***
Mereka berkendara malam ini. Lisa bertanya kemana mereka akan pergi, tapi Jiyong tidak menjawabnya. Bukan karena ia tidak tahu kemana mereka akan pergi, tapi karena ia ragu untuk membicarakannya. "Apa kau mahasiswa berprestasi?" tanya Jiyong, tiba-tiba membuat Lisa menoleh dengan dahi berkerut.
"Ini tebak-tebakan?" tanya gadis itu, yang terus bergerak resah di kursinya.
Lisa memakai sebuah rok pendek dengan kaus tanpa lengan dan blazer yang hanya sebatas perutnya. Saat berangkat dan pulang tadi ia memilih taksi dengan supir perempuan, tapi sekarang gadis itu terlihat sangat tidak nyaman. Roknya jadi terlalu pendek ketika dipakai duduk, ia bisa menutup kakinya dengan blazer, tapi terlalu malas melepaskan seat belt dan blazernya sekarang. Terlebih karena Jiyong terus meliriknya. Mencuri-curi kesempatan untuk melihat ke arahnya.
Dalam perjalanan itu, Lisa mulai merasa ragu—apa pria ini menyukaiku? Apa sekarang ia akan menunjukan dirinya yang sebenarnya? Apa dia seperti pria kebanyakan?—berbagai pertanyaan muncul dalam benaknya. Membuatnya sedikit menyesal karena meninggalkan tempat bermainnya dan masuk ke dalam mobil itu.
Sadar kalau Lisa merasa kurang nyaman, Jiyong akhirnya menepikan mobilnya. Sialnya, pria itu menepi di jalanan sepi dekat persimpangan kosong. Ada gedung-gedung di sekitaran persimpangan itu, namun sebagian besar gedungnya kelihatan kosong. Terlihat sepi. Lisa jadi semakin waspada sekarang, ia masukan tangannya ke dalam tasnya, meraih sebotol semprotan merica yang selalu ia bawa dalam tas kecil itu. Lisa bisa saja lupa membawa parfum atau lipstiknya, tapi ia tidak pernah meninggalkan semprotan merica itu. Pengalaman membuatnya semakin siaga.
Begitu mobil berhenti dan lampu hazard dinyalakan, Lisa meraih ujung seat beltnya, buru-buru melepaskan seat beltnya, membuat Jiyong langsung menoleh. "Kenapa?" tanya pria itu, sedikit bingung melihat sikap gadis di sebelahnya. Gadis yang sampai beberapa hari lalu terlihat sangat santai bersamanya.
"Kenapa kita berhenti di sini?" tanya gadis itu, tanpa menurunkan status siaganya. Ia bisa menyemprot Jiyong begitu pria itu menyentuhnya.
"Aku perlu mengambil selimut di belakang," polos Jiyong, lalu turun dari mobilnya. Tentu berhati-hati sebab tidak ingin pintu mobilnya ditabrak mobil lain.
Ia pergi ke bagasi mobilnya, membuka bagasi itu dan kembali dengan sebuah kemeja. Warnanya abu-abu, kainnya tipis tapi halus dan tidak tembus pandang. Ia memberikan kemeja yang masih rapi terlipat itu pada Lisa, berkata kalau tidak ada selimut di bagasinya. Tidak ada selimut diantara setumpuk pakaian yang ia ambil dari binatu beberapa hari lalu.
"Kau hanya mengambil ini di belakang?" tanya Lisa, meski sedari tadi ia sudah mengintip, memperhatikan Jiyong dari tempatnya duduk. Sekarang gadis itu sedikit menyesal—harusnya ia turun dan melihat sendiri apa yang Jiyong lakukan di belakang. Rasa curiga membuat gadis itu bertanya-tanya, bagaimana kalau Jiyong punya narkoba di bagasi? Bagaimana kalau ia menyiapkan obat tidur di sana?
"Hm," pria itu mengangguk, akan kembali menyetir setelah menutup pintu mobilnya namun Lisa justru mengembalikan kemejanya. Gadis itu menyuruh Jiyong mencium kemejanya, karena kalau Jiyong menyemprotkan obat tidur di kemeja itu, Jiyong yang akan lebih dulu terlelap. "Kenapa? Ini baru dicuci, aku baru mengambilnya dari binatu," Jiyong bertanya, menciumi kemejanya, berfikir kalau Lisa sedang meragukan kebersihannya. Mungkin Lisa berfikir kalau ia tidak mencuci pakaiannya—Jiyong beranggapan begitu.
"Kemana kita akan pergi? Kau tidak bermaksud jahat kan?" tanya Lisa, yang sekarang punya kemeja abu-abu untuk menutupi kakinya, pahanya.
"Kau takut aku akan menjahatimu?" balas Jiyong dan Lisa mengangguk, mengatakan kalau ia punya pisau jika Jiyong nekat malam ini. "Whoa... Aku tidak bisa berkata-kata lagi," komentar Jiyong kemudian. "Aku hanya ingin mengajakmu ke kedai kopi yang sering aku kunjungi. Aku tidak punya niat jahat apapun padamu. Aku bahkan tidak pernah memikirkannya. Sedari tadi kau bergerak di kursimu karena khawatir aku akan melukaimu? Melecehkanmu? Atau membunuhmu? Kau takut aku akan membunuhmu?" katanya, menebak-nebak isi kepala gadis di sebelahnya itu.
"Kau tidak akan melakukannya?"
"Tentu saja tidak!" seru Jiyong. "Untuk apa aku melakukannya?" herannya, lantas menawarkan diri untuk mengantar Lisa pulang kalau gadis itu ragu untuk pergi bersamanya.
"Kalau begitu, kenapa sedari tadi oppa terus melirikku? Kenapa kau tidak mengatakan apapun dan terus melirikku?" tanya gadis itu, tidak menolak tawaran Jiyong untuk diantar pulang, tapi tidak juga menerimanya.
Lagi-lagi Jiyong terdiam sekarang. Hanya ada suara beberapa mobil yang lewat, juga denting lampu hazard yang terdengar. Lisa kembali mengulang pertanyaannya, dengan nada yang lebih mendesak, namun Jiyong tetap diam. Sedang mencari-cari alasan untuk menghindari pertanyaan itu. Kau mirip sekali dengan gadis yang menghantuiku, aku percaya kalian orang yang sama, aku merasa begitu tapi tidak ada apapun yang bisa membuktikannya. Tidak ada alasan yang cukup bagus untuk menghubungkan plot ceritanya—Jiyong tidak bisa berkata begitu sekarang.
"Sebentar lagi kita sampai," pria itu berucap, tetap mengemudi lurus meski mobilnya sudah beberapa kali melewati persimpangan.
"Kemana? Kenapa jauh sekali?" heran Lisa. "Kalau hanya kedai kopi, di dekat kampus pun banyak," susulnya dan mereka tiba di kedai kopi dekat Universitas Y, saat hari sudah hampir tengah malam. "Kita akan ke sini?" tanya gadis itu, sembari menoleh ke sebelah, melihat kedai kopi yang ada di sana. "Tempatnya sudah tutup," tambahnya, menunjuk kedai kopi yang ada di sebelahnya.
"Kau tidak pernah ke sini?"
"Tempat apa ini? Aku tidak pernah ke sini," geleng Lisa, tetap melihat ke sekeliling meski tidak ada apapun di sana. Tidak ada yang berbeda, dari lingkungan di sekitar tempat tinggal gadis itu. Tidak ada yang kelihatan spesial di sana.
"Kalau lurus lagi, mungkin tiga belas sampai empat belas kilometer, kita akan sampai di kampus Y. Belok ke kanan di sebelah sana, sekitar delapan kilometer dari sini, ada rumahnya Karina," jawab Jiyong. "Lalu tidak jauh dari sini ada sekolah menengah, khusus putri," tambahnya, menunjuk sebuah bangunan tinggi yang ada di belakang sederet pertokoan. "Di belakang sana juga ada gunung. Tidak jauh, hanya sekitar lima belas kilometer," ocehnya, seolah tidak sadar kalau Lisa kebingungan sekarang.
"Lalu?"
"Kau tidak pernah ke sini?"
"Tidak. Aku bahkan tidak datang saat kakakku wisuda. Aku tidak pernah pergi ke kampus Y," gadis itu keheranan.
"Kau mungkin melupakannya-"
"Aku bukan Lisa yang ada dalam ingatanmu, oppa," potong gadis itu. Langsung menusuk Jiyong tepat di dadanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle
FanfictionBagai potongan puzzle yang diciptakan untuk satu sama lain, mereka bertemu. Pertemuan yang tidak mereka duga sebelumnya. Berdampingan, bersebelahan mereka dalam kotak takdir itu. Ia isi kekosongan seorang di sebelahnya, melengkapinya, membuat sebuah...