***
Ia keluar dari rumahnya dengan rambut cokelatnya yang tergerai. Rambut bergelombang itu mengayun cantik di balik bahunya, bergerak di tiap langkahnya meninggalkan rumah. Senyum ayah dan ibunya, mengantar kepergiannya pagi ini. Dengan ranselnya, dengan seragam sekolahnya, ia pergi meninggalkan istana nyaman itu.
Tersenyum saat melewati gerbang rumahnya yang berkarat, melangkah sembari menyapa beberapa tetangga. Bibi di rumah sebelah, juga nenek di rumah depan. Mereka yang pagi ini pun sibuk, sama sepertinya. Melewati beberapa rumah, kakinya berhenti. Sesekali ia menoleh ke belakang, melambai pada seorang bocah kecil lalu mengulurkan permen miliknya pada bocah itu.
Rutinitas paginya selalu begitu. Pergi ke sekolah dengan menyapa semua yang ia temui. Jalan menuju sekolahnya luar biasa menyenangkan, terlebih saat ia berhenti di depan sebuah rumah seperti sekarang. Rumah itu ditinggali beberapa orang, namun hanya seorang yang selalu ia tunggu-tunggu kemunculannya. Dari atap bangunan dua lantai itu, seorang pria turun.
Ia lambaikan tangannya, menyapa si pria yang baru saja keluar lewat pintu rumah atap itu. Tersenyum padanya sembari melompat, agar saat pria itu sampai di bawah, setelah menuruni tangga, ia masih bisa melihatnya. Ada hari dimana pria itu mengabaikannya, langsung masuk ke dalam rumah lewat pintu utamanya. Ada juga hari dimana pria itu sengaja keluar, hanya untuk menegurnya.
"Lisa-ya, berhenti mengintip," tegur pria itu, dengan wajah bantalnya. Baru saja bangun dari tidurnya yang melelahkan.
"Aku tidak mengintip," gadis dengan seragam itu menggeleng. "Tapi selamat pagi, oppa, aneh sekali, kau tetap tampan meski baru bangun," katanya, dengan senyum yang mengembang sempurna. Manis seperti roti lembut yang baru saja keluar dari oven.
"Augh! Anak ini benar-benar, sana pergi sekolah, kau akan terlambat!" usir pria itu dan Lisa yang cantik menganggukan kepalanya.
"Tunggu aku lulus, nanti aku akan menyatakan cintaku dan oppa harus menerimanya, oke?" sekali lagi ia goda pria itu, dengan candaannya yang serius.
Paginya sudah sempurna sekarang. Semua tugas sudah dikerjakannya, ia sudah mengisi perutnya dengan sarapan spesial buatan ibunya, dan ia juga sudah menyapa pria yang di sukainya. Seorang mahasiswa yang baru saja pindah ke rumah kakaknya. Seorang pria yang baru satu tahun terakhir ini ia lihat. Mahasiswa tahun keempat yang sibuk dengan tugas kuliahnya. Pria yang tidak pernah Lisa lihat sebelumnya di lingkungan rumahnya. Penyemangatnya pergi ke sekolah setiap pagi.
Meski begitu, pagi yang sempurna itu harus berakhir tepat setelah ia menginjakan kakinya di sekolah. Begitu kakinya melewati gerbang sekolah, harus ia hadapi tatapan orang-orang yang membencinya. Mereka benci rambut cokelatnya yang bergelombang. "Siswa sekolah ini tidak boleh mengecat rambut," begitu peraturannya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Ketika rambutnya memang cokelat sedari lahir?
Matanya yang bulat sempurna, sejernih lautan itu pun dibenci. Terlalu cantik, gadis-gadis di sekolah itu tidak menyukainya. Semua murid sekolah khusus perempuan itu tidak menyukainya. Tubuhnya yang tetap ramping meski sebanyak apapun ia makan, juga dibenci semua murid di sana. Terlebih karena ia yang selalu tersenyum, meski orang-orang mengganggunya. Senyumnya yang cantik itu lah, yang jadi alasan terbesar orang-orang membencinya.
Satu hari, sebuah permen karet dibuang ke rambut cokelatnya yang cantik itu. Di hari lainnya, saat makan siang, mulutnya dijejali setumpuk roti. Dipaksa menelan semuanya, sampai perutnya gemuk. Hingga pada hari lokakarya sekolah, mereka semua kehilangan si cantik itu. Lokakarya dilakukan di sebuah gunung. Menginap dalam tenda selama dua hari satu malam.
Namun sepertinya gunung itu mencintai Lisa yang cantik. Namun sepertinya, Lisa jatuh hati pada gunung rindang yang tenang itu. Hanya barang-barang di tendanya yang tersisa. Malam mereka menginap, ia pergi. Lalu tidak lagi kembali sebanyak apapun mereka mencari.
"Lisa bunuh diri," begitu keputusan mereka setelah berhari-hari mencari. Hanya jaketnya yang ditemukan. Hanya satu dari sepasang sepatunya yang bisa mereka bawa pulang. "Aku tidak tahan lagi, eomma, appa, maafkan aku," begitu pesan yang ia tinggalkan, di dalam ranselnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle
FanfictionBagai potongan puzzle yang diciptakan untuk satu sama lain, mereka bertemu. Pertemuan yang tidak mereka duga sebelumnya. Berdampingan, bersebelahan mereka dalam kotak takdir itu. Ia isi kekosongan seorang di sebelahnya, melengkapinya, membuat sebuah...