"Tuan Putri terkena racun namun sejauh ini keadaannya berangsur membaik dan baru benar-benar pulih tiga sampai lima hari ke depan. Saya telah meracik penawar dan meminumkannya pada beliau. Tolong minumkan rutin dua kali sehari di pagi dan malam hari, Yang Mulia." Jelas Tabib mengenai kondisi Aru saat ini yang belum sadarkan diri.
Hael menatap Tabib itu, tidak langsung berterimakasih. Untuk apa pula? Memang sudah tugas seorang Tabib melakukannyakan, mengobati pasien-pasien sakit.
"Saya permisi, salam hormat Kaisar." Ucap Tabib itu pamit sambil membungkuk kemudian meninggalkan kamar tersebut.
Setelah ruangan itu ditutup, Hael memandang ke arah Aru yang terbaring pucat diatas kasur. Selimut menutup sampai ke bagian dada gadis itu. Tatapannya menyipit, lalu ia menghela nafas kasar.
Hael lalu menarik sebuah kursi dan menempatkannya di sisi ranjang Aru. Pria itu duduk di sana tanpa mengatakan apa-apa dan menunggu sampai beberapa jam kemudian, ketika Aru mulai menunjukkan tanda-tanda sadarkan diri.
"Aw...." ringisan lemah Aru menyambut indera pendengaran Hael, nampak tangan gadis itu langsung memegangi perut.
"Sakit," katanya diselingi rintihan.
"Tetaplah berbaring, Putri." Ucap Hael membuka kata masih dengan posisi duduk di kursi menghadap Aru lalu pria itu memanggil pelayan dan minta dibawakan air hangat serta makanan.
"Rasanya seperti terbakar." Keluh Aru, Hael tidak jengkel. "Apa aku... akan mati?"
"Mungkin." Sahut Hael.
Tok! Tok!
"Salam hormat Yang Mulia, boleh kami masuk?" tiga orang pelayan mengetuk pintu dan meminta izin, masing-masing dari mereka membawa dua nampan berisi makanan dan satu berisi susu dan air putih biasa.
"Masuklah, geser mejanya kemari." Titah Hael mempersilakan.
"Dimana Mura?" tanya Aru.
"Dia sedang diistirahatkan." Jawab Hael sembari mengambil segelas air putih lalu mendekatkannya pada Aru namun gadis itu menggeleng.
"Aku tidak mau minum, Yang Mulia."
"Mengapa?"
Aru menggeleng, pandangannya beralih ke arah lain. "Aku takut..." katanya pelan.
"Kalian bertiga bisa pergi." Izin Hael pada tiga orang pelayan yang sudah selesai menata meja, mereka lalu membungkuk dan meninggalkan ruangan.
"Putri," panggil Hael pelan, wajahnya datar jadi tidak ada yang tahu dia khawatir atau tidak peduli. "Minumlah dulu."
Aru tetap pada pendiriannya teguhnya menolak segelas air itu, ia takut seandainya ada racun lain di dalam sana. "Bagaimana jika aku mati setelah minum atau makan sesuatu dari istana ini, Yang Mulia?"
Tanpa berkata lagi, Hael segera meminum sebagian air dari dalam gelas itu untuk membuktikan tak ada campuran racun berbahaya di dalamnya sebab setelah beberapa lama Hael baik-baik saja.
"Sekarang giliranmu." Ucap Hael pada Aru, gadis itu tidak bisa menolak lagi karena telah melihat sendiri Hael meminumnya.
Perlahan Aru meneguk air putih dari dalam gelas, menelannya dengan sedikit rasa tak nyaman di leher. Masih ada rasa panas disana, Aru lalu mendorong gelas itu menjauh dari bibirnya.
"Sudah."
"Mura akan dihukum." Tutur Hael seraya mencicipi tiap menu yang tersaji diatas meja sebelum memberikannya pada Aru dengan cara menyuapi gadis itu.
"Dia... akan dihukum?"
Hael mengangguk. "Dia satu-satunya yang dekat denganmu, kan? Pelayan dan koki yang berada di dapur hari ini juga dikumpulkan untuk dihukum bersama-sama sesuai ketentuan." Jelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne
FantasyBertahan dengan kehidupan yang yang ditakdirkan tersisa dua tahun saja, Chantarue selaku tokoh figuran dalam cerita mencoba melakukan segalanya untuk memperpanjang usia berbekal alur novel The Emperor Of Haeresi yang diingatnya. Chantarue yang ker...