Esoknya Aru terbangun di jam sepuluh pagi sudah dengan pakaian baru dan tubuh yang terasa bersih. Tidak perlu mencari tahu siapa yang melakukannya, itu bukan hal yang terlalu penting. Kelopak matanya perlahan terangkat saat mendengar perbincangan Tabib dengan Ruth mengenai kondisi Aru bahwasanya kaki gadis itu mengalami lebam yang bertambah parah dan butuh istirahat total selama sepekan atau lebih.
"Aku meminta tolong padamu untuk menjaganya, jangan sampai dia menumpu kakinya yang terkilir untuk berjalan kalau perlu dia harus tetap di ranjang selama satu atau dua minggu. Mengerti?"
"Aku mengerti, terimakasih Tabib." Ruth mengangguk dan mengiyakan seluruh permintaan tabib lalu mengantarnya keluar kamar.
"Aku akan memastikan Tuan Putri meminum obatnya dan tidak pergi kemanapun selama dua pekan ini." Ujar Ruth menambahkan sebagai bentuk keyakinan terhadap sang tabib wanita, lalu tabib itu pergi dan Ruth kembali ke dalam kamar.
"Ruth, apa menu sarapannya?" Aru bertanya sembari mengubah posisinya dari berbaring ke duduk serta menyampirkan selimut dari kakinya.
"Anda ingin dibuatkan apa?"
"Aku ingin sup daging dan roti kering." Ujar Aru menjawab tawaran Ruth, perempuan itu segera pergi untuk melaksanakan perintah majikannya sementara Aru terlihat memandang ke arah lemari.
Melihat Ruth pergi, Aru perlahan mendekat ke lemari lalu membuka kedua pintunya dengan cepat dan tak menemukan siapapun ada di dalam sana. Hanya ada jejak aroma amis yang tertinggal dan sukses membuat Aru mengerutkan hidung.
Saat akan menutup lemari, atensi Aru tercuri oleh perdebatan diluar istana tepatnya di bagian halaman depan yang suaranya terdengar begitu ribut sampai bisa Aru ketahui secara jelas mereka mendebatkan apa.
"Yang Mulia, anda bercandakan? Anda pasti bercandakan!?" Itu suara ayahnya, Aru masih ingat.
Namun, mengapa mereka berdebat?
Tidak, lebih tepatnya hanya ayahnya-lah yang terdengar berbicara dengan suara bernada tinggi. Karena rasa penasaran Aru mendekat ke balkon dan menguping.
"Semua harta kerajaan saya ada disana, ada disana! Ernest, kau saksinyakan?" terlihat ayahnya itu mendekati Ernest dan menepuk bahunya. "Kau melihatnyakan?"
"Ya, kami semua melihat." Ernest berkata pada sosok pria tinggi berjubah hitam di hadapannya.
"Hael... mereka mengapa terdengar bertengkar?" Aru bergumam dan lanjut menyimak percakapan mereka.
Ernest berbicara lagi di sana. "Yang Mulia mana mungkin tiba-tiba harta itu menghilang dari sana dalam semalam? Itu sama sekali tidak masuk akal, seseorang pasti telah menipu..." ucapannya tertahan saat melihat ekspresi Hael berubah menjadi tidak enak.
"Jadi, kau menuduhku?" giliran Hael yang bertanya dan membuat semua orang bungkam karena sadar posisi mereka jauh dibawah lelaki itu.
"Maksud kami bukan begitu, Yang Mulia. Kami hanya--"
"Hanya menuduh?" Hael memotong perkataan Ernest dengan tenang, tetapi cukup untuk membuat laki-laki itu gugup.
"Ini konspirasi." Ayah Aru berkata lagi membela diri karena dia sendiri melihat seluruh hartanya ada disana, mustahil kalau hilang secara mendadak. "Mungkin anda salah tempat galian, Yang Mulia."
"Bukankah salah satu orangmu ikut bersama pasukanku?" ucapan Hael diiringi kedatangan seorang lelaki kurus yang muncul dari balik rombongan pasukan istana yang berada di belakang Hael.
"Ya, Yang Mulia. Saya melihatnya sendiri, pasukan anda menggali di tempat yang benar dan hartanya memang sudah tidak ada disana." Ucap lelaki bernama Jeremy tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne
FantasyBertahan dengan kehidupan yang yang ditakdirkan tersisa dua tahun saja, Chantarue selaku tokoh figuran dalam cerita mencoba melakukan segalanya untuk memperpanjang usia berbekal alur novel The Emperor Of Haeresi yang diingatnya. Chantarue yang ker...