20. Under The Sun

20.4K 2.1K 52
                                    

Aru menjadi tahanan rumah, begitu katanya.

Dia tidak diperbolehkan keluar dari kamar dan ada sekitar sepuluh orang pria berbadan kekar yang berjaga di depan pintu dan dibawah balkon kamarnya guna memastikan tak ada ruang bagi gadis itu untuk melarikan diri.

Namun Aru tidak menyerah, dia terus mengebrak pintu hingga telapak tangannya memerah dan terluka karena ornamen pintu berupa permata yang menonjol mengenai permukaan kulit tangannya.

Brak! Brak!

"Buka pintunya! Aku mau bicara dengan Kaisar! Buka!"

Aru tidak mungkin salah memasukan dosis racun, masa iya dia ditipu oleh penjualnya? Sangat tidak mungkin. Aru yang jelas-jelas meminum racun yang sama dengan dosis yang sesuai saja baik-baik saja hingga hari ini lalu mengapa tiba-tiba Kalyas mati?

"Bukaaaa!" teriak Aru tak ada gunanya, ia menendang pintu dan berakhir melempar dirinya ke kasur kalau ke lantai sakit.

"Dia pasti melakukan sesuatu!" Aru menuding Hael, tentu saja itu sepenuhnya benar walau ia sendiri tidak tahu kronologi tepatnya mengapa Kalyas bisa mati.

Dalam keheningan Aru meremas kedua tangannya serta menggigit bibir bawah, kenyataannya ia mati dibunuh dua tahun lagi. Sesuai dengan takdir tertulis yang sangat penulis buat, Aru tetap akan mati dibunuh lalu pembunuhnya akan bilang bahwa Aru sakit jantung. Kalyas sudah mati berarti Kalyas tidak akan mengambil tugas untuk membunuhnya. Bisa jadi orang-orang yang ada di sekitar sini.

Karena itu, Aru ingin menjauh.

"Jangan-jangan tugas itu berpindah pada...  pada Hael?" Aru overthinking.

"Bisa saja, kan?" dia mulai membawa kuku ibu jarinya untuk digigiti hingga patah dan mengeluarkan darah. "Kalau sampai Hael... aku tidak akan bisa menghadapinya, dia tokoh utama yang tidak akan mati sampai akhir cerita. Sedangkan aku? Aku masih terikat dengan takdir kematian."

Di tengah keresahan, Aru meraih kuku biru gelap Nox. Menggenggamnya dan berbicara dalam hati. "Nox, aku cemas lagi."

"Maaf Aru, aku sedang dalam persembunyian. Aku tidak bisa menjawabmu karena fokusku akan pecah, aku minta maaf. Orang-orang itu menyelam di laut mati. Jaga dirimu, aku segera kembali."

Kedua mata Aru langsung terbuka, tak ada seorangpun yang bisa ia ajak bicara sehingga rasanya benar-benar membuat frustasi.

Aru berdiri, berjalan menuju pintu dan menggedornya lagi berkali-kali hingga pergantian hari menjadi sore dan makam peristirahatan Kalyas baru selesai di tutup.

Hael hadir disana, berada di barisan paling depan dan menaburkan bunga pertama. Hael juga menancapkan setangkai mawar putih diatas makam basah Kalyas lalu mengelus nisan batu bertuliskan nama, tanggal lahir, dan tanggal kematiannya.

"Terimakasih karena telah mengabdi pada Kekaisaran Haeresi selama ini. Jasamu akan selalu kuingat dan tercatat dalam sejarah tanah ini. Kalyas, terimalah hormat pertama dan terakhirku." Ujar Hael yang setelahnya segera menundukkan kepala untuk menghormati kematian Kalyas.

"Yang Mulia," Porpheus menyentuh lengan Hael kemudian berbisik. "Tuan Putri seharian ini terus menggedor kamar secara paksa, merengek minta dibukakan pintu." Menyampaikan laporan yang didapatnya dari salah satu prajuri.

Senyum miring terukir di bibir Hael, tidak ada yang tahu pasti makna dari ekspresi itu. "Aku harus bagaimana lagi? Kalyas mati sebelum menerima hukuman gantung, bukankah artinya Putri Chantarue adalah tersangka tunggal? Dia akan menjadi tahanan rumah Kekaisaran sampai waktu yang tidak ditentukan."

"Kenapa tidak langsung menjebloskannya ke dalam penjara?" tanya Porpheus sudah jengkel, dia memang menghormati Aru tetapi persahabatannya dengan Kalyas jauh lebih ia hargai.

The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang