18

181 38 5
                                    

***

"Maaf aku terlambat," kata Lisa, yang akhirnya tiba di asrama, di ruang administrasi tempatnya bekerja di pukul 11 siang.

"Tidak jadi membolos?" tanya Okvin, si kepala asrama yang semalam sempat Lisa hubungi. Lisa sempat memberitahu Okvin, kalau ia akan bolos bekerja hari ini, karena masih terjebak dengan Jiyong di rumah kakak pria itu. "Kau sudah menemukan apa yang kau cari?" susulnya penasaran.

"Tidak jadi, aku tidak jadi bolos, tidak juga mencari apapun lagi," geleng Lisa lalu duduk di meja kerjanya.

Jennie juga Jisoo yang ada di meja masing-masing meliriknya, namun gadis itu memilih untuk tidak mengatakan apapun. "Baiklah, karena kau di sini ada beberapa keluhan kalau shower airnya mati," Okvin bilang begitu.

"Aku akan mengeceknya," jawab Lisa, langsung berdiri meski belum sempat duduk lama. Gadis itu sekarang keluar dari ruang administrasi, pergi ke tangga darurat akan naik ke lantai dua dan menyelesaikan tugasnya.

Sebenarnya Lisa hanya perlu mengecek shower mana yang rusak, lalu menelepon seseorang untuk memperbaikinya. Namun hari ini, untuk mengeluarkan emosi yang tertahan dalam dirinya, gadis itu memilih untuk melakukannya sendiri. Sepanjang hari, ia terus bergerak, pergi memperbaiki sesuatu, juga merapikan sesuatu.

Sejak pagi tadi, ia berhenti bicara dengan Jiyong. Gadis itu benar-benar mengabaikannya, bahkan saat Jiyong memperkenalkannya pada kakaknya. Lisa hanya bicara pada kakak juga kakak ipar pria itu. Sama sekali tidak menanggapi ucapan Jiyong, bahkan dalam perjalan ke asrama sekalipun.

Sampai pada malam harinya, Lisa akhirnya berbaring setelah mandi. Gadis itu akan pergi tidur sekarang, setelah merasa luar biasa lelah sepanjang hari ini. Kemarin ia sudah kurang tidur karena Jiyong, malam ini gadis itu berencana untuk tidur lebih awal. Tapi Jennie justru mampir, masuk ke dalam kamarnya kemudian duduk di atas kursi riasnya, memandanginya.

"Sesuatu terjadi hari ini?" tanya Jennie, menyadari perubahan suasana hati adiknya itu.

"Hm," tanpa ragu Lisa menganggukan kepalanya.

Lisa memberitahu Jennie semua yang terjadi kemarin. Ia beritahu kakaknya itu kalau ada seorang gadis yang mirip sekali dengannya. Ia beritahu juga kalau Jiyong kecewa karena ia hanya mirip dengan gadis itu. Jiyong kecewa karena Lisa bukan gadis itu.

Pada awalnya, Jennie hanya mendengarkan cerita itu dengan tenang. "Jadi dia kecewa karena kau ternyata bukan mantan pacarnya?" tanya Jennie dan Lisa mengangguk. "Augh! Bajingan. Kalau begitu jangan dekat-dekat dengannya lagi. Seperti tidak ada pria lain saja," komentarnya. Mengatai Jiyong berengsek karena mencari wanita lain dalam diri adiknya.

Sang adik menyetujuinya. Mengatakan kalau ia juga kesal karena diperlakukan begitu. Mengatakan kalau ia tidak akan menemui Jiyong lagi setelah diperlakukan begitu. "Dia pikir aku pengganti mantan pacarnya? Menyebalkan! Padahal aku juga tidak menyukainya. Dia pikir aku akan memohon padanya? Berusaha jadi seperti mantan pacarnya itu? Kurang ajar," sebal Lisa, tidak jadi pergi tidur karena terus mengobrol dengan kakaknya.

Mereka terus mengatai Jiyong. Terus menyalahkan sikap pria itu. Menghinanya bahkan mengutuknya, seperti yang dilakukan kebanyakan orang. Obrolan itu berlangsung lama, sampai Jennie bergabung dengan Lisa di ranjang, duduk di depan gadis itu, bersila sembari menguyah camilannya.

Jennie baru membeku setelah ia lontarkan pertanyaannya, "memang seperti apa mantan pacarnya itu? Semirip apa kalian?" katanya, penasaran tapi punya maksud untuk membela adiknya.

Karena pertanyaan itu, Lisa menunjukan foto si anak sekolah. "Namanya Choi Lisa, tinggal di sekitaran kampus Y, bunuh diri di gunung karena bajingan itu menolaknya," lapor Lisa, sukses membuat Jennie tidak lagi bergerak.

"Tapi eonni, kami benar-benar mirip, iya kan? Dia seperti aku saat masih sekolah dulu, kau juga merasa begitu kan? Sepertinya doppelgänger benar-benar ada," kata Lisa, sementara Jennie tetap diam.

"Eonni?" Lisa bicara sekali lagi, menegur Jennie sebab gadis itu tetap diam di tempatnya.

"Ah? Ya? Tidak," geleng Jennie, buru-buru mengembalikan handphone adiknya itu. "Kalian tidak mirip, kau tidak pernah terlihat seperti ini," gadis itu berusaha meyakinkan adiknya, tapi rasanya ia akan mulai salah bicara kalau tetap berada di sana.

Maka dari itu, Jennie bergegas bangkit dari duduknya. "Aku tidak jadi menginap," kata gadis itu sembari membersihkan remah-remah makanannya. "Aku baru ingat kalau aku punya janji dengan Ian malam ini," susulnya, sengaja membuat-buat alasan. "Temanmu itu luar biasa. Dia menyenangkan sekali," katanya, mencari-cari topik singkat lainnya agar Lisa tidak lagi menanyakan gadis di foto tadi. Agar Lisa melupakan gadis yang dibilang mirip dengannya itu.

"Apa yang luar biasa dari Ian? Dia biasa saja," balas Lisa, masuk dalam lubang obrolan yang Jennie buat.

"Itu, kau pasti tahu, bagian itu," balas sang kakak, sembari sibuk merapikan dirinya. Menata rambut yang sebelumnya ia ikat asal-asalan, memakai lagi blazernya lalu meraih tasnya.

"Kalian sudah tidur bersama? Whoa... Eonni! Aku tidak mau tahu!" tolak Lisa, tentu sembari menutup telinganya sendiri. "Dia teman kuliahku! Aku tidak mau mendengar apapun tentang itu darimu. Augh! Menjijikan!" geleng gadis itu, lalu berseru agar Jennie membeli kondom lebih dulu, sebelum pergi menemui Ian.

Setelah meninggalkan asrama, meninggalkan adiknya mengeluh sendirian di sana, Jennie tidak pergi menemui Ian. Ia justru pulang ke rumahnya malam ini. Dengan mobil lama ayahnya, gadis itu mengemudi pulang. Tiba di rumah kemudian melihat ayah ibunya sedang minum teh bersama di meja makan.

"Kau sudah pulang? Bagaimana keadaan adikmu hari ini?" tanya sang ibu.

"Hm... Aku sudah pulang," angguk Jennie, tersenyum seolah tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. "Lisa baik-baik saja hari ini, tadi siang dia membersihkan semua shower di asrama. Sekarang dia kelelahan lalu tidur," lapornya.

"Dia tidak sakit kan?" tanya sang ayah dan Jennie menggeleng. Mengatakan kalau si bungsu baik-baik saja, mengatakan kalau gadis itu luar biasa sehat hari ini.

Sebentar mereka berbincang, sampai akhirnya Jennie menghela nafasnya. Kedua orangtuanya menoleh, melihat putri mereka yang resah itu. Sang ibu yang pertama bertanya, penasaran alasan putri mereka kelihatan terganggu. "Ada masalah dengan kuliahmu? Apa sulit kuliah sambil bekerja?" tanya sang ibu, menebak-nebak. Tapi Jennie menggeleng sekarang. Lisa membantunya mengerjakan semua pekerjaannya di asrama, Jennie tidak punya alasan untuk kesulitan.

"Eomma, appa, apa membiarkan Lisa tetap melupakan kejadian itu adalah pilihan yang benar?" tanya Jennie, dengan kepalanya yang tertunduk. "Bagaimana kalau suatu saat nanti dia mengingat semuanya? Dia pasti akan terluka kalau tahu kita semua membohonginya, iya kan?" ragunya, tiba-tiba melemparkan pertanyaan sulit itu pada kedua orangtuanya.

"Apa yang bagus dari kenangannya?" komentar ketus sang ayah terdengar sekarang. "Tidak ada yang layak dia ingat. Semua jadi lebih baik setelah dia melupakannya," katanya.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang