34

150 39 0
                                    

***

Keduanya sama-sama diam. Suasana canggung memenuhi seisi ruangan. Kamar sempit itu terasa sangat menyesakan sekarang. Jiyong ingin pergi, tapi Lisa tidak ingin pria itu pergi. Rasanya akan sangat menyedihkan, kalau Jiyong pergi begitu saja setelah apa yang mereka lakukan semalam.

"Aku harus bekerja," Jiyong berkata, sementara Lisa masih melamun, meratapi perbuatannya semalam. Memikirkan reaksi Jennie kalau ia tahu tingkahnya tadi malam, juga membayangkan bagaimana gadis itu akan mengadukannya pada orangtua mereka.

"Tidak boleh," tahan gadis itu. "Aku akan dipecat kalau ketahuan membawamu ke sini, sekarang masih ramai," susulnya, setengah berbohong hanya untuk menahan Jiyong di sana.

Kalau Jiyong tetap tinggal, ia mungkin akan merasa lebih baik. Kalau Jiyong tetap di sana, ia mungkin tidak akan merasa terlalu menyedihkan. Setidaknya Lisa tidak perlu merasa hina karena ditinggalkan setelah bersetubuh saat mabuk. Terlebih karena ia yang memaksa pria itu untuk melakukannya.

Jiyong tetap duduk di tepian ranjang. Hanya menghela nafasnya karena tidak dibiarkan pergi. Ia berlaga santai sekarang. Bertingkah kalau apa yang mereka lakukan semalam bukan hal luar biasa baginya. Meski pada kenyataannya, jantungnya hampir meledak sekarang. Sama seperti Lisa yang resah karena pergulatan semalam, Jiyong pun begitu. Hanya saja, ia terlalu malu untuk menunjukannya.

"Saat aku mabuk dan oppa memperkosa-"

"Aku tidak memperkosamu," sela Jiyong, sulit sekali untuk menahan rasa malunya sekarang.

Lisa benar. Ia memang berengsek, gadis itu mabuk semalam, dan sekeras apapun Lisa memaksanya, sebagai seorang pria yang sadar, Jiyong harusnya tidak menuruti keinginan gadis itu. Ia harusnya bisa menahan dirinya, nafsunya. Tapi ia memilih untuk tidak menahannya, ia memilih untuk menuruti ocehan gadis mabuk semalam. Karenanya ia jadi pria berengsek sekarang.

"Kau melakukannya," balas Lisa, yang kali ini buru-buru melanjutkan pertanyaannya sebelum Jiyong menyelanya lagi. "Tapi, saat kita melakukannya, siapa yang kau lihat? Aku? Choi Lisa?" tanyanya.

Sekarang Jiyong ingat akan tangisan gadis semalam. Jiyong ingat akan bagaimana kesalnya gadis itu atas semua sikapnya. "Aku merasa menyedihkan karena harus bersaing dengan seorang yang sudah mati! Aku mengasihaninya tapi oppa membuatku membencinya! Dia yang memutuskan untuk mati, kenapa dia menyalahkanmu atas kematiannya?! Dia yang memilih untuk pergi, tapi kenapa dia terus menghantuimu?!" Begitu yang Lisa teriakan semalam, di bar dengan botol-botol alkohol kosong di atas meja.

Tadi malam Jiyong marah karena mendengar kalimat itu keluar dari bibir Lisa. Choi Lisa tidak pernah ingin mati, keadaan yang membuatnya begitu. Rasanya seperti ada dua orang perempuan yang saling membenci di sana dan Jiyong memilih Choi Lisa untuk ia bela. Semalam emosinya tersulut karena ucapan gadis mabuk itu. Tapi pagi ini ia merasakan sesuatu yang berbeda. Sekali lagi Lisa benar, gadis itu memang terlihat menyedihkan karena harus cemburu pada seorang yang sudah pergi—pada masa lalu dirinya sendiri. Dan Jiyong lah yang membuat gadis itu merasa begitu.

Seolah belum cukup dengan masa lalunya yang sulit, Jiyong justru membandingkan mereka. Lalisa Kim yang sekarang duduk di depannya, dengan Choi Lisa yang tetap ada dalam hatinya. Seolah penderitaan gadis itu belum cukup berat, Jiyong justru berharap kalau Lalisa Kim akan mengingat masa lalunya. Berharap gadis itu akan mengingat dirinya di masa lalu, versi Choi Lisa yang menyukainya.

"Kenapa oppa terus menatapku?" gadis yang juga duduk di ranjang itu menegurnya. Menyadarkannya dari lamunannya sendiri. "Pasti Choi Lisa, oppa benar-benar tidak bisa melupakannya? Sudah begini, apa yang masih aku harapkan? Bajingan," susulnya, langsung menebak karena Jiyong tidak segera menjawabnya.

"Kau. Aku melihatmu," Jiyong berucap, sadar kalau ia tidak boleh melukai gadis itu lagi. Ia tidak boleh menolaknya lagi, seperti saat ia menolak Choi Lisa dimasa lalu. "Maaf, aku mencuri kesempatan itu saat kau mabuk. Ini hanya akan terdengar seperti alasan, tapi aku tidak bisa menahannya. Aku sangat menginginkannya, semalam aku sangat menginginkanmu."

"Tapi oppa menolakku sebelumnya?" balas Lisa. "Oppa jadi menginginkanku hanya karena aku mabuk? Apa itu mungkin? Siapapun wanita itu, kalau dia mabuk dan mengajakmu melakukannya, kau akan menginginkannya? Begitu?" tanyanya tidak bisa mempercayai apapun jawaban pria di depannya itu. Kecurigaan selalu datang lebih dulu.

"Kalau ada perempuan mabuk yang tiba-tiba ingin memperkosaku, aku pasti akan menelepon polisi," katanya, disusul tatap tajam lawan bicaranya.

"Harusnya oppa menelepon polisi tadi malam," ketus Lisa menanggapi jawaban Jiyong.

"Bagaimana kalau kau justru menggoda polisinya?" Jiyong balas bertanya. "Aku menyukaimu, tapi aku sendiri pun tidak tahu—aku menyukaimu karena dirimu, atau karena melihat Choi Lisa darimu. Aku terus memikirkannya, aku selalu memikirkannya. Tapi saat kau tiba-tiba menciumku, rasanya salah. Aku masih belum tahu aku memang menyukaimu atau melihatmu sebagai wanita lain, harusnya aku tidak memelukmu, harusnya aku tidak menciummu, karena itu aku menolak."

"Lalu sekarang? Oppa sudah tahu?"

"Masih belum," geleng Jiyong. "Tapi aku tetap menginginkanmu, tetap menyukaimu. Meski aku tidak tahu alasanku menyukaimu, boleh aku tetap menyukaimu? Aku akan memperlakukanmu dengan baik," tanyanya kemudian.

"Kita berkencan? Oppa sedang mengajakku berkencan?"

"Uhm... Tidak?"

"Ya!"

Gadis itu berseru dan Jiyong mengulurkan tangannya untuk mengusap pipinya. Ia melarang Lisa untuk langsung menerimanya. "Jangan langsung mau berkencan dengan pria yang menidurimu saat kau mabuk," larangnya. "Lihat dulu caraku memperlakukanmu dengan baik. Kalau setelah itu, kau juga menginginkanku, kita bisa berkencan. Kau bisa menerimaku setelah kau percaya kalau aku memang menyukaimu," katanya.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang