40

197 41 1
                                    

***

Mereka bertemu di depan kantor polisi. Lisa di rangkul ibunya, sementara Jennie memimpin jalan menuju tempat parkir. Jauh dibelakang mereka ada Tuan Choi, baru saja menjabat tangan seorang petugas kepolisian lalu menyusul mereka yang berjalan lebih dulu. "Bagaimana dia bisa ke sini?" heran sang ibu, lebih dulu berkomentar sementara Lisa membeku dengan kepala tertunduk. Menyembunyikan wajahnya yang hari ini berjerawat. Merutuk karena tidak ia pakai maskernya sekarang.

Jiyong menyapa ibu si kembar, juga pria yang sekarang ada dibelakang wanita itu. Jennie pun ia sapa, tapi gadis itu bergegas melarikan diri. Kabur karena tidak ingin dihakimi atas sikapnya—merahasiakan semua yang terjadi selama beberapa hari terakhir, padahal Jiyong rutin menghubungi Jennie, karena Lisa mengabaikannya.

"Eomma, pulang lah lebih dulu," kata Lisa, mau tidak mau harus menemui Jiyong sekarang.

"Datang lah ke rumah kalau ada waktu," ibunya mengangguk, lalu meninggalkan Lisa setelah ia bicara dan menepuk lengan Jiyong. Ingin memberi kesan pertama yang baik untuk pria itu.

Sekali lagi Jiyong ditatap dengan penuh kecurigaan. Tuan Choi memperhatikannya, menilainya. Kelihatan sangat khawatir namun tidak mengatakan apapun. "Telepon lah kalau kau perlu di jemput," begitu katanya, hanya pada Lisa sebelum ia meninggalkan gadis itu bersama kekasihnya di tempat parkir kantor polisi.

Lisa mengangguk, kemudian menundukan lagi kepalanya. Sampai tidak ada yang memperhatikan mereka, sampai Jennie membawa yang lainnya pergi, tidak seorang pun bicara. Jiyong hanya melambai, mengantar kepergian mobil itu, sedang Lisa terus menatap ke ujung sepatunya. Terus menggerak-gerakkan kakinya, menendang-nendang debu yang ada di sana.

"Kenapa tidak bilang apapun? Kau tidak senang melihatku disini?" tanya Jiyong, memperhatikan gadis yang terus menunduk itu.

Lisa menggeleng. Mengaku kalau ia tidak senang bertemu Jiyong di sana. Ia berencana menemui Jiyong di rumahnya, atau di kampus tempat pria itu bekerja. Bertemu di cafe atau restoran, bahkan hotel pun tidak masalah baginya. Tapi Jiyong justru datang ke kantor polisi. Mereka justru bertemu di kantor polisi dengan penampilan Lisa yang tidak secantik biasanya. Bagaimana Lisa bisa menyukai pertemuan seperti ini? Tidak ada alasan untuknya menyukai pertemuan mereka sekarang.

"Whoa..." Jiyong berseru menanggapi kejujuran itu. "Tidak bisakah kau berbohong sedikit? Aku sudah menyetir jauh sampai ke sini," katanya, lantas meraih bahu Lisa dan memeluknya. "Kau datang ke rumah kakakku, bahkan mengenalkan dirimu ke sana, bukan kah kau melakukannya karena ingin aku menemuimu?" susulnya, berkata lembut sambil mengusap rambut gadis yang diam membeku itu. "Lama tidak bertemu, aku senang bisa bertemu denganmu lagi," akunya, tanpa menunggu Lisa menanggapi ucapannya.

Lisa menghela nafasnya dalam pelukan itu. Lantas ia gerakan tangannya untuk balas memeluk Jiyong. "Maaf," katanya pelan, tanpa mampu menjelaskan alasannya. Maaf karena aku tiba-tiba dikabarkan bunuh diri dan menghancurkan hidupmu. Maaf karena aku jadi hantu yang terus menghantuimu. Maaf karena aku tidak bisa mengingatmu. Maaf karena aku membenci hantu yang kau rindukan itu. Sekarang, maaf karena aku terlalu malu untuk mengakui semua rasa bersalahku.

Setelah pelukan itu, mereka berkendara. Jiyong tidak membawa Lisa pulang. Tapi ia bawa gadis itu ke kedai kopi, tempat mereka harusnya bertemu—dulu. "Sekarang kau mengingat tempat ini?" tanya Jiyong, setelah ia menghentikan mobilnya di tepi jalan.

Lisa sempat melihat sekeliling, tapi ia langsung memalingkan wajahnya. Ia ingat bagaimana memalukannya sikapnya dulu—kenapa aku begitu percaya diri waktu itu? Berkencan lah denganku! Aku bisa menunggumu putus dengan kekasihmu itu! Bagaimana bisa aku berkata begitu?—Lisa tidak percaya, ia pernah bilang begitu pada Jiyong. Dan sialnya, semua ingatan memalukan itu datang dengan sangat jelas, seolah kejadiannya baru saja terjadi beberapa hari lalu.

"Kita pergi-"

"Kenapa?"

"Aku malu, ayo pulang-"

"Tidak mau, turun lah," potong Jiyong, memaksa Lisa untuk masuk ke dalam kedai kopi di sana.

Berkali-kali Lisa menolak, tapi rengekan gadis itu terdengar lucu bagi Jiyong. Maka, setelah tangannya digandeng, dengan hati-hati diseret masuk dan duduk dalam kedai kopi itu, Jiyong mengambil kursi di depan Lisa. Sengaja memperhatikan gadis yang malu itu dengan senyum kecil di wajahnya. "Kau ingat apa yang ingin kau katakan padaku di sini?" tanya Jiyong, terus menggoda Lisa meski gadis itu sudah memintanya berhenti. "Kenapa? Kau ingin mengatakan sesuatu padaku di sini, katakan lah," susul Jiyong, berlaga bodoh, berlaga tidak menyadari rasa malu yang luar biasa itu.

"Aku mohon, berhentilah," pinta Lisa, tetap menunduk, tetap menghindari tatapan Jiyong.

Jiyong tertawa melihat raut malu yang perlahan-lahan berubah kesal itu. Lantas ia anggukan kepalanya, berkata kalau dirinya akan berhenti menggoda Lisa sekarang. "Jadi, apa yang terjadi? Kenapa kau tidak menghubungiku lagi?" tanya Jiyong sekarang. Setelah ia rasa kalau suasana di sana sudah lebih nyaman dari sebelumnya.

Lisa menyesap minumannya sekarang. Kemudian menggerutu karena ia tidak sempat berdandan. Tidak sempat juga menutupi beberapa jerawat yang merah merona di hidung dan dahinya. Jerawat yang muncul karena stres.

"Tidak apa-apa, aku tidak peduli dengan bagaimana wajahmu sekarang-"

"Tapi aku peduli!" sela Lisa, menatap tajam pada pria di depannya itu. "Augh! Menyebalkan! Harusnya oppa menelepon dulu sebelum datang!"

"Ya! Aku hanya ingin menghiburmu. Kenapa kau berteriak?" heran Jiyong, sembari menatap ke sekeliling kedai kopi itu, ingin tahu siapa saja yang mendengar obrolan mereka sekarang.

"Sakit," pelan Lisa, sadar kalau suaranya tadi terlalu keras lalu merasa semakin malu karenanya.

"Apa yang sakit? Sangat sakit?" Jiyong terdengar khawatir sekarang, ia mengulurkan tangannya, ingin melihat bagian mana yang sakit dari tubuh gadis di depannya itu. "Dari satu sampai sepuluh, seberapa sakitnya? Kau perlu pergi ke rumah sakit?" tanyanya, tanpa memberi Lisa kesempatan untuk menjawab pertanyaannya.

"Menurutmu berapa skala sakitnya jerawat itu? Sakit sekali," ketus Lisa, tapi tidak ia singkirkan tangan Jiyong dari lengannya. "Aku masih belum tahu bagaimana caranya memberitahumu," susulnya kemudian, setengah berbisik. "Karena itu aku tidak menghubungimu. Aku ingin menemuimu setelah semuanya selesai. Padahal aku sudah bilang pada kakakmu untuk tidak memberitahumu," katanya lagi.

"Setidaknya kau bisa memberitahuku kalau kau baik-baik saja," balas Jiyong. "Aku sangat mengkhawatirkanmu," katanya.

"Tapi aku tidak baik-baik saja," rengek gadis itu, sekali lagi menunjuk jerawat di dahi dan hidungnya. "Di dalam hidungku saja ada jerawatnya, bagaimana bisa aku baik-baik saja?" keluhnya. Sengaja mengeluhkan jerawat-jerawat itu, agar tidak perlu ia katakan pemicu stressnya yang sebenarnya. Agar tidak perlu ia katakan tentang semua rasa sakit yang muncul bersamaan dengan ingatan-ingatannya.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang