44

375 43 2
                                    

***

Malam ini cerah. Di tempatnya berdiri, selepas ia turun dari taksi, Lisa bisa mendongak dan melihat banyak bintang di sana. Sebentar gadis itu memperhatikannya, lalu ia keluarkan handphonenya, memotret langit itu dan mengirim fotonya pada Jiyong. Tidak ada pesan apapun, hanya satu foto yang ia kirim dan Jiyong pun tidak membalas pesan itu.

Dengan celana pendek serta jaketnya, gadis itu melangkah mendorong gerbang rumahnya. Hari ini paman dan bibinya menginap, jadi sebagai putri yang pernah mereka besarkan, Lisa datang dan ikut menginap di sana. Gadis itu ingat bagaimana ia menyayangi paman dan bibinya itu. Lisa ingat bagaimana saat itu ia menganggap mereka berdua sebagai orangtuanya. Hanya saja, situasinya jadi sedikit rumit sekarang. Paman dan bibinya tidak menyukai Jiyong. Mereka juga tidak menyukai Ian, tapi Jennie tidak berada di posisi harus peduli. Jadi situasinya sedikit berbeda dengan Lisa.

Ketika masuk, Lisa mendengar ibu dan bibinya tengah berdebat. Tentu saja masalah yang sama—kekasih putri-putri mereka. Sang ibu kandung tidak seberapa peduli dengan pria yang putrinya kencani. Bagaimana pun penampilannya, ia tidak peduli selama putri-putrinya mencintai pria itu. Tapi sang bibi lain lagi, baginya Jiyong dan Ian tidak terlihat seperti seorang pria baik. Mereka terlihat nakal, terlihat seolah akan melukai hati si kembar.

"Sudah dimulai lagi?" bisik Lisa, bergabung dengan Jennie di ruang tamu, juga bersama ayah dan pamannya.

"Sudah babak ketiga," balas Jennie, hampir tidak peduli dan terus bermain dengan handphonenya. Berkirim pesan dengan Ian selama acara keluarga mereka malam ini.

"Siapa yang menang?" tanya Lisa, tetap berbisik.

"Seri, ini babak penentuan," katanya.

Lisa menoleh ke arah meja makan, ingin menebak siapa yang akan menang dalam debat malam ini kemudian mengajak Jennie bertaruh. Tapi belum selesai gadis itu menilai, sang ayah yang sedang bermain catur dengan adik iparnya sudah lebih dulu membuka mulutnya. Ia memanggil Lisa, berbasa-basi dengan bertanya kenapa gadis itu terlambat. Bertanya juga tentang keadaan Jiyong yang baru saja dioperasi usus buntutnya.

"Dia baik, aku terlambat karena menunggu Karina datang," kata Lisa. "Jiyong oppa sama sekali tidak bisa ditinggal. Dia hanya operasi usus buntu, tapi jadi manja sekali. Padahal besok sudah bisa pulang, tapi dia terus merengek bilang perutnya sakit," adunya.

"Dia bilang kalian akan menikah," balas sang ayah, tiba-tiba membuat seisi rumah itu terdiam. Semua orang menoleh ke arah sang ayah, termasuk kakak beradik yang bertengkar di meja makan.

"Siapa?" tanya Lisa.

"Kau. Jiyong bilang kalian akan menikah sekitar akhir tahun ini," kata sang ayah, kini balas menoleh menatap satu persatu orang dalam ruangan itu. "Apa? Kenapa? Kenapa kalian terkejut? Sayang, kemarin saat menjenguknya dia bilang begitu, kau tidak dengar?" susulnya, kali ini bicara pada istrinya. "Paman, Bibi, aku ingin menikah dengan Lisa sekitar akhir tahun ini, kalian mengizinkannya kan?—dia bilang begitu, kau tidak dengar?" ulangnya, mengingatkan istrinya akan obrolan mereka kemarin.

"Bukankah itu hanya bercanda?" tanya sang istri, sedang Jennie heran karena Lisa juga terlihat terkejut—seolah gadis itu tidak mengetahui apapun sebelumnya.

"Tidak, dia serius," jawabnya.

"Tapi dia tidak bilang apa-apa padaku?" bingung Lisa. "Siapa yang mau menikah dengannya?" herannya sekali lagi.

"Ah... Kau tidak mau? Kalau begitu tolak-"

"Mau!" potong Lisa, langsung menutup mulut kakaknya. "Aku mau! Beri aku izin! Aku mau! Eomma... Aku mau!" susulnya, merengek agar diberi izin.

Jennie berkomentar, kalau Lisa masih terlalu kekanakan untuk menikah. Melihat adiknya merengek, tentu saja Jennie akan berfikir begitu. Tapi Lisa justru memelototinya, mengaku kalau ia hanya merengek di rumah.

"Dia bahkan tidak mengajakmu menikah, jangan jadi terlalu mudah-"

"Akan aku suruh dia mengajakku menikah, please... Beri kami izin, hanya izin saja... Untuk biaya pernikahan, semuanya, aku bayar sendiri, ya? Beri izin! Beri izin! Aku sudah menyukainya sejak lama, beri aku izin," katanya terus merengek.

***

Pagi harinya, karena Karina harus kuliah, Lisa kembali ke rumah sakit. Menemani si pasien yang untungnya masih tidur pagi ini. Begitu datang, Lisa melakukan rutinitasnya selama beberapa hari terakhir—membuka tirai, mengambil sebotol air dingin di lemari es lalu menyesapnya sambil menunggu Jiyong bangun. Dan pria itu bangun setelah beberapa menit tirainya di buka. Setelah silau matahari di luar menusuk matanya yang terpejam.

"Kau sudah datang?" kata Jiyong, dengan suaranya yang serak setelah bangun tidur. "Tutup tirainya... Aku tidak bisa tidur semalaman, Karina terus mengeluh tentang tugas kelompoknya, dia membuatku harus mendengarkannya," susulnya, kali ini sembari menutup wajahnya dengan lengan tangannya sendiri, menghalau silau.

"Ayahku bilang kita akan menikah," kata Lisa, tidak peduli dengan Karina dan teman-teman sekelompoknya. Sebab Karina selalu bermasalah dengan teman-teman kelompoknya.

"Hm... Bagaimana kalau akhir tahun ini? Tahun depan aku dapat tugas belajar. Mungkin ke luar negeri."

"Huh? Memang siapa yang mau menikah denganmu, oppa? Bisa-bisanya oppa bilang ke ayahku kita akan menikah padahal aku tidak-"

"Kau tidak mau menikah denganku?" potong Jiyong dan Lisa terdiam. Sengaja mengerucutkan bibirnya, sengaja menunjukan ketidaksukaannya karena Jiyong melupakan bagian paling pentingnya—melamarnya.

"Tidak! Menikah saja sendiri!" ketus gadis itu, kemudian berdecak dan mulai menggerutu karena Jiyong masih melupakan potongan puzzle paling pentingnya.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang