, sampai sore ini.

"Tidak," santai Jiyong. Mulai ahli mengendalikan rasa gugup juga canggungnya. Pelan-pelan percaya kalau gadis di depannya berbeda dengan gadis yang menghantuinya. "Karina juga sibuk hari ini. Aku mengajaknya pulang ke rumah orangtuanya tapi dia menolak, dia justru pergi ke bioskop dengan teman-temannya," cerita pria itu.

Sore datang begitu juga dengan pegawai paruh waktunya. Seorang pria datang dengan sepeda motornya. Memarkir sepeda motor itu di depan minimarket kemudian melangkah masuk ke dalam dan bertukar posisi dengan Lisa. Membuat Lisa bisa keluar dari meja kasirnya sekarang.

Tapi alih-alih pergi, gadis itu justru membawa sebotol airnya, lantas duduk tepat di sebelah Jiyong. Kembali memulai pembicaraan seolah ada ratusan topik yang perlu mereka diskusikan. Tidak ada pembicaraan yang spesial, tidak ada juga sesuatu yang penting. Sembari menatap keluar dinding kaca, mereka terus berbincang.

"Mau pergi menonton film juga? Film apa yang Karina tonton?" Lisa bertanya, sembari menoleh pada pria yang ada di sebelahnya.

Sebuah pertanyaan sederhana yang akhirnya mendekatkan mereka. Tiba di bioskop, mereka memilih film yang sama. Di sengaja atau tidak, selera film mereka ternyata sama. Sejak sore itu, keduanya jadi lebih sering pergi bersama, pergi ke bioskop juga menonton pertunjukan teatrikal.

Ada terlalu banyak waktu yang mereka habiskan bersama, meski sebagian besarnya hanya membicarakan hal-hal sepele di jalan. Satu hari, satu minggu, berganti bulan hingga akhirnya Jennie penasaran—ini kali pertama kau bermain dengan pria yang sama lebih dari tiga bulan. Apa bedanya ia dengan pria lainnya?—begitu katanya, dengan setumpuk rasa ingin tahunya.

"Uhm... apa bedanya? Kami tidak bertemu di bar atau night club?" jawab Lisa, tidak benar-benar tahu jawaban apa yang kakaknya itu inginkan. "Tapi dia memang berbeda. Biasanya, pria yang mendekatiku akan menyatakan perasaan mereka di bulan pertama, itu yang paling lama. Tapi dia tidak melakukannya. Dia tidak bertingkah seolah akan mengajakku berkencan," ceritanya, di dalam kamarnya di gedung asrama.

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang