***
Hanya berselang beberapa hari setelahnya, Lisa berkunjung lagi ke rumah Jiyong. Ia datang di akhir pekan, sengaja berkunjung tanpa menghubungi pria itu lebih dulu. Hanya ingin tahu, apa yang akan Jiyong lakukan di pagi hari, pada akhir pekannya. Sekedar ingin mengejutkan pria itu dengan sekantong belanjaan dari minimarket, untuk sarapan. Terakhir kali Lisa datang, tidak ada banyak makanan di lemari es pria itu.
Ia menekan belnya saat datang. Berdiri sebentar untuk menunggu si tuan rumah keluar, tapi pria itu tidak juga muncul. Ia menekan sekali lagi belnya, lalu menunggu lagi. Sekali lagi menekannya dan kembali menunggu. Kali ini ada suara pintu terbuka, tapi bukan dari pintu rumah Jiyong.
Pintu rumah sebelah yang terbuka, lalu keluar Kim Jihoon dari sana. Awalnya pria itu tidak menyadari keberadaan Lisa. Gadis itu pun sama, ia hanya menoleh lalu kembali menunggu Jiyong keluar dan membukakan pintu untuknya. Tapi menyadari kehadiran Lisa di sana, Kim Jihoon menghampirinya.
"Lisa?" pria itu memanggil, melangkah menghampiri Lisa yang tentu menoleh karena namanya di sebut.
Jihoon menghampiri gadis itu, berdiri di depannya lalu memperhatikannya. Melihat dari ujung rambut sampai ke kaki gadis itu kemudian mengukir senyumnya. "Lama tidak bertemu," katanya seolah ia memang mengenal gadis itu. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau sudah sembuh?" tanyanya penasaran.
"Anda siapa? Kita pernah bertemu-"
"Heish, kau membuatku sedih," potong pria itu, masih dengan senyum di wajahnya. "Aku tahu kau hilang ingatan karena kejadian itu, tapi bagaimana bisa kau melupakanku? Dulu kita-"
Kim Jihoon mengulurkan tangannya, akan mengusap rambut Lisa namun di saat yang bersamaan, gadis itu menjauh. Seperti kilatan petir, sebuah rekam adegan tiba-tiba muncul dalam kepala gadis itu. Bersamaan dengan terulurnya tangan Kim Jihoon, saat itu juga Lisa melihat dirinya sendiri di pukul. Ia lihat tangan Kim Jihoon menarik rambutnya, menjambaknya lalu mendorongnya, membuatnya tersungkur di atas tanah dengan banyak dedaunan kering.
Jantung Lisa bergerak sangat cepat sekarang. Tapi Kim Jihoon tidak mengetahuinya. "Hei? Lisa? Ada apa?" tanyanya. "Ah... Kau takut kekasihmu marah? Bilang saja aku gurumu. Seorang guru boleh menyayangi muridnya, iya kan?" susulnya, sekali lagi mengulurkan tangannya untuk meraih Lisa, tapi gadis itu justru bergerak lebih jauh.
Ia tidak bisa mengatakan apapun sekarang. Rasanya seperti tercekat, suaranya tidak mau keluar dan dadanya berdebar sangat cepat. Saking cepatnya semua kilas balik dalam kepalanya, juga saking cepatnya deru jantungnya berdetak, Lisa tidak mampu menopang tubuhnya. Ia terus bergerak mundur, menjauh dari Kim Jihoon yang terlihat menakutkan—dalam kepalanya—lalu tersandung kakinya sendiri dan jatuh duduk di lantai.
Awalnya Kim Jihoon masih bergerak mendekati Lisa, membuat gadis itu semakin ketakutan tanpa alasan yang pasti. Tapi pintu rumah Jiyong sekarang terbuka, tentu Jiyong sendiri yang keluar. Dengan rambut berantakan yang ia ia sisir dengan jari-jemarinya, pria itu keluar lalu terkejut melihat Lisa duduk lantai, berusaha menjauhi pria di depannya.
Kini, karena kehadiran Jiyong, Kim Jihoon kebingungan. "Aku tidak-" Jihoon tidak sempat membela diri, sebab Jiyong sudah lebih dulu melewatinya, bergegas menghampiri Lisa lalu menjejalinya dengan beberapa pertanyaan—apa yang terjadi? Ada apa? Kau jatuh? Kau baik-baik saja? Seseorang melukaimu?—begitu yang ia tanyakan. Sementara gadis yang ia ajak bicara hanya duduk gemetar di depannya.
"Ya! Ada apa denganmu?! Aku tidak melakukan apapun padamu! Kenapa kau membuat orang lain salah paham-"
Meski sudah banyak bersuara, Kim Jihoon seolah tidak terlihat di sana. Jiyong mengabaikannya. Pria yang baru saja terbangun karena suara bel pintunya itu lantas mengulurkan tangannya, merangkul Lisa untuk membantunya bangun. Jiyong tidak mengatakan apapun, Kim Jihoon benar-benar tidak terlihat oleh matanya.
Ia membawa Lisa masuk ke dalam rumahnya sekarang. Mendudukannya di atas sofa lalu sekali lagi bertanya—apa yang terjadi?—tapi sama seperti ia yang mengabaikan Kim Jihoon, Lisa pun mengabaikannya. Gadis itu masih gemetar, dengan bulir-bulir keringat yang muncul di dahinya. Tatap matanya terlihat ketakutan, terus menatap ke sekeliling, seolah tengah melihat sesuatu di sana. Amat waspada, seolah ada bahanya di sana.
Lisa bisa mendengar suara Jiyong. Ia bisa merasakan kehadiran pria itu. Tahu kalau Jiyong muncul lalu merangkulnya masuk ke dalam rumah. Namun kepalanya terus memutar rekam-rekam mengerikan yang tidak bisa Lisa pahami. Rekaman itu diputar terlalu cepat, sangat cepat hingga sesekali gadis itu mengerutkan dahinya, menautkan alisnya, berharap dengan memicingkan matanya begitu, ia bisa melihat dengan lebih jelas.
Ia rasakan kepalanya nyeri saat melihat Kim Jihoon menjambak rambutnya. Lalu tubuhnya terasa sakit saat dilihatnya seseorang menghantam tanah, berguling diatas bebatuan, tergores dan terluka. Suaranya menjerit terdengar sangat menganggu, bak suara TV statis di tengah malam yang sunyi, memekakkan telinga. Beberapa kali Lisa dengar suara ranting yang patah, suara sebuah benda kering yang remuk, dan setiap kali suara itu terdengar ia rasakan tubuhnya sakit.
Lalu yang terakhir, Lisa rasakan sebongkah batu dilempar ke arahnya. Tepat mengenai kakinya, jatuh menghancurkan pahanya. Meski sekarang dirinya tengah duduk di sofa yang nyaman, bersama seorang pria yang mengkhawatirkannya, Lisa bisa merasakan pahanya kesakitan. Pahanya remuk, hancur tertimpa batu. Dan bersama sakit yang luar biasa itu, ia kehilangan kesadarannya. Segalanya jadi sangat gelap sekarang.
Segalanya jadi sangat gelap, tapi tidak cukup gelap untuk menyembunyikan dirinya sendiri. Dalam gelap itu, Lisa berdiri di depan seorang yang berbaring di tanah. Lisa melihat dirinya sendiri, terbalut dalam seragam sekolah yang tidak asing, berbaring di depan kakinya. Wajahnya penuh luka, darah segar mengalir di sana.
Saking banyaknya darah segar di wajah gadis itu, ia tidak bisa membuka matanya. Matanya hanya terbuka setengah, hanya ada sebagian bola matanya yang terlihat. "Tolong aku," pintanya, dengan gerak bibir yang sangat lambat. Lalu darah keluar dari mulutnya. Tangan gadis itu pun bergerak, tapi langsung jatuh lagi, terkulai karena patah. "Tolong aku," pintanya sekali lagi, tapi Lisa yang melihat dirinya sendiri di sana tidak lagi bisa bergerak sekarang. Ingin ia bantu gadis yang terbaring menyedihkan itu, namun tidak satu pun berjalan sesuai keinginannya. Tidak satupun bagian tubuhnya yang bisa ia gerakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle
FanfictionBagai potongan puzzle yang diciptakan untuk satu sama lain, mereka bertemu. Pertemuan yang tidak mereka duga sebelumnya. Berdampingan, bersebelahan mereka dalam kotak takdir itu. Ia isi kekosongan seorang di sebelahnya, melengkapinya, membuat sebuah...