7

249 54 5
                                    

***

Malam harinya, Jiyong sedikit terkejut melihat Lalisa Kim keluar dari gedung asramanya. Gadis itu keluar setelah seorang pengurus asrama lainnya datang. Ia melangkah menuruni tangga dengan rok pendeknya. Tubuh bagian atasnya ia pakaikan kaus ketat juga jaket yang senada dengan roknya. Melangkah sembari menggoyang-goyangkan tas kecilnya.

Sebelah tangannya sibuk memegangi handphonenya, menelepon dengan senyum di wajahnya. Ia melangkah ke arah gedung olahraga, terus berjalan sampai ke gerbang utama universitas itu. Dari belakang, Jiyong mengekor. Penasaran kemana gadis itu akan pergi. Lalu, setelah sampai di dekat gerbang utama yang dijaga petugas keamanan, gadis itu berhenti, menoleh ke belakang untuk menatap mobil yang mengikutinya.

Teleponnya selesai sekarang lalu Lisa berjalan menghampiri mobil yang akhirnya berhenti itu. Ia mengetuk jendela mobilnya, kemudian menunduk saat Jiyong membuka kaca itu. "Kenapa anda mengikutiku?" tanya Lisa, tentu membuat Jiyong sedikit canggung. Dan pastinya gugup.

"Hanya ragu bagaimana caranya menawarimu tumpangan," katanya kemudian, berhasil menemukan alasan dalam sepersekian detik.

"Apa akan jadi masalah kalau anda menawariku tumpangan?"

"Kau mungkin akan salah paham dan mengira aku menyukaimu?"

"Ya? Whoa... Menarik," komentar Lisa lalu masuk ke dalam mobil itu. "Kemana arahmu pulang? Bapak Dosen?" tanyanya setelah duduk, memakai seat beltnya lalu menunggu mobil itu bergerak.

"Ke kanan, perumahan dosen, gedung C," jawab Jiyong, tapi tidak segera melajukan mobilnya. "Kau tidak khawatir aku mungkin akan melukaimu?" herannya, sebab Lisa langsung masuk dan duduk di sebelahnya.

"Petugas keamanan di sana sudah melihatku masuk ke mobilmu. Mereka tahu aku bekerja di asrama, mereka juga tahu pekerjaanmu, keponakanmu juga ada di asrama. Akan terlalu beresiko kalau kau ingin melukaiku, bukan begitu?" santai Lisa. "Omong-omong, aku bicara dengan santai begini karena sedari awal kau juga begitu. Lisa, kau, Lisa, kau, sepertinya aku terlihat seperti seseorang yang kenal dekat denganmu," susulnya, sembari menatap pria di sebelahnya tanpa merasa takut, sama sekali.

Jiyong sempat diam. Memikirkan alasan sempurna untuk menanggapi komentar-komentar tadi. Namun tidak satupun alasan terpikirkan olehnya. "Jadi kemana kau akan pergi?" tanya Jiyong pada akhirnya, memilih untuk mengabaikan sederet panjang ocehan Lisa sebelumnya.

"Ke kanan juga, tapi setelah itu putar balik ke kiri, lalu lurus..." katanya, yang kemudian menyebutkan alamat sebuah night club, cukup jauh dari lingkungan kampus itu.

Jiyong setidaknya perlu 30 menit untuk sampai ke sana, dan 30 menit untuk kembali ke rumahnya. "Hanya antar aku sampai ke tempat putar balik," kata Lisa kemudian, terkekeh setelah melihat reaksi Jiyong. "Halte di dekat tempat putar balik, aku bisa naik taksi dari sana," susulnya, menenangkan pria yang menurutnya terkejut karena dimintai tumpangan sejauh itu. Karena diminta mengantarnya ke night club. Jiyong akan terlihat buruk kalau ada mahasiswa yang mengenalinya di night club itu.

"Akan aku antar sampai ke sana," balas Jiyong akhirnya melajukan mobilnya. "Tapi berapa usiamu?" tanyanya kemudian.

"Kenapa?"

"Hanya ingin tahu?"

"Kalau begitu aku tidak mau memberitahumu," dengan santai gadis itu menjawab tiap ucapan yang Jiyong katakan. Tidak seperti Jiyong yang beberapa kali kehabisan jawaban, Lisa selalu bisa membalasnya. Selalu berhasil menjawabnya. Seolah ada sebuah data base dalam kepalanya, data-data yang bisa membantunya menjawab pertanyaan para pria hidung belang.

Choi Lisa 4 tahun lebih muda darinya. Saat itu Jiyong berusia 23 tahun, ketika Choi Lisa yang masih 19 tahun dikabarkan bunuh diri. Karenanya, ia ingin tahu usia gadis di sebelahnya itu. Penasaran apa selain namanya, umur dua gadis itu juga sama. Choi Lisa akan berumur 29 tahun kalau ia masih hidup sekarang.

"Dua puluh sembilan," Lisa akhirnya menjawab. Meski Jiyong sudah menyerah untuk bertanya lagi. Pria itu justru tengah memikirkan cara lain untuk mengetahui usia si pengurus asrama. Entah bertanya pada Karina atau mencari sosial medianya.

"Ya?"

"Aku sudah dua puluh sembilan tahun, jangan membuatku terus mengulanginya," kata gadis itu.

"Dua puluh sembilan? Sungguhan?"

"Kenapa? Aku terlihat lebih tua?"

"Tidak! Kau tidak terlihat begitu," seru Jiyong dan sekarang Lisa berdecak.

Lisa mengaku kalau orang-orang memang sering salah paham pada usianya. Bahkan sesekali, petugas keamanan di bar dan night club masih menanyai kartu identitasnya. Kasir minimarket pun begitu, ketika ia perlu membeli beberapa alkohol di sana. Lisa bahkan bilang kalau beberapa wali mahasiswa, sering menganggapnya teman sepantaran anak-anak mereka.

"Kalau begitu, menurutmu berapa umur kakakku?"

"Kakak?"

"Pengurus asrama satunya, Jennie Kim. Menurutmu berapa usianya?"

"Dia kakakmu?" tanya Jiyong dan Lisa menganggukan kepalanya. Lalu sekali lagi mengulang pertanyaannya. "Uhm... Tiga puluh? Tiga puluh satu?" tebak pria itu, sedikit ragu. Lisa yang ia kenal seorang anak tunggal. Tidak pernah sekalipun ia bayangkan gadis itu punya seorang kakak. Terlebih perawakan si kakak yang lebih pendek, lebih kecil daripada adiknya.

"Salah," Lisa menggeleng. "Dia juga dua puluh sembilan. Hanya beberapa menit lebih tua dariku," susulnya.

"Ah... Jangan beritahu dia kalau aku salah menebak umurnya," sahut pria itu. Berlaga menikmati pembicaraan mereka meski ia benar-benar terganggu sekarang. Ada terlalu banyak kesamaan sekarang.

"Oh! Turunkan aku di depan minimarket itu," Lisa tiba-tiba memintanya berhenti, menunjuk sebuah minimarket di bagian kiri jalanan yang mereka lalui.

Jiyong menurutinya, meski sedikit ragu. Begitu mobilnya berhenti, tepat di depan sebuah mobil lain, Lisa keluar dari sana. Tanpa mengatakan apapun. Ia keluar, lalu memeluk seorang pria yang terlihat sama sepertinya. Seorang pria tujuh puluh tahunan yang terlihat mirip sepertinya.

"Ini ayahku," gadis itu kembali muncul setelah membuka sedikit pintu mobilnya. Mengenalkan pria yang ada di sebelahnya sekarang.

Diberitahu begitu, Jiyong bergegas turun dari mobilnya. Berjalan menghampiri Lisa juga pria tua itu. "Selamat malam," ia menyapa pria tadi, sedang Lisa masih merangkul lengan ayahnya. Berdiri santai seolah mereka sudah lama saling kenal.

"Temanku," katanya memperkenalkan Jiyong pada sang ayah.

Jiyong memperkenalkan dirinya sekarang, sembari memperhatikan wajah pria tua itu. Sama seperti putrinya, pria itu terlihat rupawan di usianya sekarang. Bentuk wajahnya mirip sekali dengan gadis yang disebut putrinya itu, membuat siapapun percaya mereka adalah ayah dan anak. Tapi pria di depannya itu bukan Tuan Choi si pemilik toko musik.

"Kalian bertemu di bar?" tanya pria itu, setelah ia menerima sapa serta perkenalan Jiyong.

"Tidak," Lisa langsung menggeleng. "Dia dosen di kampus tempat kerjaku. Keponakannya tinggal di asrama," katanya, lantas berbisik agar ayahnya tidak asal bicara.

"Ah... Maaf, anak ini suka sekali pergi ke bar. Jadi aku kira kalian bertemu di sana," santai sang ayah, mengabaikan bisikan yang Lisa tujukan padanya.

***

PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang