31

169 40 3
                                    

***

Jiyong tetap diam, sampai mobilnya berhenti di depan gedung apartemennya. Wajahnya masih pucat, tapi ia tidak lagi gemetar sekarang. Tatap matanya tidak lagi terlihat kabur, baru saat Lisa akan memarkir mobilnya, Jiyong bicara, mengatakan agar Lisa menghentikan saja mobilnya. Berkata kalau ia yang akan memarkir sendiri mobilnya.

"Oppa sudah lebih baik?" tanya gadis itu, tanpa menoleh. Hanya melihat Jiyong di kursi belakang lewat kaca tengahnya.

"Ya, terima kasih sudah mengantarku ke sini," angguk Jiyong.

Ia membuka pintu mobil di sebelahnya sekarang. Melangkah keluar dari mobilnya, lalu membuka pintu di sebelah Lisa. Akan mengambil alih roda kemudi. "Mampir lah dulu," ajak pria itu, setelah mobilnya berhasil terparkir di depan gedung.

Lisa tidak ingin berada di sana. Ia tidak ingin masuk ke rumah Jiyong. Tanpa ia sendiri ketahui alasannya, Lisa enggan berada di sana. Mungkin hatinya tahu, sesuatu yang buruk akan terjadi kalau ia masuk ke dalam apartemen pria itu. Mungkin sesuatu dalam dirinya tengah memperingatkannya sekarang—kau akan menyesal kalau ikut masuk ke rumah pria itu sekarang.

Tapi Lisa tetap mengangguk. Meski hatinya terasa berat. Meski rasanya kakinya berjalan ke arah penyesalan, Lisa tetap melangkah masuk sampai ke unit apartemen tempat Jiyong tinggal. Tetap ia lepaskan alas kakinya, masuk dan duduk di sofanya.

Tidak ada banyak hal menarik di dalam sana, tapi tempat itu cukup nyaman untuk ditinggali. Sembari duduk di sofanya, Lisa melihat sekeliling. Memperhatikan detail-detail sudut apartemen itu, mencari-cari jawaban atas rasa penasarannya.

"Apa yang Jiyong oppa sembunyikan di sini?" dalam hati Lisa bertanya-tanya. "Apa dia sebenarnya sudah punya pacar? Atau istri? Rumah ini tidak terlihat seperti rumah yang ditinggali anak-anak. Atau ia pernah menikah lalu bercerai? Apa yang dia sembunyikan?" berbagai pertanyaan kini berkecamuk dalam kepalanya. Memenuhi kepalanya, hingga ia rasakan dadanya sesak. Rasanya menyebalkan, menebak-nebak rahasia yang mungkin Jiyong simpan. Membayangkan kalau pria itu ternyata punya wanita lain, membuat suasana hati Lisa jadi sangat buruk sekarang.

Jiyong ada di dapur, ketika Lisa sibuk dengan pikirannya sendiri. Tengah pria itu seduh dua cangkir kopi di sana. Menunda-nunda waktu, sebelum ia harus mengambil keputusannya. Bisakah ia beritahu Lisa semua yang terjadi? Haruskan ia membohongi gadis itu untuk menjaga rahasia Jennie dan keluarganya? Jiyong tidak bisa memilih mana keputusan yang terbaik sekarang. Bukan. Jiyong sudah membuat keputusannya, tapi keputusan itu terus berubah-ubah, tergantung bagaimana perasaannya.

Ia datang dengan dua cangkir kopinya. Meletakan dua cangkir kopi panas itu di atas meja, tepat di depan Lisa. Tapi tidak ada satu katapun yang ia keluarkan sekarang. Tidak ia katakan apapun, bahkan saat kakinya melangkah pergi meninggalkan ruang tengah apartemen itu. Ia berjalan masuk ke dalam kamarnya, tanpa menutup pintunya, meninggalkan Lisa sendirian di ruang tengahnya.

Di dalam kamarnya, Jiyong berbaring. Akan ia baringkan sebentar tubuhnya, beristirahat sebelum bicara pada gadis yang ia minta berkunjung. Lisa harus tahu tentang apa yang terjadi padanya. Ia berhak tahu. Ia akan sangat marah kalau tahu dirinya di bohongi. Ia akan sangat kecewa kalau tahu semua orang menyembunyikan rahasia besar tentangnya—begitu cara Jiyong meyakinkan dirinya sendiri. Berusaha ia lenyapkan bayang-bayang yang menghantuinya tadi.

"Tapi kalau dia tahu-" Jiyong tidak sempat melanjutkan pikiran yang ia suarakan, sebab Lisa memanggilnya.

"Oppa?" gadis itu bersuara, dengan suara yang terdengar mendekatinya. Lisa melangkah ke arahnya, berjalan sampai ke pintu kamarnya lalu berhenti di sana. "Kalau tidak ada yang ingin oppa bicarakan, aku akan pulang," katanya, membuat Jiyong langsung bangkit dan menghampirinya.

"Apa kau sibuk?" tanya pria itu, yang saat ini berdiri di depan Lisa. Menatap ke arah gadis itu, tepat di depan kamarnya. Jiyong memegangi pintu kamarnya sekarang, memastikan pintunya tidak terbuka seberapa lebar, memastikan Lisa tetap tidak bisa melihat keseluruhan kamar tidurnya. "Ada yang ingin aku bicarakan, tapi aku ingin mandi dulu sebelum-"

"Oppa ingin tidur denganku?" sela gadis itu, memotong Jiyong yang tengah mengulur-ulur waktu. Mencari berbagai jeda agar dirinya bisa menumpuk keberanian untuk bicara.

"Ya? Tentu saja tidak. Aku tidak- bukan, maksudku bukan begitu, Lisa-ya jangan salah paham- tidak... aku bukannya tidak menyukaimu, aku hanya tidak- augh! Apa yang sedang aku bicarakan? Tidak, begini... Lisa-ya, aku-" Jiyong kebingungan karena pertanyaan yang tiba-tiba itu.

Seketika semua benang kusut dalam kepalanya menghilang. Seketika, kepalanya yang sedari tadi berdenyut kini terasa begitu kosong. Lisa menarik kemejanya, menarik dirinya ke arah gadis itu, lalu mencium bibirnya. Seperti toilet yang baru saja ditekan tombol flush-nya, isi kepala Jiyong kosong sekarang. Tapi alih-alih membalas ciuman itu, alih-alih ia menyambut bibir yang ditempelkan pada miliknya itu, Jiyong justru mendorong Lisa.

Ia memegang lengan bagian atas gadis itu, lalu melepaskan sentuhan di bibir mereka. Bergerak mundur, hanya sepanjang lengannya untuk membuat jarak di antara mereka. Jiyong bisa melihat wajah Lisa merah padam sekarang. Mata gadis itu bergetar, seolah dunianya baru saja runtuh. Hatinya terluka karena penolakannya barusan, Jiyong bisa melihat itu dalam raut wajah Lisa sekarang.

"Sepertinya dugaanku benar," pelan gadis itu, yang dengan tangan kanannya melepaskan pegangan Jiyong dari lengannya. "Oppa punya orang lain, iya kan?" susulnya, terjebak dalam kekhawatirannya sendiri.

"Ya? Apa yang-"

"Rahasia yang ingin oppa katakan... Setelah tahu aku bukan Choi Lisa, oppa kecewa, iya kan? Kau menjauhiku. Harusnya aku sadar, maaf, karena terus menempel padamu. Harusnya aku menyadarinya. Augh! Kenapa aku tidak menyadarinya? Setelah oppa tahu kalau aku bukan Choi Lisa, kau berhenti mencariku... Harusnya aku tahu, kalau setelah itu, setelah oppa tahu aku bukan Choi Lisa, kau menemui orang lain. Ah... Oppa pasti kesal saat aku datang ke rumah kakakmu. Kau pasti terganggu karena setelahnya aku terus menghubungimu. Maaf, aku sama sekali tidak peka. Aku- aku-"

Lisa mengoceh. Terus mengeluarkan apa yang muncul dalam kepalanya, tanpa memberi Jiyong kesempatan untuk bicara. Dengan canggung, gadis itu berdiri di depan Jiyong sekarang. Sesekali ia mendorong rambutnya ke belakang, menyingkirkan helai-helai yang menutupi wajahnya karena gerak canggungnya. Sesekali juga ia usapkan telapak tangannya ke paha, mengusap tangannya yang berkeringat karena malu, karena canggung.

"Kau salah paham," Jiyong menyela ocehan itu. Setelah ia tunggu jeda yang tidak juga datang.

Bel rumah ditekan sekarang. Dahi Jiyong berkerut saat mendengarnya. Ia tidak punya janji apapun sore ini, Karina pun tidak berkata kalau ia akan datang. Sekali lagi bel rumah di tekan, dan Lisa berhenti mengoceh, sadar kalau bel yang di tekan itu milik Jiyong, bukan rumah sebelah.

"Kau salah paham," sekali lagi Jiyong mengulang kata-katanya. "Tunggu sebentar, aku lihat dulu siapa yang datang," susulnya, kali ini bergerak melewati Lisa untuk melihat tamu yang menekan belnya.

Jiyong membuka pintunya, sedang Lisa mengekor dan melihat dari belakang punggungnya. Ingin tahu siapa yang datang, sekaligus berharap kalau tamu yang berkunjung itu bukan wanita. Bukan kekasih Jiyong yang akan memergoki mereka. Bukan perempuan yang akan menjambak rambutnya karena berada di apartemen seorang pria yang baru saja ia cium.

Pintu dibuka, lalu berdiri seorang pria dan wanita di depan mereka. Dalam beberapa detik, mata mereka bertukar tatap. Jiyong menatap pria dan wanita yang menekan belnya, begitu pun sebaliknya. "Halo, kami tetangga baru-" wanita di depan pintu itu bicara, tapi ia tidak bisa menyelesaikan ucapannya sebab pria di sebelahnya menginterupsi.

Pria yang datang di depan pintu, berdiri di sebelah wanitanya sembari membawa sepiring kue kering, baru saja menjatuhkan piringnya. Piring keramik itu tergelincir dari tangannya, jatuh dan pecah ke lantai saat mata si pria bertemu dengan milik Lisa.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang