29

293 46 3
                                    

***

"Aku ingin membiarkannya menjalani sendiri hidupnya, aku tidak ingin ikut campur, tapi bagaimana?" bingung Jennie, yang sekarang menutup matanya sendiri. Menekan telapak tangannya, menutupi kedua matanya. Menahan dirinya agar tidak menangis di sana.

Jiyong menghela nafasnya. Ia tahu keberadaannya bisa mengingatkan Lisa pada kehancuran itu, tapi menjauhi gadis itu juga sulit baginya. Yang saat ini bisa ia lakukan hanya mengulurkan sekotak tisu pada Jennie, bahkan menghibur gadis itu saja ia tidak bisa.

"Aku akan-"

"Augh! Menyebalkan! Padahal aku sudah berlatih agar tidak menangis di sini," gerutu Jennie, menghapus air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya. Memastikan tidak ada satupun bulir yang jatuh di depannya. "Aku datang untuk bertanya padamu, bagaimana hubungan kalian waktu itu. Apa dulu kau memperlakukannya dengannya baik?" tanya Jennie kemudian, berlaga kuat di depan Jiyong.

Pria itu menggeleng. Mengatakan kalau ia tidak memperlakukan Lisa dengan baik. "Saat itu dia menyukaiku, tapi aku berkencan dengan gadis lain," kata Jiyong, menyingkat ceritanya.

"Kau berkencan setelah tahu dia menyukaimu?"

"Tidak. Aku sudah berkencan jauh sebelum itu," tenangnya. Tentu saja karena Jennie tidak akan peduli dengan kisah cintanya yang tidak seberapa romantis itu. "Setiap hari dia menemuiku, mengaku kalau dia menyukaiku. Dia hanya anak-anak, waktu itu aku tidak terlalu memikirkannya."

"Lisa tahu kau sudah punya pacar tapi tetap menemuimu dan bilang begitu? Setiap hari?" tanya Jennie, lalu Jiyong menganggukan kepalanya. "Gadis gila... Kenapa dia melakukannya?" heran Jennie tapi kali ini Jiyong hanya menggeleng karena tidak pernah tahu jawabannya. Ia tidak pernah tahu kenapa Choi Lisa sangat menyukainya waktu itu. "Apa yang kau lakukan padanya sampai dia tergila-gila padamu begitu?" tanya Jennie sekali lagi, dan lagi Jiyong menggelengkan kepalanya. Jiyong tidak merasa dirinya pernah menyelamatkan Lisa atau sesuatu yang semacam itu sebelumya.

Keduanya sama sekali tidak punya petunjuk, apa alasan Lisa sangat menyukai Jiyong waktu itu. Meski begitu obrolan mereka kali ini tidaklah sia-sia. Berkat jawaban Jiyong, Jennie punya sebuah kesimpulan—sekarang kepala Lisa memang tidak bisa mengingat pria yang dulu amat disukainya, tapi tubuhnya mengingat pria itu. Tapi hatinya mengingat Jiyong. Karena itu, meski tidak bisa mengatakan kalau ia menyukai Jiyong, gadis itu ingin terus menemuinya. Lisa selalu ingin menemui Jiyong, hampir setiap hari, seperti dulu, ketika ia sangat menyukai pria itu.

Sayangnya kesimpulan itu tidak bisa mengatasi apapun. Karena kesimpulan itu, Jennie jadi ragu untuk melarang adiknya menemui Jiyong. Ia mengkhawatirkan adiknya, tapi di saat yang sama gadis itu juga mengasihaninya. Kasihan Lisa kalau sekali lagi ia harus berpisah dengan pria yang sangat disukainya—pikir Jennie.

"Tapi sebenarnya ada sesuatu yang menggangguku," Jiyong berkata, di saat lawan bicaranya masih terdiam. Mencari-cari jalan tengah diantara persimpangan rumit itu.

"Apa?"

"Lisa pernah bertanya—kenapa Choi Lisa bunuh diri padahal dia berjanji akan menemuimu di kedai kopi?" jawab pria itu.

"Kalian akan bertemu malam itu?" tanya Jennie dan Jiyong mengangguk.

Di depan Jennie, pria itu menceritakannya, kalau sebelum berangkat ke sekolah untuk lokakarya, Lisa mengajaknya minum kopi. Nanti, sepulang dari lokakarya itu.

"Sebelum berangkat dia mengajakmu minum kopi, tapi setelah satu malam menginap di gunung itu, di pagi harinya, orang-orang baru tahu kalau dia melompat ke jurang?" tanya Jennie, meluruskan alur waktunya.

Sekali lagi Jiyong menganggukan kepalanya. Sedari pagi Lisa menghilang sampai malam, tim pencari disebar untuk menemukan Lisa. Malam ketika orang-orang masih panik mencari Lisa, malam itu lah ia seharusnya bertemu gadis itu di kedai kopi. Lalu, kalau ditanya kenapa Jiyong baru membicarakannya sekarang, sebelumnya pria itu tidak tahu.

Sampai Lisa bertanya padanya—kenapa Choi Lisa melompat dihari seharusnya gadis itu pergi kencan?—Jiyong tidak pernah sadar kalau pertanyaan itu penting. Jiyong hanya terselimuti rasa bersalah, tanpa ia pernah tahu kalau waktu itu Choi Lisa sangat menyukainya. Sekali lagi, saat itu Jiyong hanya menganggapnya sebagai anak-anak yang baru saja pubertas.

Jennie memutuskan untuk pergi, setelah mereka hanya bisa menerka-nerka skenario dalam kepala Lisa. Apapun yang mereka pikirkan sekarang, Lisa tetap tidak bisa mengingatnya, dan akan lebih baik kalau gadis itu tetap tidak bisa mengingatnya. "Aku tidak akan menemuinya lebih dulu, aku hanya akan datang kalau dia ingin aku ke sana. Hanya itu yang bisa aku lakukan, aku tidak bisa tiba-tiba menghilang, tiba-tiba meninggalkannya, aku tidak ingin melukainya lagi," kata Jiyong, memberitahu Jennie tentang apa yang bisa ia lakukan sekarang.

"Baiklah, apa boleh buat," pelan Jennie, tahu kalau ia tidak lagi bisa mengusir Jiyong dari hidup adiknya. "Bukan salahmu kalau dia sangat menyukaimu, meski aku tetap tidak bisa mengerti apa yang dia lihat darimu," susulnya kemudian, lantas bangkit dan berpamitan pergi dari sana.

Masih di hari yang sama, tapi setelah matahari terbenam. Selepas menyelesaikan pekerjaannya, setelah ia selesai dengan kelas terakhirnya, Jiyong melangkah sampai ke asrama. Ia tidak mengendarai mobilnya malam ini, merasa kalau Lisa akan langsung menyadari keberadaannya jika ia memarkir mobilnya di sekitaran asrama.

Pria itu berdiri di sebrang jalan sekarang. Melihat ke asrama dari kejauhan, berharap ia bisa diam-diam melihat Lisa. Jiyong tidak bermaksud mengingkari janji yang dibuatnya pada Jennie. Ia hanya ingin melihat Lisa dari jauh, diam-diam melihatnya. Tanpa sepengetahuan siapapun, Jiyong sudah beberapa kali melakukannya. Terlebih saat Lisa tidak menghubunginya selama beberapa hari. Kadang-kadang ia berhasil melihat Lisa, tapi sering juga gagal. Entah karena Lisa tidak ada di asrama, atau gadis itu hanya sedang tidak ingin keluar.

Malam ini keberuntungan sepertinya memihak padanya. Lisa keluar dari asrama sekarang. Berjalan bersama seorang mahasiswa, lalu menemui keluarga anak itu di trotoar. Mereka berbincang di sana, dan Lisa terus tersenyum pada orang-orang itu.

"Bagaimana bisa seorang sepertinya di rundung sebegitu parah?" Jiyong keheranan, merasa kalau hidup Lisa sangat amat ironis.

Ia terus memperhatikannya, melihatnya dari rambut sampai ke kaki lalu pandangannya berhenti di kaki jenjang gadis itu. Diam-diam Jiyong membayangkannya, kaki Lisa terbakar karena ulah teman-teman di sekolahnya. Ia bayangkan bagaimana kesakitannya Lisa waktu itu. Lalu ia bayangkan juga bagaimana Lisa berbohong pada orangtuanya.

"Ini hanya kecelakaan di laboratorium," mungkin itu yang Lisa katakan pada Tuan dan Nyonya Choi. Gadis itu mungkin berbohong sampai kedua orangtua angkatnya tidak tahu kalau putri mereka dirundung.

Terlalu lama membayangkan bagaimana gadis itu tersiksa. Juga membayangkan bagaimana gadis itu menyembunyikan penderitaannya, membuat Jiyong kesulitan untuk bernafas. Amarah mencekiknya. Rasanya ingin ia hancurkan semua yang pernah melukai Lisa. Mungkin perasaan ini yang Jennie dan keluarganya rasakan selama ini. Tersiksa diantara perasaan yang bertolak belakang. Ingin membalas semua penjahat itu, tapi disaat bersamaan mereka juga takut Lisa akan mengingat semua mimpi buruknya.

Jiyong terus melihat ke arah gadis itu. Terus menahan dirinya dengan nafas yang mulai memburu. Tubuhnya bergetar menahan emosi yang bergejolak dalam kepalanya. Sampai tidak disadarinya kalau Lisa menyadari tatapannya. Sampai tidak ia sadari kalau sekarang Lisa berjalan ke arahnya.

"Oppa?" tegur gadis itu, dan baru lah Jiyong tersadar dari emosinya. "Kenapa kau ke sini?" Lisa kembali bicara, tapi Jiyong hanya menyadari kehadirannya, pria itu tidak serta merta kehilangan amarahnya. Tidak tiba-tiba kehilangan emosinya.

Tanpa mengatakan apapun, karena takut mulutnya hanya akan mengeluarkan sumpah serapah dan semua amarahnya, Jiyong mendekati gadis itu. Ia potong jarak di antara mereka, lalu tanpa sempat Lisa bisa menghindar, Jiyong memeluknya.

Lisa sempat terkejut. Ia mendorong Jiyong sekarang. Namun pelukannya terlalu erat. Dekapan pria itu terlalu dalam, hingga tidak ada lagi yang bisa Lisa lakukan selain memasrahkan dirinya.

"Oppa? Ada apa? Sesuatu terjadi?" tanya Lisa, tentu khawatir karena Jiyong tiba-tiba memeluknya. Pelukan yang teramat erat tanpa kata-kata. Hanya tarikan nafas dalam yang bisa Lisa dengar saat ini.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang