11

238 42 1
                                    

***

Ia kembali ke dalam kamar asramanya setelah melihat kakaknya pergi. Kini tubuhnya kembali berbaring, tapi tidak lantas terlelap. Jam sudah menunjuk pukul lima, perutnya mulai lapar namun ia belum ingin pergi ke cafeteria. Dari dalam kamarnya, samar-samar suara riuh di luar terdengar. Tidak ada ruang yang benar-benar kedap suara dalam gedung itu, terlebih dalam kamarnya. Semua ruangannya memang diatur begitu, sebab peruntukannya memang bukan untuk berlibur. Sebab semua yang tinggal di sana, masih perlu pengawasan dewasa.

Setelah sibuk dengan handphonenya, selama hampir tiga puluh menit, Lisa mendapat sebuah pesan. "Mau menonton Sweeney Todd?" begitu pesan yang Jiyong kirim beberapa detik lalu.

"Teater?" Lisa membalas pesan itu. Membuatnya jadi beberapa bubble. "Tentang tukang cukur dan pie dari manusia itu kan?" tanyanya selanjutnya. Tapi kali ini Jiyong hanya membalasnya dengan sebuah emoticon, ibu jari yang diacungkan. "Dimana? Pementasan dari teater mana?" Lisa kembali membalas pesan itu, secepat yang ia bisa. Secepat jarinya bergerak.

Satu menit, dua menit, sepuluh menit gadis itu menunggu. Menatap layar handphonenya, menunggu pesan baru muncul di sana. Tapi baru di menit kelima belas Jiyong membalas. "Teaternya fakultas seni, di Chopin Arena. Mulainya jam delapan, tapi aku ada kelas sampai jam setengah delapan," tulis pria itu dalam pesannya. "Persentasi lima kelompok lagi," susulnya di bubble kedua, dengan banyak emoticon menangis.

Di kamarnya, Lisa tertawa membaca pesan itu. "Kau akan menjemputku setelah kelasmu selesai kan?" tanyanya, tetap lewat pesan singkat yang mereka tukar.

"Manja. Kau yang ke sini," tulis Jiyong untuk membalas pesan itu. "Acaranya di sini, kenapa aku harus ke sana lalu kembali lagi ke sini? Tidak ada waktu," katanya.

"Kelasmu hanya sampai setengah delapan, masih ada tiga puluh menit untuk menjemputku, oppa, jemput aku!" balas Lisa tapi sepertinya panggilan manis itu tidak menunjukkan reaksi apapun.

Lagi-lagi Jiyong tidak langsung membalas. Baru sekitar sepuluh menit setelahnya, Jiyong membaca pesan itu dan langsung membalasnya. "Tidak ada waktu, aku harus membeli kopi dulu sebelum pentasnya. Kabari kalau sudah sampai," balas pria itu dan Lisa hanya mengiriminya beberapa stiker hewan-hewan menangis. Jiyong tidak membalasnya lagi sekarang. Mungkin sekarang pria itu sibuk di kelasnya.

Di pukul tujuh, setelah ia selesai dengan pakaiannya, gadis itu melangkah keluar dari kamarnya. Dari depan pintu kamarnya, ia lihat empat gadis mengintip keluar dari pintu utama. Seolah tengah mengendap-endap, akan pergi namun masih perlu melihat situasi di luar.

Bak adegan klise dalam kartun, Lisa ikut mengintip, lalu membuka suaranya. "Apa yang sedang kalian lakukan?" tanyanya, berbisik tapi langsung membuat gadis-gadis tadi menjerit. Terkejut, sangat terkejut. Tapi setelah pertanyaannya dijawab, Lisa tinggalkan anak-anak itu. Membiarkan mereka berempat sibuk dengan permainan mereka sendiri.

Dalam gelap malam, hanya dengan cahaya dari bulan dan lampu-lampu jalan, Lisa berjalan ke fakultas seni. Ia lewati beberapa gedung kuliah, melewati juga perpustakaan kampus beserta tamannya, baru setelahnya ia tiba di fakultas seni. Jiyong pernah memberitahunya, dimana ruang kerja pria itu. Namun rasanya canggung kalau ia pergi ke sana sementara tahu Jiyong sedang mengajar sekarang. Karenanya, gadis itu kirim lagi sebuah pesan pada si dosen.

"Aku tunggu di gazebo dekat patung saksofon," tulis Lisa tapi Jiyong langsung meneleponnya sekarang. Tidak membalas pesannya, tapi menelepon.

"Kau benar-benar datang sendiri?" tanya pria itu setelah teleponnya dijawab.

"Oppa bilang tidak akan menjemputku!" seru Lisa, sembari menoleh ke kanan dan kiri, mencari Jiyong yang mungkin ada di sekitar sana. "Dimana kau?" tanyanya kemudian.

"Di kantin membeli kopi, kau mau?" tawar pria itu, tentu selanjutnya bertanya minuman apa yang Lisa inginkan.

Lisa tetap menunggu di tempatnya sekarang. Di sebuah gazebo dengan sepuluh set meja yang dipaku ke lantai. Sembari menatap layar handphonenya, gadis itu menunggu. Beberapa orang yang lewat, melirik padanya. Melihat rambutnya yang sudah mulai panjang, tergerai dan sesekali tertiup angin. Melihatnya mengenakan celana jeans dengan kaus berlengan pendek yang pas di tubuhnya. Selembar jaketnya ia letakan di atas meja, masih enggan memakainya. Beberapa bagian tubuhnya berkeringat hanya karena berjalan sampai ke sana.

"Selamat malam, Pak," dari belakangnya, ia dengar beberapa pengunjung gazebo lainnya bicara. Menyapa seorang pria yang melintas di antara meja-meja.

Lisa ikut menoleh setelah mendengar suara pria itu. Suara Jiyong, yang balas menyapa beberapa mahasiswanya. Lisa mengangkat tangannya sekarang, ikut menyapa meski tanpa mengeluarkan suara apapun. Sembari tersenyum, Jiyong melangkah menghampirinya. Meletakan dua gelas kopi yang ia beli di atas meja kemudian meletakkan juga tas jinjing berisi laptop serta jasnya di atas meja itu.

"Sudah lama menunggu?" kata Jiyong, berbasa-basi.

"Lama sekali," santai Lisa, lantas mengambil earl gray dingin yang ia pesan. "Kau memetik biji kopinya dulu, oppa?" susulnya, asal berkomentar.

"Hm... Aku memetik kopinya dulu," balas pria itu, tapi sembari meraih handphonenya yang bergetar. Sebuah pesan baru saja masuk. "Paman, aku mau menginap di rumahmu ya malam ini? Ada tugas kelompok sampai malam, asrama ditutup jam sepuluh," Jiyong bicara, membacakan pesan yang Karina kirim padanya. "Kau juga harus pulang sebelum jam sepuluh?" tanyanya kemudian, kali ini pada gadis di depannya.

Lisa menganggukan kepalanya. Sambil menyesap minuman dingin pesanannya. Sekarang Jiyong yang berdecak, tahu kalau Lisa tidak pernah ada di asrama saat pintunya di kunci. "Jam berapa kau pulang kemarin?" tanya pria itu, dengan tangannya yang sibuk membalas pesan keponakan. "Whoa, dia pikir rumahku penampungan atau bagaimana? Bisa-bisanya dia mau mengajak temannya menginap juga?" heran Jiyong, setelah membaca lagi pesan balasan dari Karina yang secepat kilat itu.

"Jam tiga pagi," jawab Lisa, santai seolah ia tidak keberatan Jiyong menanyainya. "Karina dan tiga temannya mau mengikuti... Siapa ya namanya? Anak dari asrama laki-laki. Pacarnya Giselle, yang sepertinya berselingkuh," adu Lisa, mengingat jawaban yang Karina berikan tadi, di depan asrama.

"Mereka tidak punya kegiatan lain? Tidak mengerjakan tugas? Augh! Anak-anak itu," heran Jiyong namun tetap mengiyakan permintaan Karina.

"Memang siapa yang kuliah untuk mengerjakan tugas? Kuliah itu untuk berkencan, seperti di TV," santai Lisa. "Setidaknya semester satu," susulnya sembari terkekeh.

Mereka masih mengobrol, menunggu pementasannya dimulai. Lisa menolak untuk datang tepat waktu. "Pasti ada sambutan dari dosen pembina teaternya, nanti saja," katanya menolak ajakan Jiyong untuk berdiri dan pergi ke panggung acaranya.

"Aku pembinanya," kata Jiyong, dan Lisa membulatkan matanya sekarang, menatap lekat-lekat pada pria di depannya.

Jiyong belum sempat melanjutkan ucapannya sekarang. Dua suara tiba-tiba menginterupsi, seorang pria memanggil namanya, sedang ada suara pria lain yang memanggil nama Lisa. Pria yang Lisa temui di night club, baru saja melihat keberadaannya di sana—Lee Jeno.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang