1. The Little Bride

45K 4.3K 221
                                    

Aru menyeret paksa pria itu menuju pemukiman terdekat dan mendapatkan beberapa herbal dari toko serta menyewa satu kamar penginapan untuk pria itu karena ia tidak akan ikut menginap tentu saja.

"Ini ada beberapa obat berbentuk cairan untukmu," ujar pria penjual obat pada Aru. Satu per satu ditunjuknya botol dari yang paling kiri, "ini obat penghilang rasa sakit dengan efek kantuk luar biasa agar pemakainya tidur dan beristirahat lalu yang ini untuk sakit kepala."

"Kau yakin jika aku minum obat sakit kepala aku tidak akan mengantuk?" tanya Aru penuh curiga.

Pria itu mengangguk dan melengkungkan senyum hangat namun tetap mencurigakan dimata Aru padahal sudah dijelaskan berkali-kali obat sakit kepala yang pria itu tawarkan sama sekali tidak membuat ngantuk.

"Baiklah." Aru baru setuju untuk membelinya setelah berpikir selama tiga puluh detik lalu menyerahkan perhiasan yang dimilikinya dan berkata, "ambil kembaliannya untukmu."

"Terimakasih, Nona!" pria itu berseru seolah habis tertiban emas satu ton, terlalu berlebihan.

Aru mengangguk sekilas lalu pergi tanpa menyadari ada seseorang yang memperhatikannya dan curiga karena dia melakukan pembelian dengan perhiasan bukan dengan uang seperti biasa seolah-olah gadis itu sedang dalam pelarian dari rumahnya.

"Apa yang kau lihat?" tegur rekan lelaki itu, membuatnya menggelengkan kepala dengan cepat.

"Kalau begitu cepatlah kirim apel-apel ini ke  Kekaisaran." Mendengar perintah rekannya lelaki itu mengangguk dan mengalihkan pandangannya dari Aru.

Sementara Aru nampak kembali ke penginapan tempat dimana ia meninggalkan pria tadi, yang tidak diketahuinya bahwa pria itu sebenarnya Hael--suaminya sendiri. Pun Hael jika bangun mungkin tidak akan mengenali Aru karena tiga tahun lalu pun dia tidak pernah menatap wajah perempuan itu ketika di umurnya yang masih 13 tahun dan dipaksa menjadi jaminan oleh sang ayah yang berakhir kabur.

Perlahan Aru masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintu, ia menatap ke arah Hael yang berbaring telungkup. Untunglah pemilik penginapan sudah membantunya membalik tubuh pria itu sebelumnya sehingga sekarang ia hanya perlu mencabut beberapa pecahan kecil dari botol kaca yang tertancap di punggung atas pria itu dengan hati-hati lalu membersihkan lukanya dengan alkohol.

Aru lalu meraih salep luka yang dibelinya ditoko lain sebelum ia mencari obat pereda sakit dan obat sakit kepala lalu mengoleskan salep itu sebanyak mungkin pada luka dipunggung atas pria itu lalu membalutnya dengan kain bersih yang nyaris mencekik leher karena Aru kesulitan membungkus luka Hael.

"Sudah, aku bisa pergi tanpa rasa bersalah atau pun cemas sekarang." Aru lalu merangkak turun dari ranjang dan kembali memasang tas selempang kain di bahunya lalu meraih botol berisi obat pereda sakit kepala sambil menatap tubuh kekar Hael yang terbaring diatas kasur.

Dibukanya botol obat tersebut lalu diteguknya sebanyak dua kali sesuai dengan pemakaian yang tertera namun beberapa saat setelahnya bukannya sakit kepala reda, Aru malah merasa sangat mengantuk dan lemas. Dilihatnya botol itu sekali lagi dan dilihatnya pula botol satu lagi yang berada diatas meja.

"Dasar bodoh!" Aru mengumpati diri sendiri sambil menepuk jidat keras.

Sedetik kemudian Aru sadar bahwa ia meminum obat dari botol yang salah dan berakhir hilang kesadaran di tempat karena pengaruh obat penghilang rasa sakit dengan efek kantung luar biasa bekerja dalam waktu singkat sehingga Aru tidak jadi pergi dan berakhir terkapar di lantai.

Selang tiga jam kemudian, jemari Hael mulai bergerak. Bibir pria itu meringis tanpa suara seraya menggerakkan lehernya terangkat namun langsung tercekik dan menyadari ada lilitan kain di lehernya. Hael segera menyingkirkan kain itu, melemparnya sejauh mungkin dan mengubah posisinya menjadi telentang namun ia meringis lagi. Kali ini Hael sadar mengenai luka dipunggungnya akibat lemparan botol dari lelaki yang akan menjadi suami teman masa kecilnya.

Kenyataan itu membuat Hael kesal sebenarnya namun ia tidak bisa melakukan apapun. Eliza sudah memilih jadi Hael menerima dan daripada terus memikirkan lamarannya yang gagal, Hael beranjak turun dari kasur namun baru mengambil dua langkah ia malah tersandung namun tidak jatuh.

Hael berdecak. "Apa pula?" ia menunduk dan menemukan tubuh mungil seorang gadis tergeletak di lantai lalu meraihnya seperti mengangkat kambing dan melemparnya ke kasur dengan kasar sesaat sebelum ia menyadari kilauan tajam dari jari manis gadis itu.

Hael juga melihat beberapa botol obat serta salep diatas meja yang membuatnya semakin yakin kalau gadis yang kini tidur nyenyak adalah seseorang yang menolongnya.

"Hei..." niat Hael ingin membangunkan gadis itu namun matanya terusik oleh kilau di jari manis perempuan itu yang tersorot oleh cahaya rembulan sehingga Hael segera meraihnya dan melihat cincin ukir yang tersemat disana.

Lalu Hael mengangkat tangan kirinya yang mana pada bagian jari manisnya tersemat sebuah cincin dengan ukiran serupa dan seketika Hael mengenali siapa satu-satunya orang yang memiliki cincin itu. Cincin yang dibuat khusus untuk pernikahannya dengan seorang gadis kecil sekitar... uhm, tiga tahun lalu? Hael hampir lupa.

"Jadi, ini kau?" tanya Hael. "Chantarue? Putri Chantarue?" ulangnya memanggil nama gadis itu sebanyak dua kali meski tahu tidak akan ada reaksi dari Aru yang terlelap.

Hael lalu terkekeh. "Oh... jadi, kau sama sekali tak bertambah tinggi walau satu senti pun?" 

Dia tidak bisa menyembunyikan tawa kecil itu, entah mengapa menjadi sangat lucu ketika melihat fakta seorang gadis tidak tumbuh tinggi bahkan setelah tiga tahun berlalu dan mereka sama sekali tidak bertemu selama itu.

"Kau..." tangan Hael mengarah ke wajah Aru bertepatan dengan terbukanya kedua mata gadis itu dan seketika dia menjadi histeris sambil bertanya.

"SIAPA KAU!?" panik Aru langsung memeluk dirinya sendiri dan berguling ke arah lain lalu mengubah posisi menjadi duduk meringkuk.

"Siapa... aku?" kening Hael berkerut, "aku..." dia baru akan menjelaskan identitasnya namun tiba-tiba teringat fakta tak semua orang bisa melihat wajahnya yang disembunyikan termasuk Aru.

Walau mereka sudah menikah, Aru belum pernah melihat wajah Hael. Dan fakta bahwa gadis itu tidak berada di Kekaisaran melainkan di desa membuat Hael merasa penasaran sehingga memutuskan menyembunyikan identitasnya dan pura-pura tak ingat.

"Kurasa benturan di punggungku membuat aku cemas hingga lupa pada beberapa hal namun aku akan segera pulih." Ujar Hael.

"Bohong, ya?" Aru langsung menuding dengan wajah curiga. "Yang luka punggungmu, lho. Kok bisa kepalamu yang lupa ingatan?"

"Itu..." nampaknya Hael sedang mencari alasan masuk akal agar bisa dipercayai oleh gadis di hadapannya. "Mungkin saja aku terbentur sebelum kau menemukanku, kan?"

Aru terdiam. Memang benar bahkan ia saja terseruduk oleh kuda, mungkin saat itulah pria di hadapannya ini jatuh dan terbentur sesuatu yang keras di kepala.

"Baiklah." Angguk Aru. "Lalu apa yang kau butuhkan?"

"Entahlah." Hael mengendikkan bahu lalu mendapat sebuah ide dan berkata, "rawat aku sampai sembuh, bagaimana?"

"Aku? Aku bukan seorang tabib atau ahli dalam mengobati orang," ujar Aru menolak secara halus. "Jika kau mau akan kucarikan orang yang seperti itu untuk merawatmu."

"Arghhh..." ringis Hael tiba-tiba mencari perhatian.

Aru lalu segera mengulurkan botol berisi obat pereda nyeri yang berada di dekatnya dan kali ini tidak salah botol. "Aku sudah beli pereda nyeri. Jadi, minumlah. Kau akan baik-baik saja setelahnya." Terlihat gadis itu merangkak turun dari kasur lalu berdiri dengan tubuh pendeknya dan berjalan menuju pintu keluar disaat Hael sedang meneguk isi obat yang diberinya.

"Kau mau kemana?"

Aru menoleh sekilas. "Jalan-jalan," jawabnya asal dan tak jelas.

"Apakah kau akan kembali, uhm?" iseng Hael bertanya.

Belum sempat Aru menjawab, Hael kembali berucap dengan ekspresi wajah memelas dibuat-buat. "Tolong kembalilah dengan makanan, aku sangat lapar. Tolong...?"

***

Keliatannya ini cerita ga ada notip :'

The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang