26

187 35 0
                                    

***

"Tadi paman ke sini," lapor Karina, tepat setelah Lisa kembali ke dalam kamarnya. "Eonni tidak bertemu dengannya di luar?" tanyanya.

"Kenapa dia ke sini?"

"Hanya bertanya dimana eonni akan tidur, lalu aku bilang eonni akan tidur di sini. Jadi dia pergi mandi lalu makan dan keluar lagi. Eonni darimana? Tidak bertemu dengannya?"

"Ah... Aku mengantuk," balas Lisa, mengangguk dan mulai berbaring untuk tidur.

"Dia sudah tiga hari tidak mandi," kata Karina sekali lagi. "Eonni tahu? Walaupun paman kelihatan seperti pria dewasa, tipe-tipe dosen dingin yang ketus, sebenarnya dia kekanakan sekali, manja sekali. Sakit sedikit saja dia tidak bisa menahannya," cerita gadis itu, berfikir kalau Lisa mungkin ingin mendengarnya.

"Sungguh?" tanya gadis itu, berlaga antusias.

"Sungguhan! Pernah saat aku masih kelas sebelas, dia kesini saat natal, lalu eomma menyuruhnya mengupas apel tapi dia melukai tangannya sendiri. Dia berteriak, lalu menunjukan tangannya yang berdarah pada ibu dan ayahku. Ibuku mengobatinya, tentu saja sambil dimarahi karena ceroboh. Tapi setelah itu, paman tidak mau disuruh mengupas apel lagi. Paman juga tidak mau mencuci piring, dia bahkan tidak mau mandi. Katanya tangannya sakit kalau kena air. Dia sampai mengajakku ke salon karena tidak mau keramas sendiri dengan tangannya yang terluka itu," cerita Karina, menikmati pembicaraan itu. Senang karena ada seseorang yang bisa ia ajak membicarakan keburukan pamannya.

Lisa tidak habis pikir setelah mendengarnya. Tapi setelah Karina memberitahunya, kalau Jiyong tidak turun untuk makan malam karena kakinya sakit, gadis itu jadi tidak terlalu kesal lagi. Dia mungkin tidak turun karena kakinya, bukan karena ingin menghindariku—nilai Lisa sekarang.

"Ibuku bilang, paman itu manja sekali. Sedari kecil," kata Karina, belum selesai dengan semua aib pamannya yang ia tahu. "Jatuh sedikit menangis, diejek sedikit menangis. Dia rapuh sekali seperti bayi. Setelah besar, dia tidak menangis tapi tetap manja. Saat pamanku kuliah, dia tinggal sendiri di dekat kampusnya, tapi nenekku sering mengunjunginya. Lalu karena nenekku meninggal, paman jadi tinggal di sini."

"Bukannya dia kuliah ke luar negeri?"

"Hm... Tapi dia hampir tidak jadi berangkat. Selain sedih karena Choi Lisa, dia juga takut pergi sendiri. Bagaimana kalau dia tidak bisa bertahan di sana? Bagaimana kalau dia sakit sendirian di sana? Ibuku hampir tidak mengizinkannya pergi. Tapi akhirnya dia tetap nekat pergi."

"Setelah itu dia jadi mandiri?"

"Tidak! Dia meneleponku setiap jam makan, tidak ingin makan sendirian katanya. Karena disini dia biasa makan bersamaku, dia jadi meneleponku untuk makan," seru Karina. "Teman-temanku sampai mengira kalau aku punya pacar diluar kota karena terlalu sering menelepon," sebalnya. "Aku selalu berharap dia punya pacar, jadi ada seseorang yang mengurusnya. Tapi eomma bilang itu tidak adil untuk pacarnya, kasihan pacarnya," susulnya.

Mereka terus membicarakan Jiyong, hingga hari mulai pagi dan keduanya terlelap. Kira-kira pukul empat pagi, Lisa dan Karina baru sama-sama tertidur setelah sepanjang malam membicarakan aib sang paman. Bahkan saat ibunya Karina menyiapkan sarapan, Lisa tidak bisa bangun karena terjaga semalaman.

Justru Jiyong yang lebih dulu bangun, turun ke rumah utama untuk memakai kamar mandinya lalu ke dapur menyapa kakaknya. "Kapan kau akan memperbaiki kamar mandi di atas?" tanya Jiyong, menggantikan ucapan selamat pagi yang harusnya ia katakan.

"Kau akan terus tinggal di sini? Bagaimana dengan pekerjaanmu?"

"Kau sengaja tidak memperbaiki kamar mandinya agar aku pergi? Kakiku masih sakit!" rengek Jiyong. "Aku sudah memberimu uang untuk memperbaiki kamar mandinya. Aku tidak bisa terus turun hanya untuk ke kamar mandi," keluh pria itu, seolah tengah merajuk pada ibunya sendiri.

"Dokter bilang kakimu sudah sembuh," balas sang kakak, tentu sembari menyiapkan banyak lauk untuk sarapan tamu mereka. "Jangan berisik, Karina dan mantan pacarmu masih tidur," tegurnya, kali ini lebih pelan daripada sebelumnya. Wanita itu juga bilang kalau Karina dan tamunya baru tidur saat pagi tadi, mereka berdua sempat membuat mie instan tadi malam, saat semua orang sudah terlelap.

Jiyong mengeluh, mengatakan kalau kakinya masih sakit meski dokter sudah menganggapnya sembuh. Kakinya masih terasa nyeri setiap kali ia menginjak lantai lalu menopang tubuhnya sendiri. Jiyong terus mengeluh, sembari mengambil beberapa lauk untuk sarapannya di atas, hingga sang kakak menghela nafasnya.

"Augh! Apa kau anak-anak? Berhenti lah mengeluh, kau tidak malu pada mantan-"

"Sudah berapa kali aku bilang dia bukan mantan pacarku? Augh! Menyebalkan! Aku ada pekerjaan di atas, jangan menyuruhku turun!" potong Jiyong, sebelum akhirnya pergi meninggalkan sang kakak.

"Dia bisa berjalan normal, kenapa berlaga pincang? Augh! Kapan anak itu bisa dewasa?!" gerutu sang kakak, melihat tingkah adiknya yang menurutnya jadi semakin berlebihan. Si pencari perhatian—nilai sang kakak.

Setelah makan siang, Lisa memutuskan untuk pulang. Ia perlu mengembalikan mobil yang dipinjamnya, sebab malam nanti pemilik mobil itu harus pergi berkencan—di Sabtu malam. Ia berpamitan pada Karina juga orangtuanya, berterima kasih atas makanan dan tempat tidur disana. Lisa masih mengobrol di luar gerbang, masih berpamitan pada Karina dan orangtuanya ketika Jiyong yang sedari tadi ada di kamarnya sekarang turun ke bawah.

Ia sudah memakai kemeja juga celana panjangnya ketika turun. Melangkah dengan tertatih-tatih membawa tas jinjing berisi laptopnya. "Beri aku tumpangan pulang," katanya begitu sampai di depan yang lainnya. Ia menoleh pada Lisa ketika mengatakan itu, sedang Lisa hanya mengerutkan dahinya, sedikit terkejut dengan permintaan yang tiba-tiba itu. "Aku akan pulang bersamanya, kamar mandi di sini terlalu jauh," susulnya, melirik ketus pada kakak kandungnya.

"Ya! Berhentilah pura-pura sakit! Kau bisa pulang sendiri ke rumahmu!" omel sang kakak, ingin sekali mengatakan pada Lisa kalau Jiyong hanya berlaga sakit sekarang. Hanya sedang mencari perhatian agar punya cukup waktu bersamanya.

"Kalian berdua berhentilah bertengkar, ada tamu di sini," sela si kakak ipar, sedang Karina hanya menghela nafasnya, sudah terbiasa dengan suasana seperti ini.

Lisa tidak punya alasan untuk menolak. Jiyong masih berlaga sakit di sana, ia akan terlihat buruk kalau menolak membantu seorang pasien. Terlebih setelah dirinya mengantar Karina yang ketinggalan kereta. Kau mau mengantar Karina yang masih sehat dan mampu membeli tiket baru, tapi tidak ingin membantu seorang pasien yang tidak bisa menyetir sendiri?—Lisa tidak ingin dihujani dengan pertanyaan seperti itu, karenanya ia biarkan Jiyong untuk masuk ke mobil dan pulang bersamanya.

Mereka berkendara untuk pulang, lalu belum jauh dari rumah itu, hanya sekitar beberapa meter dari persimpangan muncul sepasang suami istri dengan pakaian mendaki mereka. Lisa melihat mereka, sebab ia melambatkan laju mobilnya agar tidak mengejutkan kedua orang itu. Jiyong juga melihatnya—Tuan dan Nyonya Choi—tapi tidak mengatakan apapun.

Jiyong memperhatikan kedua orang itu, juga memperhatikan Lisa. Sedikit berharap Lisa akan mengingat kedua orang itu, namun cepat-cepat merubah harapannya. Seperti yang Jennie katakan, lebih baik Lisa tidak mengingat alasannya bunuh diri di gunung.

"Oh? Itu Tuan Choi," komentar Karina, yang melihat mobil pengurus asramanya berpapasan dengan orangtua Choi Lisa. "Kemarin Lisa eonni ingin melihat bagaimana wajah orangtuanya Choi Lisa," susulnya. "Tuan dan Nyonya Choi pasti terkejut melihat seseorang mirip sekali dengan putri mereka," katanya, bicara pada sang ibu namun dilarang memberitahu pasangan yang terus berduka itu. Diminta untuk tidak mengatakan apapun, sebab semua orang dilingkungan itu mengkhawatirkan Tuan dan Nyonya Choi yang terus sedih meski sudah sepuluh tahun kehilangan putri mereka.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang