"Maukah kau menerima hadiahku?" tanya Nox lagi kepada Aru yang tak memiliki tanda-tanda akan mendekatinya.
"Maukah--"
Meski tidak mau, Aru tidak enak hati sehingga pada akhirnya ia mendekat ke tepi laut mati dan mengulurkan kedua tangannya menerima ikan besar yang Nox berikan dalam keadaan sudah mati namun masih segar.
Nox tersenyum. "Terimakasih," katanya ke Aru.
"Aku yang harusnya bilang terimakasih padamu." Gadis itu meralatkan kalimat Nox barusan. "Terimakasih."
Nox mengangguk.
"Baiklah, selamat tinggal." Pamit Aru berbalik.
"Tunggu!" Nox berseru, ekor duyungnya mengibas-ngibas cepat dan sedikit timbul ke permukaan air menandakan betapa semangatnya ia saat ini.
"Apa lagi?" tanya Aru sambil berbalik kepadanya.
Namun bukannya bicara, Nox malah terdiam seakan seluruh kalimat yang mau diucapkannya kembali tertelan ke dalam tenggorokan sehingga yang ada hanya keheningan selamat beberapa menit.
"Jika tak ada yang ingin kau katakan, aku harus pergi." Kata Aru cepat.
Nox tertegun, biasanya manusia yang tak sengaja ia temui berusaha mati-matian ingin berkomunikasi dengannya bahkan menahannya untuk pergi. Nox juga pernah diculik tapi selamat dan waktu itu juga saat tersangkut di jaring nelayan yang menangkapnya, Aru menyelamatkannya.
Berbeda dengan para manusia itu, Aru malah tidak ingin bicara lama-lama serta mencari tahu lebih lanjut tentang dirinya dan jujur saja hal itu membuat Nox jadi semakin penasaran tentang Aru.
Padahal nyatanya Aru murni tak ingin lama-lama bicara dengan Nox karena merasa takut pada rupa pemuda itu.
Hey, siapa yang tak takut melihat putra duyung walau dia tampan!?
"Boleh aku pergi?" Aru bertanya dan saat itu Nox mendeteksi keberadaan manusia lain disekitar sehingga tepat ketika manusia itu muncul, Nox menyelam masuk ke dalam air.
Melihat kejadian itu Aru mengerutkan dahi saja lalu ia dikejutkan dengan sebuah tangan yang mendarat di bahu sebelah kiri sehingga reflek ia melempar ikan yang ada dalam pelukannya ke wajah pemilik tangan itu.
Slap!
Namun segera setelahnya, Aru nampak menyesal setengah mati karena pemilik tangan itu tak lain dan tak bukan ialah Hael Theron. Kaisar yang paling gila tahta dan paling menakutkan.
"Hah!? Maaf!" Aru mengangkat kedua tangannya yang disatukan ke atas kepala sambil menunduk. "Kukira tadi itu kambing."
"Kambing?" sahut Hael datar dengan tatapan dingin seperti biasa, pria itu nampak memandang ikan yang mendarat di samping kakinya setelah menampar wajahnya karena dilempar Aru tadi.
"Maksudku--"
"Sudahlah." Potong Hael cepat, tak ingin dipermalukan lebih lanjut. "Ikuti aku dan kembali ke istana, hari mulai gelap." Pintanya kemudian berbalik sambil memungut ikan yang tergeletak di atas tanah dan membawanya turut serta.
Sekali lagi Aru menoleh ke arah laut merah di belakangnya dan tak ada siapapun maka dengan cepat ia berjalan mengekori Hael.
Tepat ketika mereka berdua menjauh, Nox muncul ke permukaan hanya dengan sebagian wajahnya saja karena sisanya tetap berada di bawah air. Ditatapnya kepergian Aru bersama pria itu yang semakin lama semakin menjauh dan menghilang.
Aru diantar sampai ke depan kamarnya oleh Hael.
"Pelayan akan mengantarkan makan malam untukmu." Kata pria itu, "dan ikan ini akan dimasak."
Aru mengangguk. "Terimakasih."
"Kau tak perlu seformal itu padaku."
"I-iya."
Hael menghela nafas kasar. "Terserah saja, namun mengingat Elise yang seharusnya bertanggung jawab atasmu malah meninggalkanmu... dia akan mendapat hukuman atas perbuatannya." Ucapannya kali ini berhasil mencuri perhatian Aru.
"Kau penasaran?" tanyanya dengan nada yang seolah akan menawarkan pada Aru untuk menyaksikan hukuman Elise secara langsung.
"Aku tidak--"
"Kau harus menyaksikannya." Putus Hael kemudian menarik tangan Aru sehingga gadis pendek itu mau tidak mau berjalan mengikutinya.
Padahal Aru akan menolak dan Hael sudah pasti mendengar kata tidak dari bibir gadis itu tapi, tetap diajak untuk menyaksikan hukuman yang dijatuhkan pada Elise si pelayan.
Singkat waktu mereka sampai di aula istana yang ramai oleh orang-orang mulai dari para Prajurit, Jenderal Mayor, Panglima Perang, Kalyas, hingga Porpheus ada disana serta Elise juga selaku bintang utama dalam aula itu.
Begitu melihat Kaisar mereka datang, semua orang serentak membungkuk hormat selama tiga detik lalu kompak menegapkan tubuh.
"Mulai hukumannya," titah Hael.
Seorang prajurit mundur dari barisan, mengambil sesuatu yang ada di belakang lalu kembali maju ke depan dengan ember perunggu di tangan lalu dituangkan bara api yang ada didalamnya tepat ke atas kepala Elise.
Wanita itu berada di tengah-tengah ruangan, menangis dalam posisi berlutut dengan kepala tertunduk dan kedua tangan disatukan. Berharap mendapat pengampunan terlebih ketika kulitnya mulai melepuh karena panasnya bara api yang terus menerus dituangkan padanya.
Saat Aru akan berpaling, Hael mencengkram bagian atas kepalanya sehingga ia harus terus menyaksikan hukuman menyiksa yang sedang dijalani oleh Elise habis-habisan sampai beberapa kulit perempuan itu hangus dan mengeluarkan bau khas daging panggang.
Benar-benar situasi yang sama sekali tidak nyaman.
"Akhhhhhhhh!" teriakan kesakitan hebat Elise menjadi penutup hukuman itu tetapi, Hael bilang masih belum berakhir.
Sepanjang menyaksikan hukuman, Aru hanya bisa melongo. Ia tak mencoba menghentikan hukuman yang Elise jalani karena merasa perempuan itu pantas menerimanya dan jika saja Hael ada di kehidupannya yang sebelum sekarang pasti keluarganya sudah dihukum berat begitu ia memberikan surat permohonan penyiksaan lahir batin dipaksa memenuhi nafkah adik-adiknya oleh orang tua yang tiada henti bercocok tanam sana-sini.
"Kau tak memohon padaku untuk menghentikan hukumannya?" tanya Hael tiba-tiba, hanya bisa didengar oleh mereka berdua.
Aru menggeleng kecil. "Biarkan saja, dia meninggalkanku secara sengaja jadi dia pantas mendapat hukuman."
"Kasih sayang dan pengampunan itu sangat tidak diperlukan." Desis Hael menyahuti kalimat Aru. "Baguslah jika kau lebih mengikuti akal sehat, itulah cara bagaimana hidup dan bertahan di tempat ini."
"Yah, kau pun mengatakan itu setelah ditolak oleh teman masa kecilmu." Celetuk Aru sukses membuat bagian belakang telinga Hael memerah.
"Apa!?" wajah pria itu kelihatan panik untuk sesaat namun sedetik kemudian dia berhasil sembunyikan. "Dari mana kau tahu soal itu?" tanyanya menuntut jawaban.
"Entahlah," bahu Aru terangkat seusai membalas. "Mungkin aku peramal masa depan?"
Hael mendengkus. "Jangan coba permalukan aku!" peringatnya bersuara pelan.
"Kalau aku menelanjangimu di depan semua orang barulah bisa disebut mempermalukanmu." Balas Aru tak mau kalah, lagipula hanya fisiknya saja yang 16 tahun kalau jiwa sih sudah 20 tahun ke atas.
Tidak ada balasan dari Hael, pria itu hanya kedengaran berdecak dan memalingkan wajahnya sesaat sebelum kembali menatap Aru. Kali ini Hael menunduk guna mencapai telinga gadis itu dan berbisik,
"Hati-hati saat bicara padaku dengan kosakata itu." Ujarnya menyinggung kata 'telanjang' yang Aru sebutkan meski ia tahu gadis itu bercanda. "Aku mungkin bisa akan melakukannya secara langsung padamu, Putri."
Giliran tenggorokan Aru yang tercekat terlebih ia jadi teringat satu momen dimana tak sengaja menyentuh bendanya Hael. Rasanya seperti mendadak ia ingin pura-pura pingsan saja atau tenggelam ke dasar inti bumi.
***
Hael : apa yah? 🤨
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne
FantasyBertahan dengan kehidupan yang yang ditakdirkan tersisa dua tahun saja, Chantarue selaku tokoh figuran dalam cerita mencoba melakukan segalanya untuk memperpanjang usia berbekal alur novel The Emperor Of Haeresi yang diingatnya. Chantarue yang ker...