33. Be My Husband, Please!🚫

32.4K 2.1K 238
                                    

Satu hal yang ada di kepala Aru saat ini, ia takut kalau Hael mengetahui keberadaan Nox. Nox itu terlalu aneh dan mengejutkan untuk dipercayai bahkan hingga kini Aru masih sulit menerima kenyataan ada manusia berekor ikan berjenis kelamin laki-laki sedang sembunyi di dalam lemari kamarnya. Seekor... atau seorang sebenarnya?

Dan lagi pria yang berstatus sebagai suaminya di dunia ini sedang menyiapkan kamar mandi untuknya.

"Seumur-umur baru pertama kali aku merasa setegang ini-tidak, kedua! Ini yang kedua karena yang pertama saat gajiku hampir dipotong padahal yang salah si karyawan kesayangan. Dasar menyebalkan!"

Mengingat kejadian itu membuat Aru tanpa sadar meremas salah satu bunga peoni hingga beberapa kelopaknya jatuh ke lantai. Sebab kalau dipikir lagi hidupnya dulu benar-benar menyengsarakan makanya kalau di hidup yang sekarang hanya berumur pendek, Aru merasa tidak ikhlas.

Lagipula dia mendapat segalanya disini termasuk hidup bergelimang harta, tidak perlu repot besok mau makan apa dan membiayai keluarga yang menjadikan dirinya wajib bekerja seumur hidup untuk sekolah tinggi adik-adiknya ditambah lagi dengan adik balitanya.

Aru jadi meringis. Ia bukannya egois tetapi dulu saat Aru seusia adiknya di masa sekolah menengah atas, orang tuanya malaj berlomba-lomba menasehati Aru untuk mengerti situasi ekonomi keluarga bukannya berjuang menyekolahkan Aru setinggi mungkin. Sialnya, ketika sudah dewasa mendadak Aru yang diperbudak dengan alasan supaya adik-adiknya bisa tamat perguruan tinggi dan mereka mengatakan anggap saja itu balas budi terhadap jasa mereka yang telah melahirkan dan merawat Aru dari bayi.

Kenapa tidak nasehati saja adik-adiknya seperti Aru dulu?

"Sial sekali!" umpat Aru sambil melempar buket yang semula dipangkunya ke arah atas dan tanpa sengaja malah mengenai wajah Hael.

Sontak kedua mata Aru terbelalak di tempat. "Anu-eh, aku... aku pikir kau adalah kambing!"

Hael menghela nafas, dia tidak terlalu ingin menanggapi Aru yang selalu saja satu atau dua kali mendadak aneh. Waktu itu juga wajahnya pernah di lempar ikan dan alasannya sama-sama mengira dirinya sebagai kambing.

"Kamar mandinya telah siap, airnya agak dingin." Ucap Hael sembari menempatkan dirinya berjongkok dengan satu lutut turun menempel pada lantai tepat di hadapan Aru lalu perlahan-lahan terlihat tangan berjari raksasanya membuka perban kain yang melilit kaki Aru.

Aru meringis tanpa suara, sebisa mungkin dia terlihat baik-baik saja dan menyengir ketika Hael menatapnya sekilas lalu menatap lagi ke kakinya.

"Putri," panggil Hael sesudah menghela nafas. "Kakimu menjadi semakin membiru dari sebelumnya. Bukankah sudah kukatakan padamu untuk tetap berada di kamar? Pemandangan jelek apa yang membuatmu sampai pergi keluar?"

Nada bicara pria itu terdengar sarkas, menandakan kalau dia sedang sangat amat marah saat ini walau tidak ada perubahan ekspresi secara signifikan.

"Itu... aku---" belum sempat mencari alasan, ucapannya dipotong.

"Tidak perlu dijawab." Hael nampak jengah, tetapi ia tahu satu hal. "Kau hanya akan menjawab dengan kebohongan."

"Maaf..." cicit Aru sempat-sempatnya menyengir kuda ditengah rasa bersalah yang menerpa dalam dada. "Biar aku saja yang lakukan."

Aru hendak meraih kakinya sendiri, ingin mengambil alih membuka balutan perban kain dari kakinya namun Hael malah menepis pelan tangan Aru. Menepis dengan tepukan yang lembut sebelum tangan Aru sempat memegang kakinya sendiri.

Setelah perban di kakinya sudah lepas, Aru mau berdiri. Namun, Hael menahannya seperti biasa. Mana mungkin Aru bisa berjalan dengan kaki seperti itu? Mungkin bisa, tapi luka dalamnya akan semakin parah. Sekarang saja warna memar birunya sudah menebal lagi.

The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang