Semalaman Hael membiarkan punggungnya diterpa dinginnya angin malam yang datang dari arah balkon. Tidak usah dibayangkan seberapa dingin angin yang menerpa bagian belakang tubuh pria itu. Hael tetap disana sampai pagi, tertidur dalam posisi duduk selama berjam-jam.Sampai sekitar pukul enam pagi, bulu mata Aru bergetar. Jemari kecil gadis itu mulai bergerak-gerak menandakan empunya akan segera bangun. Terbukti sekitar tiga detik setelah itu, kelopak mata Aru terangkat bersama dengan kucekkan ibu jari mendarat disana.
Ketika mata Aru benar-benar terbuka, tidak ada seorangpun disana. Tidak ada Mura, tidak ada Hael juga yang tak Aru ketahui menghabiskan malam di sampingnya.
Tok tok!
Sekitar beberapa menit setelah bangun barulah terdengar ketukan yang berasal dari Mura. Wanita itu menawarkan diri untuk membantu Aru membersihkan diri lalu turun sarapan di ruang makan.
"Aku akan mandi sendiri dan keluar setelah selesai berpakaian." Aru menolak, ia malu kalau tubuhnya dilihat orang lain walau sesama jenis.
Mura mengerti dan mengangguk. "Saya akan menunggu diluar." Ujarnya menyahuti keputusan Aru.
Sekitar dua puluh menit kemudian Aru menepati kata-katanya. Ia membuka pintu kamar dan keluar. Memar di lehernya sudah pudar, tidak terlalu jelas lagi. Aru sudah memastikannya, tak ada seorangpun yang boleh tahu mengenai tindakan Kalyas padanya.
"Anda sudah siap?"
Aru mengangguk. "Sudah. Sarapannya harus sekali di ruang makan, ya?"
"Yang Mulia Kaisar juga ada disana, beliau sepertinya ingin menanyakan sesuatu pada anda. Saya tidak tahu apa itu sebaiknya anda segera mendatangi beliau."
"Aku mengerti. Mungkin ada hal penting yang ingin dia katakan."
"Baiklah, mari. Saya antar anda menuju ruang makan."
"Iya."
Suasana pagi itu mendung, Aru tidak bisa melihat cahaya matahari bersinar masuk dari luar. Setiap lorong yang dilewatinya memiliki pencahayaan terang, lampu-lampu berhiaskan permata terpasang di mana-mana. Terdapat juga banyak ukiran di setiap dinding istana serta patung baju zirah lengkap dengan pedang sesekali ia temui di hampir setiap lorong.
"Lewat sini, Yang Mulia." Mura memberi petunjuk agar Aru berbelok, gadis itu melangkah di depannya sesuai dengan peraturan dimana pelayan harus selalu berada di belakang majikan dan menunduk.
"Silakan," Mura tidak ikut masuk ke dalam ruang makan, wanita itupun berhenti di sana dan mempersilakan Aru untuk lanjut melangkah sendiri.
Dari jauh begitu masuk ke dalam, pemandangan pertama yang Aru lihat ialah sebuah meja panjang dengan berbagai jenis makanan ada diatasnya. Mulai dari makanan pokok seperi roti, lauk berbagai jenis daging, beragam minuman berwarna-warni, hingga beranekaragam dessert kue.
Barulah setelah selesai kagum dengan semua makanan itu pandangan Aru jatuh pada Hael. Lelaki itu duduk di bagian ujung dengan pakaian santai karena tidak sedang ada momen penting Kekaisaran. Ah, lagipula Haeresi memang jarang sekali mengadakan event. Kalaupun ada pasti yang datang sedikit karena mereka merasa ketakutan sehingga lebih memilih mengurung diri di rumah.
"Kau datang?" Hael menyambut Aru dengan pertanyaan datar tanpa melihat ke arah gadis itu sebab dia sendiri sedang sibuk memotong daging dengan pisau lalu menusuk dan memasukannya ke mulut.
"Salam hormat, Yang Mulia Kaisar." Aru membungkuk terlebih dahulu saat sudah sampai di meja makan.
"Kau tidak perlu melakukan itu." Ucap Hael setelah selesai mengunyah dan menelan potongan daging tadi, tatapannya tegak lurus ke arah Aru. "Kau mengerti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne
FantasyBertahan dengan kehidupan yang yang ditakdirkan tersisa dua tahun saja, Chantarue selaku tokoh figuran dalam cerita mencoba melakukan segalanya untuk memperpanjang usia berbekal alur novel The Emperor Of Haeresi yang diingatnya. Chantarue yang ker...