***
Mereka akhirnya duduk di sebuah restoran dekat sana. Duduk berdua di dalam restoran yang sepi itu. Beberapa meja terisi oleh pekerja-pekerja yang belum ingin pulang ke rumah. Terisi oleh mereka yang mabuk dan bergembira, melepaskan penat setelah seharian berjuang di tempat kerja. Lisa satu-satunya perempuan di sana, duduk di sudut, tepat di depan Jiyong. Memastikan dirinya tidak terlihat mencolok, memastikan dirinya aman dari resiko gangguan orang-orang mabuk di sana.
"Aku tidak percaya kita pergi sejauh ini hanya untuk makan mie," komentar Lisa, setelah ia berhasil menghabiskan semangkuk mienya lalu memesan lagi sepiring gurita pedas—camilan untuk mengobrol katanya. "Apa aku masih terlihat seperti gadis yang membuatmu sedih itu, oppa?" tanyanya kemudian, karena Jiyong tidak menjawabnya. Hanya sibuk mengaduk-aduk mie instan di mangkuknya.
"Tidak," pelan Jiyong. "Sebenarnya aku tidak tahu," akunya cepat-cepat. "Nama kalian hampir sama, kalian terlihat sama, tapi kalian terlihat seperti orang berbeda. Kalian seperti hidup dalam dunia yang berbeda," katanya.
"Bukankah itu artinya kami memang berbeda?" tanya Lisa. "Tapi apa oppa punya fotonya? Aku penasaran bagian mana yang oppa bilang mirip," katanya sekali lagi.
Jiyong menggeleng sekarang. Ia tidak punya foto Lisa. Tidak juga bisa memotret gadis yang menghantuinya itu. "Bagaimana bisa aku tidak punya fotonya sama sekali?" heran Jiyong, mempertanyakan perasaannya sendiri.
"Aku bisa mengerti kalau oppa tidak punya fotonya, tidak apa-apa," pelan Lisa. "Mau fotoku? Tidak, untuk apa menyimpan fotoku? Kita berfoto bersama saja," santai gadis itu lantas mengeluarkan handphonenya. Membuka kameranya untuk berfoto dengan pria sedih itu.
Jiyong menolaknya. Ia mengangkat tangannya untuk melarang Lisa memotret. Tapi gadis itu bersikeras. Ia merubah posisi duduknya, memotret dirinya sendiri dengan Jiyong sebagai latar belakangnya. Tersenyum pada kamera itu, meski Jiyong terlihat tidak senang dengan situasinya. Mereka tidak pernah berfoto sebelumnya. Lisa pun tidak pernah merasa mereka perlu berfoto. Tapi melihat Jiyong sedih karena tidak punya satupun foto gadis itu, Lisa jadi merasa kasihan.
"Meskipun oppa tidak tersenyum, setidaknya aku cantik," kata gadis itu. "Aku kirim fotonya, disimpan ya," susulnya kemudian, sembari mengirim foto mereka ke handphone Jiyong.
Karena malam sudah terlalu larut, mereka memutuskan untuk menginap. Bukan di hotel apalagi motel, malam ini Jiyong membawa Lisa ke rumah kakaknya. Lisa sempat ragu, tapi tetap pergi setelah Jiyong meyakinkannya kalau kakaknya tidak akan keberatan.
Tempatnya tidak jauh dari restoran tempat mereka makan. Sebuah rumah satu lantai dengan kamar kecil di atapnya. Awalnya Lisa pikir Jiyong akan lebih dulu mengenalkannya pada sang kakak, tapi rumah itu sudah gelap saat mereka tiba.
"Bukankah ini mengganggu? Mereka pasti sudah tidur," komentar Lisa, masih berdiri di depan gerbang rumah itu. Menatap ke arah rumahnya seperti bagaimana Choi Lisa dulu berdiri.
"Tidak apa-apa," tenang Jiyong. "Tidak perlu membangunkan mereka sekarang, kita akan ke sana. Kamarku," katanya kemudian, kali ini sembari menunjuk bangunan kecil di atas atap rumah itu.
Jiyong mendorong pintu gerbang yang berderit di depannya. Suara karatnya terdengar sudah sangat tua, sudah berisik tapi tidak seorang pun bangun. Lalu dengan hati-hati, Lisa mengekor. Berjalan mengikuti Jiyong sampai ke atap rumah itu. Dari dalam dompetnya, Jiyong mengeluarkan sebuah kunci tipis, lalu membuka pintu di depannya.
Tempat itu terlihat seperti sebuah kamar pada umumnya. Ada beberapa rak dengan buku, tempat tidur, meja belajar sampai TV dan pendingin ruangan. Jiyong yang pertama masuk, membuka lemari pakaian untuk mengeluarkan sebuah selimut tebal di sana. Ia juga mengambil selembar seprei dari sana. Mengganti seprei di ranjangnya yang sedikit berdebu sedang Lisa menunggu di luar. Melihat-lihat sekeliling atap itu. Memperhatikan beberapa peralatan olahraga, juga pakaian-pakaian yang dijemur di sana.
"Masuk lah," panggil Jiyong kemudian.
"Oppa tinggal di sini saat masih kuliah?"
"Hanya di tahun terakhir," jawab Jiyong. "Sebelumnya aku tinggal di rumah kost dekat kampus. Baru setelah orangtuaku meninggal, aku jadi lebih sering ke sini. Karena itu mereka membiarkan aku punya kamar di sini," ceritanya, masih berdiri di ambang pintu sementara Lisa masuk dan duduk di ranjangnya.
"Aku juga tinggal di atap saat kuliah," Lisa terkekeh mendengar ucapannya sendiri. "Aku kecewa karena Jennie eonni boleh kuliah dan pergi dari rumah, tapi aku tidak, lalu ayah ibuku menyuruhku tinggal di atap rumah kami. Tinggal lah sendiri di sana, jangan turun untuk mencuri makanan—mereka bilang begitu setelah memindahkan barang-barangku ke atap. Rumah atapku waktu itu sedikit lebih kecil dari ini. Atau sebenarnya ukurannya sama tapi barang-barangku yang lebih banyak? Tidak tahu, pokoknya kamar itu sempit, panas saat musim panas lalu dingin saat musim dingin. Bagian terburuknya ada di jendela. Pakaian yang dijemur di atap terlihat seperti hantu dari jendela," ceritanya.
"Orangtuamu manis sekali," komentar Jiyong lantas bergerak untuk menutup pintunya. Tentu setelah ia memindahkan kunci tipis pintu itu ke lubang kunci di bagian dalamnya. "Istirahat lah, kunci pintunya dari dalam. Aku akan tidur di mobil-"
"Ya!" Lisa berseru, meski setelahnya ia menyesal dan buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Kenapa oppa pergi? Sudah aku bilang aku takut hantu, tetap lah di sini," tahan gadis itu. "Aku hanya tidur satu malam di rumah atapku sendiri, bagaimana bisa aku tidur sendirian di sini? Aku takut," katanya, menatap khawatir pada Jiyong lalu menariknya masuk.
Jiyong sempat ragu. Tentu rasanya canggung berbagi kamar dengan gadis yang membuatnya kebingungan itu. Sedari awal Jiyong mengajak Lisa menginap, ia sudah merencanakannya—Lisa bisa tidur dengan nyaman di kamarnya, sedang dirinya akan kembali ke mobil. Akan tidur di mobil sampai pagi datang, lalu memberitahu kakaknya kalau mereka kedatangan tamu, sarapan bersama dan kembali pulang setelahnya.
Lisa yang akan bersikeras untuk tetap tinggal bersamanya, tidak ada dalam rencana itu. Gadis itu akan ikut ke mobil Jiyong tidur di mobil. Ia juga akan tetap berada di kamar, kalau Jiyong tetap di sana. Karenanya, sekarang mereka duduk berdua di dalam ruang sempit itu. Rasanya luar biasa canggung melihat Lisa duduk di tempat Karina biasa bersandar. Duduk di atas matras yoga, bersandar ke dinding sembari menggerak-gerakkan kakinya. Bermain dengan handphonenya, sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan Jiyong di sana—meski Karina biasanya membaca komik di sana.
"Aku akan tidur di lantai, kau tidur lah di ranjang," Jiyong berdiri sekarang. Mengulurkan tangannya untuk menepuk ujung kaki Lisa, menyuruhnya naik ke ranjang. Hanya spons tebal, tanpa divan.
Lisa menurutinya, tanpa melepaskan pandangannya dari handphone, gadis itu bergerak ke ranjang. Ia bahkan tidak berdiri, hanya merangkak dengan gerakan yang sama sekali tidak proporsional. Seolah lupa kalau ia memakai sebuah rok pendek sekarang.
"Kau sedang menggodaku?" heran Jiyong, melihat tingkah yang sangat berbeda dengan beberapa jam lalu.
"Aku menemukannya," pelan gadis itu. Hampir tidak bersuara.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle
FanfictionBagai potongan puzzle yang diciptakan untuk satu sama lain, mereka bertemu. Pertemuan yang tidak mereka duga sebelumnya. Berdampingan, bersebelahan mereka dalam kotak takdir itu. Ia isi kekosongan seorang di sebelahnya, melengkapinya, membuat sebuah...