"Nox meminta bantuanku, aku tidak bisa melakukannya." Aru menghela nafas sambil meratapi kakinya sendiri yang terbalut perban kain. "Haruskah aku mencoba?"
Perlahan Aru turun dari kasur sambil meringis, kakinya itu sangat menyakitkan. Seandainya saja ada ramuan yang sekali minum dapat menyembuhkan. Walau seharusnya Aru merasa bersyukur karena tidak mati. Normalnya orang jatuh dari tebing kalau tidak selamat ya mati.
"Mungkin aku harus mulai berterimakasih pada tenggat usiaku sendiri." Gumamnya terkekeh pelan mencoba untuk berdamai dengan nasibnya sendiri meski masih sulit karena jujur saja Aru terlena hidup kaya raya disini.
Pelan-pelan Aru mencoba berjalan pincang-pincang dan tidak usah ditanya pula seberapa sakit rasanya. Seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum pada satu titik, hampir saja Aru menyebut dirinya ingin mati.
Sudah berjalan sambil berpegang dinding seperti cicak, kini menuju pintu saja terasa jauh sekali seperti kutub selatan ke kutub Utara. Semuanya terasa begitu jauh.
Butuh waktu baginya untuk sampai di pintu, sedikit lagi. Aru mengulurkan kakinya yang sehat ke depan namun tiba-tiba dari arah luar lengannya yang berpegang pada pinggir pintu ditarik hingga lepas dan ia hampir jatuh ke depan.
"Putri, kau mau kemana lagi?" Hael bertanya, pria itu muncul tiba-tiba seperti hantu dan lumayan mengagetka, jantung Aru mau copot rasanya.
"Yang Mulia!" Aru memekik, wajahnya merah murni karena terkejut dan kesal. "Kau... bagaimana kalau aku jatuh lalu mati!?"
Hael mencibir. "Tak akan semudah itu."
"Jangan mengalihkan topik. Mengapa kau keluar dari kamar, Putri?"
"Aku ingin cari angin."
Alis Hael terangkat. "Balkonmu kurang besar?"
"Ah, itu..." Sial! Aru terjebak oleh jawabannya sendiri. "Ada ulat di pinggirnya."
"Jadi, dari tempat tidur ke balkon lalu dari balkon ke pintu?" pertanyaan Hael membuat Aru meneguk ludah, jarak dari balkon dan kasurnya cukup jauh lebih jauh daripada kasur ke pintu. "Dengan kaki seperti itu aku tak yakin kau bisa mengelilingi satu ruangan."
"Aku--"
"Kembali ke dalam, Putri." Sambar Hael memotong ucapan yang belum sempat Aru selesaikan.
"Tapi, aku--" kali ini ucapan Aru terhenti bukan karena di sambar Hael lagi tetapi secara otomatis bibirnya terkatup saat pria itu menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam kamar, meletakkannya duduk di tepi kasur dengan hati-hati.
"Tidurlah. Jika butuh sesuatu Ruth akan ada di luar nanti, sekarang dia sedang turun untuk makan." Beritahu Hael pada Aru tanpa diminta oleh gadis itu dan sebelum Aru sempat berkata, Hael bicara. "Jangan mencoba untuk keluar diam-diam."
"Lalu kenapa kau disini?" celetuk Aru iseng bertanya, tidak ada topik tapi jujur saja ia penasaran. Bukannya di dalam novel Hael dikatakan sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan istri jaminannya?
"Aku..." untuk menjawab pertanyaan sederhana itu, Hael terlihat kesulitan bahkan tertangkap dahinya berkerut selama dua detik seolah sedang memilah satu dari banyaknya jawaban yang dia miliki dalam kepala.
"Aku kebetulan lewat."
"Kebetulan lewat tapi tahu kalau Ruth sedang turun ke bawah untuk makan?" tanya Aru cepat, dia sengaja ingin membuat Hael berpikir keras hingga mengeluarkan jawaban yang tak masuk akal lalu dia akan berkata seperti 'skakmat, akui saja kau selalu memantauku!' begitu.
"Aku lewat, ini istanaku. Mengapa aku tidak boleh melewati setiap bagian yang ada di dalamnya?"
Skakmat. Hael benar. Istana ini miliknya, mau Hael tiba-tiba berada di atap luar pun itu haknya sebagai pemilik istana. Tidak ada yang berhak menanyakan mengapa Hael ada disana dan ingin melakukan apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne
FantasyBertahan dengan kehidupan yang yang ditakdirkan tersisa dua tahun saja, Chantarue selaku tokoh figuran dalam cerita mencoba melakukan segalanya untuk memperpanjang usia berbekal alur novel The Emperor Of Haeresi yang diingatnya. Chantarue yang ker...