8

229 43 0
                                    

***

Di akhir pekan, Karina berkunjung ke rumah pamannya. Berkata kalau teman-temannya di asrama meninggalkannya untuk pulang ke rumah masing-masing. Hampir tidak ada orang di asrama, karenanya ia mengunjungi sang paman. Mengeluh sebab teman-teman barunya itu pergi.

Jiyong tidak bisa menolak kehadirannya. Tentu ia biarkan keponakannya itu datang, masuk dan memakai semua yang ada di rumahnya. Membiarkan Karina membuka lemari esnya, mengambil makanan di sana. Membiarkan juga Karina menyalakan TV-nya dan bergelung malas di sofanya. "Kau tidak mau pulang juga? Rumahmu hanya tiga jam dari sini. 4 jam kalau naik kereta," tawar Jiyong namun Karina menolak. Bilang kalau ia akan pulang minggu depan, Jumat malam. Perjalanan 4 jam hanya untuk menginap satu malam terasa melelahkan baginya.

"Paman tidak pergi kencan hari ini?" Karina bertanya, sedang Jiyong duduk di sofa lain, ikut menonton TV bersamanya. Pria itu merasa perlu berada di sana, sebab Lisa bilang Karina mungkin akan merasa kesepian di akhir pekannya. Meski sebenarnya ia punya banyak pekerjaan yang tertunda karena terlalu sering pergi ke asrama.

"Tidak," santai Jiyong, sembari menatap layar handphonenya. Hanya melihat-lihat berita yang muncul di sana.

"Kenapa? Kekasihmu sibuk atau kau tidak punya kekasih?" tanyanya, tapi Jiyong tidak pernah menjawabnya. Pria itu hanya diam, berlaga tidak mendengarnya. "Ah! Aku dengar paman sering datang ke asrama, kenapa? Eomma menyuruhmu mengawasiku?" tanyanya lagi, terus bicara sebab tidak ada acara menarik di depannya.

"Tidak," Jiyong mengulangi jawabannya yang tadi. Seolah tengah mengatakan kalau ia tidak ingin diajak bicara sekarang, meski dirinya tidak pernah bermaksud begitu. Untungnya Karina tidak cepat menyerah. Meski diabaikan, tetap ia ajak pamannya itu bicara.

"Lalu apa yang paman lakukan di asrama kalau tidak mengawasiku? Tidak mungkin paman mengawasi mahasiswi lain- oh? Atau paman berkencan dengan seseorang di asrama?" tebaknya, yang kali ini berhasil membuat Jiyong menatap padanya. Berhasil membuat pria itu melihat kearahnya lalu membantah tuduhan itu. "Ah... Sungguh? Baiklah. Tapi, paman tahu pengurus asramaku kan? Lisa eonni, ternyata hidupnya bebas sekali," katanya, mulai membagi gosip-gosip di asrama pada pamannya.

"Bebas seperti apa?" Jiyong berusaha untuk tidak terlihat peduli. Namun ia tetap kesulitan menahan dirinya. Ia tetap penasaran, luar biasa ingin tahu.

"Setiap malam, ia pergi ke bar atau night club, memakai pakaian seksi," kata Karina, membicarakan rumor yang beredar di asrama. "Tapi... Jam berapa pun dia selesai, ayahnya pasti menjemputnya. Lalu setiap pagi ayahnya akan datang ke asrama, mengantarnya bekerja. Lucu ya? Seorang ayah membiarkan putrinya pergi ke tempat seperti itu dengan pakaian seksi tapi menjemputnya. Kalau aku menceritakannya pada ayahku, apa ayahku juga akan melakukannya?"

"Entahlah, yang pasti ibumu akan marah, kau masih di bawah umur," balas Jiyong. "Hanya itu? Gosipnya?"

"Tentu saja tidak!" seru Karina, tertarik untuk bercerita lebih banyak. "Dia punya saudara kembar, pengurus asrama juga, Jennie eonni," Karina lantas meraih handphonenya, mulai mencari-cari akun pribadi si pengurus asrama. "Lihat, paman. Mereka tidak seperti pengurus asrama kan? Pakaiannya, tempat fotonya, semuanya bagus. Seperti influencer? Mereka seperti orang yang berbeda," ocehnya sementara Jiyong melihat-lihat foto yang ada di akun pribadi si pengurus asrama.

Ia gulir terus layar handphone keponakannya itu. Melihat terus ke bawah sampai ia temukan foto masa kecil Lalisa Kim, bersama saudari kembarnya. Mereka duduk bersama di atas rumput, bersebelahan dengan gaun biru yang sama. Kedua anak kecil itu tersenyum pada kamera, lalu di foto selanjutnya, Lalisa kecil merangkul bahu Jennie kecil dengan tangannya.

"Mereka kelihatan berbeda sekarang," pelan Jiyong kemudian, setelan ia lihat foto masa kecil Lalisa Kim itu.

"Huh? Siapa? Ahh... Lisa dan Jennie eonni? Iya, mereka kelihatan berbeda ya? Tapi tidak semua yang kembar itu identik kan?" balas Karina, lalu mengambil lagi handphonenya. Ia menunjukan akun pribadi Jennie Kim sekarang. Menunjukan sebuah foto yang baru saja diunggah pagi ini.

Ada empat orang dalam foto itu. Foto si kembar bersama dua pria lainnya. Keempatnya berdiri dengan pakaian formal mereka, mengaitkan tangan satu sama lain. Bak dua pasang kekasih yang sedang memamerkan kemesraan mereka. "Mereka benar-benar kembar, lihat saja, tunangan pun bersama," kata Karina.

"Tidak ada caption apapun, darimana kau tahu mereka bertunangan?" tanya Jiyong.

"Ada cincin? Pakai gaun dan tuxedo, apa namanya kalau bukan pesta pertunangan? Gaunnya tidak cukup mewah untuk dipakai menikah," kata Karina.

"Lalu siapa dua laki-laki itu? Kau mengenalnya?" tanya Jiyong dan Karina mengangkat bahunya. Karina belum tahu siapa dua pria tadi tapi kalau Jiyong memberinya waktu, ia yakin dirinya bisa menemukan nama dua pria itu.

Tapi hari itu Karina tidak menemukan apapun. Seorang teman meneleponnya, mengajaknya untuk pergi ke bioskop. Jadi, Karina tinggalkan pamannya yang sekarang penasaran. Sangat penasaran tapi tidak punya cara apapun untuk menuntaskan rasa ingin tahu itu.

Karena penasaran, Jiyong mengemudikan mobilnya ke tempat kemarin. Pergi ke minimarket tempat ia menurunkan Lisa di sana. Berfikir mungkin gadis itu tinggal di sekitaran minimarket itu. Tapi siapa sangka, ketika ia tiba di sana, di lihatnya Jennie tengah duduk di meja kasir, memakai rompi kuning bertuliskan nama minimarketnya.

"Selamat datang," sapa gadis itu, sesaat setelah di dengarnya pintu terbuka.

Ia tidak menoleh, tidak juga melihat siapa yang datang. Pandangannya tetap pada layar handphone di tangannya. Minimarket sedang sepi sekarang, hanya Jiyong satu-satunya pengunjung yang datang. Setelah asal memilih minuman di lemari es, Jiyong langsung menghampiri meja kasirnya. Meletakan minuman yang ia pilih kemudian menarik perhatian si penjaga kasir.

"Oh? Yang kemarin- siapa-"

"Pamannya Karina, lantai tiga belas," sela Jiyong, mengingatkan Jennie akan identitasnya.

"Ah... Yang mengantar Lisa semalam?" balas gadis itu, lantas memindai sekotak susu yang Jiyong letakan di meja kasir, susu strawberry, berwarna merah muda. "Hanya ini?" tanya Jennie kemudian, setelah memindai sekotak susu tadi. "Atau anda punya janji dengan Lisa?" susulnya, lantas menyuruh Jiyong untuk membawa susunya duduk. Mengatakan kalau ia bisa duduk di kursi-kursi dekat microwave dan menunggu Lisa di sana.

"Tidak-"

"Sebentar," tahan Jennie, sebab handphonenya tiba-tiba berdering. "Ya! Dimana kau sekarang?! Sekarang giliranmu! Cepat ke sini! Aku punya janji hari ini," seri gadis itu, terdengar ketus, juga kesal pada seseorang di teleponnya. Jennie tidak menunggu lama, ia lekas mematikan panggilan itu, sebab seorang pelanggan lain baru saja masuk. "Lisa akan datang sebentar lagi, tunggu lah di sini," katanya, kemudian menunjuk kursi-kursi kosong tidak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.

"Aku belum membayarnya?" bingung Jiyong, sebab Jennie sudah lebih dulu memberikan susu strawberry tadi ke tangannya.

"Lisa bilang dia akan membayarnya," santai Jennie. "Selamat datang," ucapnya, sekali lagi menyapa pelanggan yang datang. Sekali lagi juga memberi kode pada Jiyong untuk duduk di kursinya.

"Terimakasih," Jiyong memang bingung, tapi ia pilih untuk duduk di sana, sebab seorang pelanggan sudah lebih dulu berdiri, mengantri dibelakangnya. Ia harus pergi, sebelum antriannya jadi semakin panjang.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang