***
Lisa duduk di ranjang sekarang. Kali ini ia sudah menutup kakinya dengan selimut, sementara Jiyong ada di lantai. Pria itu berbaring di lantai beralaskan matras yoga sekarang. Akan terlelap dengan jaket yang ia jadikan selimut.
Belum lama sejak Jiyong memejamkan matanya, Lisa berujar, "apa mungkin seseorang bisa semirip ini?" tanyanya sedikit heran. "Seperti Doppelgänger? Apa itu benar-benar mungkin?" katanya, membuat Jiyong kembali membuka matanya. Menoleh untuk melihat apa yang sedang Lisa lakukan. "Dia terlihat sama sepertiku, ini Choi Lisa yang oppa bicarakan, kan?" tanyanya sekali lagi, tapi kali ini sambil ia ulurkan handphonenya, menunjukan foto seorang perempuan yang diberi ucapan berbelasungkawa. Foto Choi Lisa dengan seragam sekolahnya, foto yang diambil untuk pembuatan buku tahunan.
"Apa dia benar-benar aku? Aku itu dia? Tapi tidak mungkin, aku sama sekali tidak ingat pernah tinggal di sini. Aku tidak pernah tinggal di sini," ocehnya, sibuk dengan rasa penasarannya sendiri.
"Tidur lah sekarang sudah jam tiga pagi," tegur Jiyong. Melihat Lisa bertingkah seperti sekarang, pria itu jadi merasa bodoh—bagaimana aku bisa mengira mereka Lisa yang sama? Mereka jelas berbeda sekarang. Lalisa Kim sama sekali tidak mengingat Choi Lisa meski sudah melihat fotonya.
"Bagaimana aku bisa tidur? Aku belum cuci muka, aku juga tidak bisa tidur dengan pakaian begini," balas gadis itu. "Tapi ini benar-benar Choi Lisa? Bukan aku? Apa mereka mengedit fotoku? Tapi untuk apa? Aku bahkan tidak mengenal mereka," katanya, terus mengoceh sembari memandangi foto Choi Lisa yang sekarang ada di handphonenya.
"Augh! Kenapa tidak bilang sedari tadi?" heran Jiyong, yang lagi-lagi dibuat harus bangun dan membuka pintunya. Ia menyuruh Lisa mengikutinya sekarang, mengajak Lisa ke sudut atap itu untuk menemukan kran air agar gadis itu bisa membasuh wajahnya.
"Tidak ada sabun untuk wajah?" tanya gadis itu, membuat Jiyong langsung menarik dalam-dalam nafasnya. Gadis ini jauh lebih merepotkan daripada Karina—Jiyong baru menyadarinya. "Tidak ada? Baiklah, tidak apa-apa," katanya, buru-buru sebelum Jiyong berkomentar. Sekarang gadis itu membungkuk untuk membasuh wajahnya. Tapi karena tidak ada ikat rambut, sebagian rambunya jadi basah. Khawatir gadis itu akan sakit, kalau rambutnya basah, Jiyong mengulurkan tangannya untuk memegangi helai-helai rambutnya.
Lisa selesai dan Jiyong mengulurkan selembar handuk padanya. Tentu setelah pria itu melepaskan rambutnya. Ia akan kembali ke kamar sekarang, tapi Lisa menahan tangannya. "Kau tidak mencuci wajahmu juga? Tidak boleh, meskipun tidak mandi, setidaknya basuh wajahmu sebelum tidur," tahan Lisa, menyuruh Jiyong untuk membasuh juga wajahnya.
Jiyong tidak punya alasan untuk membantah. Meski ia benar-benar tidak menyukainya—air malam yang dingin mengenai kulitnya. Baru setelah pria itu membasuh wajahnya, Jiyong mencarikan pakaian tidur untuk Lisa. Awalnya pria itu mencari di deretan pakaian yang dijemur—mungkin ada pakaian Karina yang bisa Lisa pakai di sana. Tapi karena tidak menemukan apapun, akhirnya pria itu memberikan baju olahraganya pada Lisa. Sebuah celana olahraga hitam dengan kaus yang juga hitam.
"Ganti pakaianmu, aku tunggu di luar," suruh Jiyong, setelah ia berikan pakaiannya.
"Tunggu di luar tapi jangan pergi ke mobil," titah gadis itu. "Aku serius, jangan pergi ke mobil, aku akan berteriak kalau oppa pergi," susulnya.
"Iya, aku tidak akan pergi kemana-mana," sebal Jiyong, karena Lisa terus merengek, memintanya untuk tetap tinggal. Choi Lisa yang sangat manis, tidak mungkin tumbuh dan berubah jadi anak manja seperti ini—pikir Jiyong, tentu tanpa menunjukkan penilaian itu di depan Lalisa.
Sekarang giliran Jiyong yang perlu mengganti pakaiannya. Lisa akan menunggu di luar. Gadis itu benar-benar berdiri di luar tapi ia menahan pintu kamarnya agar tidak tertutup rapat. Ia beri jarak sekitar lima sentimeter agar bisa langsung masuk ke dalam kamar kalau-kalau ada monster muncul dari balik pakaian di tiang jemuran.
"Oppa? Belum selesai?"
"Sebentar lagi."
"Masih belum?"
"Tunggu sebentar lagi."
"Kenapa lama sekali? Berapa baju yang kau pakai?" desak Lisa, tidak tahan berdiri sendirian di luar meski hanya beberapa menit—tidak sampai tiga menit.
"Kau benar-benar akan bersikap begini?" heran Jiyong yang akhirnya menghampiri Lisa untuk membiarkannya masuk. Ia hanya perlu memakai kausnya sekarang, ia bisa melakukan itu meski Lisa ada di dalam kamarnya.
"Apa? Apa yang aku lakukan? Aku hanya bertanya," balas gadis itu, hanya melirik pada Jiyong yang masih memakai kausnya sembari bergerak masuk dan naik ke atas ranjang. Kembali meraih handphonenya di sana sebelum berbaring. "Bateraiku habis," lapornya kemudian, meminta Jiyong untuk mengisi daya handphonenya sebelum tidur.
"Kau tidak bisa melakukannya sendiri? Manja-"
"Apa aku yang minta diajak ke sini?" potong gadis itu. "Memangnya ini rumahku? Oppa yang mengajakku ke sini, kau bahkan tidak bilang apa-apa saat kita berangkat ke sini. Apa kau tidak dengar tadi aku bertanya kemana kita akan pergi? Apa aku memintamu melayaniku? Aku hanya-"
"Aku bersalah, aku minta maaf," Jiyong menyela omelan itu. Ia tutup pintu kamarnya, menguncinya dari dalam lalu kembali ke matras yoganya. Ia duduk di sana sekarang, menatap pada gadis yang ada di ranjangnya. "Aku benar-benar minta maaf, maafkan aku," ulangnya.
"Matikan lampunya, aku mau tidur," ketus gadis itu. Sengaja mengabaikan permintaan maaf temannya, cepat-cepat masuk ke dalam selimutnya lalu berbaring memunggungi Jiyong.
Sekarang Jiyong kembali berdiri. Ia harus mengisi baterai handphone Lisa, juga mematikan lampu sebelum ikut berbaring. "Maaf," pelan pria itu, sengaja mengusap rambut teman yang ia bawa ke rumah kakaknya, tepat sebelum dirinya sendiri berbaring di atas matras yoganya.
Lisa belum bisa tidur sekarang. Begitu juga dengan pria di sebelahnya. Dalam gelap, mereka sibuk menenangkan kepala masing-masing. Lisa penasaran, bagaimana selama ini Jiyong melihatnya. Apa ia dilihat sebagai dirinya sendiri, atau dilihat sebagai pengganti gadis yang bunuh diri itu. Kami bukan kekasih atau sejenisnya, untuk apa aku kecewa?—berulang kali ia memikirkan pertanyaan itu, tapi tidak satupun jawaban muncul dalam benaknya.
Malam ini terasa seperti Jiyong sedang marah karena ia bukan Lisa yang ditunggunya. Marah karena ia bukanlah Lisa yang dicarinya. Bukan juga Lisa yang ia harapkan kehadirannya. Pria itu menunjukkan perasaannya dengan terlalu jelas, membuat Lisa hampir menangis karena tidak ingin berada di sana.
"Lisa-ya, aku minta maaf," dalam gelap pria itu kembali bicara. Membuat suaranya yang pelan itu terdengar begitu memilukan. "Maaf, sepertinya aku kecewa, karena salah mengenalimu. Sepertinya aku terlalu mengharapkannya, kalau kalian orang yang sama. Anak itu selalu muncul di depanku, sambil bilang—oppa menyesal kan? Karena tidak memperlakukanku dengan baik sekali lagi? Karena tidak melihatku sekali lagi? Karena tidak tersenyum padaku sekali lagi?—setiap hari aku memikirkannya. Sekeras apapun aku ingin melupakannya, dia terus datang. Lalu kita bertemu dan... dan aku berharap kalau kalian orang yang sama. Kalau kalian orang yang sama, aku mungkin bisa menebus kesalahanku, aku pikir begitu. Tapi sepertinya sekarang aku hanya mengulangi kesalahanku sebelumnya. Sepertinya sekarang aku melukaimu juga. Ada apa denganku? Augh, bajingan. Aku minta maaf, Lisa. Benar-benar minta maaf," tanpa bertukar tatap, hanya dengan melihat punggung Lisa yang tenang di posisinya, pria itu mengakui kesalahannya. Membuat Lisa benar-benar menjatuhkan air matanya, diam-diam.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle
FanfictionBagai potongan puzzle yang diciptakan untuk satu sama lain, mereka bertemu. Pertemuan yang tidak mereka duga sebelumnya. Berdampingan, bersebelahan mereka dalam kotak takdir itu. Ia isi kekosongan seorang di sebelahnya, melengkapinya, membuat sebuah...