"Sebenarnya aku tidak terlalu suka makan ikan." Ucap Aru mengutarakan isi hatinya secara jujur, ia tidak suka aroma amis yang menguar dari hewan bersirip itu.
"Oh..." Nox mengangguk lalu mengembalikan ikan itu ke dalam permukaan lalu ia memperhatikan Aru yang menempatkan dirinya duduk di sebuah batu pipih.
"Jadi, siapa namamu?" Nox bertanya seraya berenang menuju Aru, ke tempat terdekat di sisi gadis itu tanpa membawa tubuhnya keluar dari dalam air.
"Aru." Gadis itu menjawab seadanya tanpa melihat ke arah Nox yang masih sedikit mengerikan bagi matanya walau jika dilihat lebih seksama Nox itu tampan dan menggemaskan.
"Namamu indah." Puji Nox tersenyum manis tak henti menatap Aru dengan penuh ketakjuban terutama karena gadis itu memiliki kaki tak seperti dirinya.
"Terimakasih."
Situasi menjadi hening setelahnya, Aru menatap ke arah langit mendung diatas sana sambil mengira-ngira kalau di kehidupan sebelumnya ia sedang melakukan apa sekarang. Sudah jelas tidak akan pernah ada waktu bersantai baginya, jauh berbeda dari yang dilakukannya sekarang.
"Aru..." panggil Nox lembut.
"Hm?"
"Kenapa kau tak seperti manusia lain?"
Pertanyaan itu membuat pandangan Aru turun menyorot Nox. "Apa maksudmu?" ia bingung.
"Kau tidak menanyakan hal-hal yang mereka tanyakan padaku seperti aku ini sebenarnya apa, aku berasal dari mana, aku ini hewan atau serangga. Kau tidak pernah menanyakan itu." Jelas Nox memberi jawaban, ia merasa sedikit tidak biasa dengan manusia macam Aru tetapi tak dapat Nox pungkiri rasanya nyaman berada di dekat gadis itu.
"Memangnya kalau kutanya kau akan menjawab?" sahut Aru.
Nox menggeleng.
"Itu sebabnya aku tidak bertanya." Lanjut gadis itu, "sebelum aku bertanya, aku selalu berpikir apakah orang itu akan nyaman atau tidak."
Senyum manis terbit di bibir merah alami Nox. "Seandainya semua manusia sepertimu, Aru. Bayangkan akan sangat indah dunia ini dan akan mudah bagi makhluk seperti kami beradaptasi dengan makhluk sempurna seperti kalian."
"Seandainya..." gumam Aru.
Kepala Nox mengangguk, ia tidak bisa berhenti memperhatikan Aru terutama rambut panjang sepinggang milik gadis itu yang selalu dibiarkan terurai.
Tangan dengan jari-jari panjang halus serta basah itu mencoba menggapai jemari Aru yang bersandar di dekat batu namun belum sempat Nox meraihnya, Aru berdiri dan menoleh ke arah belakang. Tepatnya ke bangunan istana, ia melihat Mura melintasi lorong seolah-olah sedang mencarinya dengan tatapan cemas. Aru bisa melihat pelayan pribadinya itu dari balkon-balkon terbuka istana.
"Aku harus kembali." Ucap Aru pamit pada Nox.
"Tunggu!" suara Nox menjelaskan bahwa ia tidak suka berpisah dengan Aru.
Aru menoleh ke belakang. "Ya?"
"Apa kau akan kembali lagi untuk bicara padaku, Aru?"
"Ya," jawab gadis itu mengiyakan cepat karena ia harus pergi kembali ke istana sekarang juga.
"Kau berjanji?"
"Ya, aku berjanji."
Nox tersenyum mendengar janji dari Aru, ia melihat gadis itu kelimpungan berlari menjauh dari tepi laut sambil menjinjing rok gaunnya. Menyaksikan Aru kerepotan begitu, Nox terkekeh. Ia terus memandang sampai Aru benar-benar hilang diantara rimbunnya tanaman boxwood.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne
FantasyBertahan dengan kehidupan yang yang ditakdirkan tersisa dua tahun saja, Chantarue selaku tokoh figuran dalam cerita mencoba melakukan segalanya untuk memperpanjang usia berbekal alur novel The Emperor Of Haeresi yang diingatnya. Chantarue yang ker...